• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Teras Kiai

Abdullah Syakir Hambali, Kiai yang Sederhana dan Murah Hati

Abdullah Syakir Hambali, Kiai yang Sederhana dan Murah Hati
Abdullah Syakir Hambali, Kiai yang Sederhana dan Murah Hati
Abdullah Syakir Hambali, Kiai yang Sederhana dan Murah Hati

 

SOSOK ini selalu energik, bersemangat, dan tulus membimbing masyarakat, tidak hanya di Lampung, tetapi juga sampai Bengkulu, Jambi, dan Palembang. Beliau tak kenal lelah berdakwah Islam Ahlussunnah wal Jamaah lewat zikir thariqah yang diembannya, yakni Thariqah Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah (TQN). Tujuannya, membimbing masyarakat agar selalu membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah melalui Zikir Jalalah.

 

Beliau adalah KH Abdullah Syakir yang lebih akrab dipanggil dengan Kiai Sukiran. Lahir di Kampung Banyutarung, Desa Wonokerto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada tahun 1935 dari pasangan Hasan Sayidin dan Hj Yatemi. Sang kiai wafat pada hari Jum’at 16 Juli 2021 di Desa Margodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran dan dimakamkan di area Pondok Pesantren miliknya, Manba’ul Ulum Margodadi.

 

M Fathi, cucu Kiai Sukiran, kepada NU Online Lampung menceritakan, ketika masih di dalam kandungan Kiai Sukiran sudah ditinggal wafat ayahnya. Ketika beranjak umur 6 tahun ibunya juga wafat meninggalkanya. Sejak saat itu Kiai Sukiran menjadi yatim piatu yang selanjutnya dirawat dan asuh oleh kakak-kakanya.

 

“Tahun 1940 Kiai Sukiran kecil sempat menempuh pendidikan Sekolah Rakyat (SR). Hanya bertahan 4 tahun sehingga tidak sampai tuntas atau selesai,”  kata M. Fathi, Minggu (7/11).

 

Menginjak umur belasan tahun, Kiai Sukiran meminta restu dan dukungan dari kakak-kakaknya untuk nyantri kepada KH. Tolhah Jaten. Di sini, beliau mulai mempelajari berbagai ilmu agama, seperti ilmu alat, ilmu fiqih, ilmu tajwid dan ilmu lainya.

 

Merasa masih banyak kiai yang ilmunya harus ditimba, setelah dari Jaten, Kiai Sukiran melanjutkan nyantri dengan Syekh Nawawi Giling Salatiga, sampai empat tahunan. Di tempat ini, Kiai Sukiran lebih giat lagi mempelajari dan mendalami ilmu agama, agar benar-benar paham dan meresap.

 

Belum juga puas menuntut ilmu, beliau memutuskan melanjutkan nyantri dengan Mbah Kiai Rahmat Woloweru Ngasinan. Ketika mondok di Ngasinan inilah Kiai Sukiran menikah dengan seorang wanita pilihan kakaknya. Karena takzim dan bakti Kiai Sukiran kepada kakaknya yang sudah mengurus dan memondokkan, akhirnya Kiai Sukiran memutuskan menerima perjodohan tersebut.

 

Meski telah menikah ternyata semangat menimba ilmunya semakin membara. Dia memutuskan untuk lanjut nyantri dengan Mbah Hasan Asyari, Pondok Pesantren Al-Ittihad Poncol, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang.

 

Karena sehari-hari waktu beliau dihabiskan di pondok pesantren dengan mengaji dan terus mengaji sehingga jarang sekali pulang ke rumah, akhirnya bahtera rumah tangga tidak seimbang atau harmonis seperti pasangan umumnya ketika awal pernikahan. Demi kebaikan bersama, akhirnya keduanya saling bersepakat untuk pisah.

 

Setelah berpisah dengan istrinya dan juga telah selesai ngaji di Poncol, Kiai Sukiran kembali nyantri dengan guru sebelumnya, Kiai Rahmat untuk memperdalam ilmu thariqah. Karena ketekunan dan kealimannya, oleh Kiai Rahmat diangkat menjadi badal thariqah pada tahun 1950.

 

Setelah mendalami dan mempraktikan ilmu thariqah, beberapa tahun kemudian beliau dibawa Kiai Rahmat untuk mengaji thariqah yang lebih dalam kepada gurunya, syekh Muslich Al-Maraqi, Demak. Karena lewat Sykeh Muslih lah, kiai Rahmat juga diangkat menjadi mursyid.

