• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Warta

Jadikan Perbedaan Sebagai Rahmat, Bukan Konflik

Jadikan Perbedaan Sebagai Rahmat, Bukan Konflik

Jadikan Perbedaan Sebagai Rahmat, Bukan Konflik

Oleh: Mursaidin Albantani *

KONFLIK berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

Banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya konflik. Salah satu yang melatarbelakangi konflik dikarenakan adanya perbedaan yang dibawa individu dalam suatu interaksi sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. 

Memaksakan perbedaan dan mengamalkan ciri-ciri individual dalam interaksi sosial tersebut akhirnya dapat menyebabkan terjadinya konflik.

Sejatinya hampir setiap individu bahkan mungkin tidak ada yang tidak pernah mengalami konflik. Karena konflik bisa terjadi dan “singgah” kepada siapapun, maka seharusnya kita menghindari konflik dengan tidak mengedepankan perbedaan dalam interaksi sosial dan aktivitas lainnya.

Perbedaan Menjadi Rahmat

Sebagai bangsa yang besar dengan beraneka ragam suku, bahasa, adat-istiadat, dan perbedaan lainnya, hendaknya menjadi rahmat.

Keanekaragaman dan perbedaan yang besar itu harus dikelola dengan baik, tidak boleh siapapun ada yang merasa paling benar, paling berjasa, paling mampu, dan lebih dari yang lainnya. Karena perbedaan sejatinya adalah rahmat dari Tuhan.

Allah SWT telah berfirman dalam Qur’an (Qs. al-Hujurat: 13) 

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.

Ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. 

Semua manusia sama saja derajat kemanusiaannya. Tidak ada perbedaan antara satu suku dengan suku lainnya. 

Kemudian Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kita saling mengenal dan dengan demikian saling membantu satu sama lain, bukan saling mengolok-olok dan saling memusuhi antara satu kelompok dengan lainnya.

Jika kita berpedoman pada ayat tersebut diatas, maka sejatinya tidak akan ada konflik, tidak akan ada konflik, tidak akan terjadi perpecahan.

Solusi mengatasi Konflik di Lampung

Hari ini, Selasa (23/12) menurut informasi yang beredar di media sosial, kembali lagi konflik di kawasan hutan Register 45, Kabupaten Mesuji Lampung. Miris memang jika melihat grafik konflik yang terjadi di Lampung, khususnya di Kabupaten Mesuji.

Sejarah konflik di Mesuji sudah berlangsung cukup lama. Oyos Saroso H.N. dalam artikelnya berjudul “Cerita tentang Tragedi Mesuji" yang diunggah TerasLampung (10 Mei 2014), membeberkan asal-muasal terjadinya polemik berdarah di kawasan ini.

Ada dua daerah bernama Mesuji di Sumatera. Yang pertama berada di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, dan yang kedua termasuk wilayah administratif Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.

Dua wilayah Mesuji ini semula berupa belantara, termasuk yang disebut hutan lindung di dalamnya. Namun, sebagian rimba ini kemudian menjadi perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar yang memperoleh Hak pengelolaan hutan (HPH) serta Hak Guna usaha (HGU) dari pemerintah Orde Baru.

Polemik di Mesuji sebenarnya sudah muncul sejak 1999. Namun, yang tercatat berdasarkan data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), setidaknya ada tiga konflik berskala cukup besar yang terjadi antara tahun 2009 hingga 2011, ini belum termasuk kejadian terbaru pada 17 Juli 2019 lalu dan 23 Desember 2019. Jadi jika dibuat grafisnya hampir lima kali terjadi konflik dalam kurun waktu 2009-2019.

Karena potensi konflik yang besar, maka saatnya semua kita melakukan evaluasi. Evaluasi terhadap perilaku kehidupan dan interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. 

Sejalan dengan apa yang disampaikan Perdana Menteri Kesultanan Adat Lampung Paksi Pak Skala Beghak, Dang Gusti Ike Edwin bahwa telah terjadi kekeliruan dalam interaksi sosial salah satunya karena eksklusivisme para pemimpin. Pemimpin harus mengetahui akar masalah penyebab konflik tersebut.

“Seorang pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada atas rakyat. Jadi bilamana bersikap ekslusif atau enggan berbaur dengan rakyat bagaimana mungkin bisa memahami rakyat”.

Padahal menurut jendral polisi bintang dua ini, rakyat sejatinya merindukan kehadiran pemimpin. Pemimpin yang mengayomi mereka.

Untuk itu, agar tidak lagi terjadi konflik, agar tercipta tatanan masyarakat yang madani, agar tercipta situasi kamtibmas yang kondusif tidak ada alasan bagi kita semua untuk melihat perbedaan sebagai rahmat. Tidak ada alasan bagi pemimpin, aparat penegak hukum dan para pemangku kepentingan lainnya untuk menjadikan Lampung menjadi provinsi yang Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. 

)* Sekretaris DKW Garda Bangsa Provinsi Lampung


Editor:

Warta Terbaru