• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Senin, 29 April 2024

Warta

Kenapa NU Mengikhbarkan Waktu Hari Raya? Bukan Memutuskan?

Kenapa NU Mengikhbarkan Waktu Hari Raya? Bukan Memutuskan?
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Mohammad Mukri. (Foto: Istimewa)
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Mohammad Mukri. (Foto: Istimewa)

Bandarlampung, NU Online Lampung
Dalam mengawali bulan di tahun Hijriah, khususnya bulan spesial seperti Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama selalu menyampaikan ikhbar berdasarkan Hisab dan juga Rukyatul Hilal. Ikhbar (pemberitahuan) ini berdasarkan hasil pengamatan terhadap hilal (bulan) di berbagai titik lokasi di Indonesia.


Terkait dengan hal ini, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Mohammad Mukri menjelaskan bahwa hasil pengamatan ini disampaikan dalam bentuk ikhbar karena kewenangan keputusan hal tersebut ada di tangan pemerintah yang sah (umara).


“Meskipun mempunyai kepakaran dalam ilmu perhitungan bulan dan matahari, ulama NU dalam wadah Lembaga Falakiyah tidak pernah menganggap hasil hisab dan rukyatnya sebagai sebuah keputusan, melainkan kabar (ikhbar),” ungkapnya, Selasa (19/4/2023).


Terlebih wilayah Indonesia yang sangat luas dan memiliki ribuan pulau sangat perlu disatukan dengan keputusan pemerintah terkait awal bulan ini. Pemerintah dalam hal ini telah menyebar ratusan titik pengamatan hilal di berbagai penjuru Indonesia untuk melakukan rukyatul hilal. Maka jika ada satu saja yang melihat hilal dan bisa disumpah, maka itu akan menjadi keputusan seluruh Indonesia.


“Rukyatnya juga tidak menggunakan pandangan mata saja. Namun pakai alat-alat yang canggih hasil perkembangan ilmu dan teknologi saat ini. Tentunya akan lebih bisa dipertanggungjawabkan hasilnya,” ungkapnya.


Selain berdasarkan laporan dari lokasi rukyatul hilal, pemerintah juga melakukan sidang isbat yang menghadirkan pakar-pakar falakiyah dan astronomi serta perwakilan dari berbagai ormas Islam. “Tentu ini menjadi lebih komprehensif hasilnya,” imbuhnya.


Terkait dengan hasil hisab yang dilakukan oleh para ulama secara individu (perorangan), Prof Mukri mengisahkan sebuah kejadian ketika KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menegur ahli falak KH Maksum Ali. 


Hal ini karena Ahli Falak yang kebetulan adalah menantunya, mengumumkan sendiri hasil hisab dan rukyat yang dilakukannya sendiri tanpa diserahkan kepada pemerintah yang berwenang untuk mengumumkan.


Pendirian Kiai Hasyim Asy’ari ini lah yang kemudian ditetapkan secara formal dalam Munas Alim Ulama NU di Cipanas, Bogor tahun 1954 bahwa hak isbat diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyul amri.


Sedangkan para ulama NU hanya membantu melakukan ikhbar, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat setelah diumumkan oleh pemerintah. Ini sebagai konsekuensi bagi NU dalam bernegara, yakni menyerahkan sebagian kewenangannya pada pemerintah yang sah.


Inilah yang menurut Prof Mukri merupakan contoh nyata bagaimana para ulama mempraktikkan ajaran dan hukum agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.


Editor:

Warta Terbaru