 

Setelah belajar thariqah kepada Syekh Muslih, berkat ketekunan, keseriusan dan kebersihan hati, akhirnya kiai Sukiran diangkat juga menjadi mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah (TQN) melalui jalur sanad thariqah muktabarohnya Syekh Muslih yang tersambung sampai syekh Khatib Sambas, dan jika dirunut silsilahnya keatas lagi akan sampai kepada Rasulullah Saw.

 

Setelah diangkat menjadi mursyid thariqah, Kiai Sukiran memutuskan untuk hijrah ke Lampung. Demi menyebarkan ilmu agama yang telah dipelajari selama di pondok pesantren. Awal kedatangan beliau tepatnya di Kecamatan Natar, kabupaten Lampung Selatan, belakang bandar udara Raden Intan. Karena memang daerah tersebut sudah banyak saudara-saudara beliau yang telah merantau lebih dahulu.

 

“Ketika tinggal di Natar, beliau mulai berdakwah dengan keliling ke seluruh penjuru Lampung untuk mengajarkan thariqah kepada masyarakat. Salah satunya ke Desa Margodadi Kecamatan Way Lima. Tidak disangka karena mungkin memang sudah jodohnya, di desa inilah, Kiai Sukiran bertemu dengan seorang wanita yang kelak menjadi istrinya, yang bernama Nyai Hj Wakilah binti H. Solihin dan Hj. Miah. Dari pernikahnya beliau dikaruniai 8 putra putri, yakni Munjaenah, Siti Sufiati, Siti Maryatun, Siti Mahmudah, Roif Mansur, Khofidzotur Rofiah, Nur Khotimah dan Ziadun Ni’am,” tutur M Fathi

 

Setelah menikah, beliau tinggal di kampung istrinya, Margodadi.  Daerah yang kelak menjadi tempat permanen sebagai poros dakwah Islamnya. Dimulai dari mengajar Al-Qur’an dan doa-doa kepada anak-anak di masjid dan mengajarkan zikir thariqah kepada orang tua, akhirnya banyak yang mau tinggal bersama beliau, karena supaya lebih intens dalam  menerima ilmu agama dari beliau, sehingga kiai Sukiran memutuskan untuk mendirikan Lembaga Pendidikan yang di beri nama pondok pesantren Manba’ul Ulum Margodadi.

 

Lambat laun santri-santri beliau semakin banyak, baik santri salaf maupun santri thariqahnya. Sehingga kiai Sukiran mulai dikenal oleh masyarakat luas, bahkan sampai Jambi, Palembang dan Bengkulu. Semua ini berkat kegigihan, keteladanan dan keikhlasan beliau dalam mengajarkan ilmu agama. Tidak ada kata lelah dalam berdakwah, karena dakwah merupakan keharusan sebagai estafet dari ajaran Rasulullah Saw.

 

Dalam pengembangan dakwahnya, Kiai Sukiran juga mempraktikkan sistem Inabah (Istilah yang berasal dari Bahasa Arab anaba-yunibu (mengembalikan) sehingga inabah berarti pengembalian atau pemulihan, maksudnya proses kembalinya seseorang dari jalan yang menjauhi Allah ke jalan yang mendekat ke Allah. Istilah ini digunakan pula dalam Al-Qur’an yakni dalam Luqman surat ke-31 ayat ke-15, Surat ke-42, Al-Syura ayat ke-10; dan pada surat yang lainnya).

 

Sistem Inabah tersebut sebelumnya pernah dilakukan oleh Abah Anom atau Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifi, menjadi metode bagi program rehabilitasi pecandu narkotika, remaja-remaja nakal, dan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Konsep perawatan korban penyalahgunaan obat serta kenakalan remaja adalah mengembalikan orang dari perilaku yang selalu menentang kehendak Allah atau maksiat, kepada perilaku yang sesuai dengan kehendak Allah atau taat.

 

Sistem inabah ini dikembangkan oleh Kiai Sukiran dalam berdakwahnya, yakni memberikan ajaran zikir thariqah kepada orang-orang yang memiliki gangguan jiwa alias gila. Awalnya beliau membawa ODGJ (Orang dalam gangguan jiwa) ke pondok, kemudian orang-orang tersebut dimandikan taubat, diajarkan shalat serta ditalqin dan dituntun berzikir, meski tidak faham sama sekali. Namun lambat laun metode zikir yang ditanamkan kedalam hati akan mengingatkan kepada Allah, dan ingatanya akan kembali normal. Semua itu berkat wasilah zikir jalalah. Setelah sembuh, orang-orang tersebut akan dikembalikan kepada keluarganya, di daerah masing-masing.

