Makna Hikmah di Era Digital: Jalan Kebijaksanaan menurut Ibnu Katsir
Senin, 14 Juli 2025 | 09:11 WIB
Dalam menghadapi gelombang kehidupan modern yang kian kompleks, manusia dituntut tidak hanya memiliki pengetahuan (ilmu), tetapi juga kebijaksanaan (hikmah). Kemajuan teknologi, derasnya arus informasi, serta derasnya opini di media sosial sering kali justru memperlihatkan betapa banyaknya manusia cerdas yang belum tentu bijak.
Di sinilah pentingnya membedakan antara akumulasi informasi dan kemampuan memahami, antara pintar dan benar, antara tahu dan mampu menempatkan ilmu secara tepat.
Allah SWT menegaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 269 bahwa hikmah adalah salah satu karunia terbesar yang hanya diberikan kepada orang-orang pilihan:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 269)
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang keutamaan akal dan ilmu, tetapi juga mengajarkan bahwa hikmah adalah perpaduan antara ilmu, pemahaman mendalam, pengalaman, ketakwaan, dan keberanian mengambil keputusan yang tepat di waktu yang tepat.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir merinci bahwa hikmah bisa bermakna fikh (pemahaman agama), ilmu tentang Al-Qur’an, ketepatan dalam perkataan, serta rasa takut kepada Allah yang menjadi pangkal dari seluruh kebijaksanaan.
Konteks kekinian menuntut hadirnya orang-orang yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki integritas moral, kelapangan hati, dan kebijaksanaan sosial. Ketika dunia dilanda krisis nilai, perpecahan ideologi, dan kegaduhan opini, maka sosok-sosok yang diberi hikmah sangat dirindukan—mereka yang mampu menenangkan bukan menghasut, menyatukan bukan memecah, membimbing bukan membingungkan.
Hikmah hari ini berarti mampu memilah antara kebenaran dan kebisingan, membedakan mana informasi yang membawa maslahat dan mana yang hanya menambah keresahan. Hikmah juga berarti tahu kapan harus bicara, dan kapan diam lebih membawa manfaat. Di dunia yang mengagungkan kecepatan dan reaksi instan, hikmah adalah kemampuan untuk pause, merenung, dan merespons secara jernih.
Karenanya, memahami makna hikmah sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir klasik seperti Ibnu Katsir menjadi sangat penting untuk membangun ketahanan spiritual, kecerdasan sosial, dan arah kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah.
Baca Juga
Hikmah di Balik Peristiwa
Karena sejatinya, orang yang diberi hikmah tidak hanya menjadi baik untuk dirinya, tetapi juga membawa kebaikan bagi lingkungannya. Sebagaimana penutup ayat itu mengingatkan kita: “Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal (ulul albab).”
Makna Hikmah dalam Tafsir Ibnu Katsir
1. Hikmah adalah Pemahaman yang Dalam terhadap Al-Qur’an
Menurut riwayat dari Ibn 'Abbas, hikmah adalah pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, halal dan haram, serta pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an secara menyeluruh. Ini bukan sekadar membaca, melainkan menghayati dan memahami maksud Allah dalam setiap firman-Nya.
2. Hikmah adalah Kecermatan dan Ketepatan dalam Bertindak
Diriwayatkan dari Mujāhid bahwa hikmah adalah al-iṣābah fī al-qawl—ketepatan dalam berkata. Dengan kata lain, orang yang berhikmah adalah mereka yang mampu berkata benar di waktu yang tepat, dan bertindak bijak sesuai dengan tempatnya.
3. Hikmah adalah Ilmu dan Fikih dalam Agama
Ibnu Katsir menukil pendapat Mālik, Zaid bin Aslam, dan lainnya bahwa hikmah adalah pemahaman mendalam terhadap agama (fiqih) yang diberikan oleh Allah ke dalam hati seseorang. Seorang bisa jadi tidak menonjol dalam urusan dunia, namun sangat cerdas dan bijak dalam memahami agama.
4. Hikmah adalah Takut kepada Allah
Abu al-‘Āliyah menafsirkan bahwa hikmah adalah khashyah—rasa takut kepada Allah, yang menjadi pangkal dari segala bentuk kebijaksanaan. Hal ini ditegaskan oleh hadits:
رأس الحكمة مخافة الله
Artinya: "Puncak kebijaksanaan adalah rasa takut kepada Allah.”
5. Hikmah adalah Sunnah dan Keteladanan Rasul
Pendapat Abu Mālik bahwa hikmah juga bisa merujuk kepada as-sunnah, menunjukkan bahwa teladan Rasul SAW dalam ucapan dan perbuatan merupakan manifestasi nyata dari hikmah ilahiyah.
6. Tidak Semua Orang Bisa Menerima Hikmah
Ayat ini ditutup dengan kalimat:
وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: "Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)."
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa hanya ulul albāb—orang-orang yang memiliki akal yang tajam dan hati yang bersih—yang bisa mengambil pelajaran dari ayat-ayat ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya cerdas, tapi juga sadar, bijak, dan mau merenung.
Hikmah sebagai Bekal Kehidupan
Tafsir Ibnu Katsir atas ayat ini membuka mata kita bahwa hikmah bukan sekadar kecerdasan logika atau kemampuan intelektual semata. Hikmah adalah anugerah ilahiah yang memadukan pemahaman mendalam, ketakwaan, kepekaan hati, dan ketepatan dalam bertindak. Ia adalah cahaya yang menuntun manusia untuk bersikap adil, berkata benar, dan memilih jalan yang diridhai Allah, bahkan ketika dunia menawarkan kebisingan dan godaan yang menyesatkan.
Orang yang diberi hikmah tidak hanya menjalani hidup dengan benar, tetapi juga menghidupkan kebenaran di sekitarnya. Ia menjadi lentera dalam kegelapan, menjadi peneduh di tengah panasnya konflik, dan menjadi jawaban ketika umat butuh teladan.
Rasulullah SAW bersabda:
لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه الله مالاً فسلطه على هلكته في الحق، ورجل آتاه الله حكمة فهو يقضي بها ويعلمها
Artinya: “Tidak boleh iri kecuali kepada dua orang: orang yang diberi harta oleh Allah lalu diinfakkan di jalan yang benar, dan orang yang diberi hikmah lalu ia memutuskan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa hikmah bukan hanya untuk disimpan sebagai hiasan pribadi, tetapi untuk dibagikan dan diajarkan demi kemaslahatan umat. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh pertentangan, orang yang mampu mengedepankan hikmah adalah penyeimbang yang sangat dibutuhkan—mereka menjadi penjaga akal sehat dan nurani publik.
Mari kita bermunajat dengan hati yang khusyuk, semoga Allah SWT memasukkan kita ke dalam golongan yang diberi hikmah. Menjadi bagian dari ulul albāb, yakni mereka yang mampu melihat hakikat di balik peristiwa, yang membaca tanda-tanda ilahi dengan hati yang jernih, dan yang tidak lelah mempelajari, mengamalkan, dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan.
Karena pada akhirnya, dalam hidup yang singkat ini, bukan seberapa banyak yang kita ketahui yang akan menuntun kita menuju ridha Allah, tapi seberapa bijak kita menjalani ilmu itu, dan seberapa dalam hikmah itu mengakar dalam diri dan terwujud dalam tindakan nyata.
Semoga kita semua menjadi bagian dari perubahan yang meneduhkan dan pencerahan yang menumbuhkan—berkat cahaya hikmah dari Allah Yang Maha Bijaksana.