 

Kiai Sukiran memiliki watak yang lemah lembut dan sederhana dalam berprilaku, lebih sering mengisi pengajian menggunakan motor daripada mobil, meski jaraknya berkilo-kilo, meski umurnya sudah mencapai 70-an, beliau tetap berkeliling mengisi pengajian thariqah di desa-desa menggunakan motor.

 

Kiai Sukiran juga memiliki karakter yang kuat serta semangat mengajar ngaji. Beliau akan keliling ke daerah-daerah setiap hari mulai dari hari Senin sampai Minggu. Bahkan ada yang satu hari dua kali mengisi pengajian. Khusus hari Selasa beliau fokuskan mengisi pengajian thariqah di pondoknya sendiri, yang disebut Selasan. Untuk yang didaerah Palembang, Jambi dan Bengkulu, beliau menyempatkan kesana sebulan sekali untuk mengisi pengajian thariqahnya.

 

“Mbah memiliki watak lemah lembut, dan tidak pernah marah kepada siapapun, namun juga memiliki ketegasan dan prinsip, bahkan mengingatkanpun dengan nada yang pelan dan kadang mengungkapkanya dengan istilah dan kiasan” tutur M. Fathi

 

Penulis pernah beberapa kali sowan ke Kiai Sukiran, terutama hari raya Idul Fitri. Namun yang paling berkesan ketika terakhir kali sebelum beliau wafat yakni pada Januari 2021. Yang penulis saksikan yakni meski sudah tua, namun wajahnya masih terlihat muda dan berbincang-bincang dengan normal kepada penulis. Penulis juga menyaksikan setiat hembusan nafasnya selalu keluar kata-kata lafadz tauhid, Allah bahkan meski di selingin minum teh hangat dan merokok, lafadz Allah selalu terdengar lirih dari beliau, berbarengan dengan keluarnya asap rokok.

 

Kiai Sukiran juga sosok yang tidak pernah melupakan jasa guru-gurunya dan para ulama terdahulu atau lebih masyhur dengan istilah Jas Hijau. Beliau rutin ziarah Wali Songo dan guru-gurunya di pulau Jawa, satu tahun 3 kali, biasanya 3 bulan sekali bahkan ada yang 2 bulan sekali.

 

“Bapak itu memiliki jiwa yang besar sekali, terhadap anak-anaknya tidak pilih kasih dan membeda-bedakan, meski karakter anak-anaknya berbeda beda namun tetap sabar menyikapinya. Bapak juga dalam berdakwah tidak mengenal lelah, walaupun hanya ada satu murid, akan tetap diajari, bahkan jauh di pelosok desa,” ungkap Rofiqoh, salah satu putri beliau.

 

Penulis pernah menyaksikan Kiai Sukiran masih mengisi pengajian thariqah di kampung Rejosari, Kelurahan Lengkukai kecamatan Kelumbayan Barat, Tanggamus. Meski usia beliau sudah 70-an, dengan diantarkan menggunakan motor oleh cucunya, beliau masih nampak segar. Ini merupakan bukti perjuangan dakwah Kiai Sukiran yang tidak pernah surut sampai beliau meninggal dunia.

 

Dalam dakwahnya Kiai Sukiran memiliki beberapa teman karib yang sama-sama berjuang dengan mengisi pengajian dan zikir thariqah ke pelosok-pelosok, yakni salah satunya KH Muhammad Sobari Kedaton dan Habib Muhammad TegiNeneng. Ketika Habib Luthfi Pekalongan mengadakan pengajian thariqah di Pekalongan, kiai Sukiran dan teman-teman seperjuanganya selalu datang ke acara tersebut.

 

Yang patut kita contoh dari beliau yakni kesederhanaan dan kemurahan hati mengajarkan ilmu agama. Meski sudah lanjut usia, tetap sudi keliling desa-desa demi memberikan pencerahan dan membimbing masyarakat untuk membersihkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebab, jika diri kita baik akan dibalas kebaikan juga oleh orang lain. Hiasilah diri kita dengan jejak yang baik dan bermanfaat, maka kita akan dikenang baik dalam ingatan sejarah.

(Yudi Prayoga, Alumni Pondok Pesantren Al Hikmah Kedaton Bandar Lampung)

 


Teras Kiai Terbaru