• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Rabu, 24 April 2024

Syiar

Mahar yang Membumbung Tinggi

Mahar yang Membumbung Tinggi
foto ilustrasi
foto ilustrasi

MAHAR adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

 

Dalam praktik yang berlaku di sebagian masyarakat, bahwa calon mempelai laki-laki pada saat tunangan atau peminangan telah memberikan sesuatu, demikian itu dilakukan semata-mata sebagai ‘urf atau kebiasaan yang dianggap baik untuk tanda cinta calon suami kepada calon istrinya. Kemudian dalam tunangan itu juga membahas mengenai berapa mahar yang akan diberikan dan disebutkan ketika akad nikah.
 

Menurut lazimnya kebiasaan yang dilakukan di Indonesia, mahar yang diberikan berupa seperangkat alat sholat, uang tunai, ataupun emas. Banyak di kalangan masyarakat khususnya adat Lampung yang menaruh harga tinggi pada mahar, dikarenakan tuntutan adat. Namun demikian, bagaimana Islam memandang hal tersebut. Maka penulis dalam artikel ini akan membahas mahar sesuai anjuran Islam.


Adapun makna mahar menurut Wahbah Zuhaili mahar adalah harta yang merupakan hak istri yang diberikan oleh suami sebab akad pernikahan atau hubungan badan (persetubuhan) secara hakiki.
 

Hukum mahar adalah wajib, yang menurut kesepakatan para ulama merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Namun apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Karenanya, mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria.
 

Dasar hukum pemberian mahar dalam Al-Qur’an adalah:


وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

 

Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” [QS. An-Nisa (4):

 

Mengenai kadar atau jumlah mahar para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam pemberian mahar, namun ulama berbeda pendapat dalam hal batas minimal pemberian mahar sebagai berikut:


Pertama, menurut Imam Syafi’i, Ahmad, Ishak, Abu Tsaur dan fuqaha madinah dari tabiin bahwa tidak ada batas minimal dalam semua pemberian mahar, semua yang berharga dan bernilai boleh dijadikan mahar.

Kedua, menurut Imam Malik bahwa batas minimal mahar adalah seperempat dinar atau senilai dengan itu.
Ketiga, menurut Imam Abu Hanifah bahwa batas minimal dari mahar adalah sepuluh dirham, ada yang mengatakan lima dirham, ada yang mengatakan empat puluh dirham.

 

Meskipun demikian, Islam menganjurkan agar kita mengambil jalan tengah yaitu tidak meletakkan mahar terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah sesuai kemampuannya saja. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:


عَنْ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُ الصَّدَاقِ اَيْسَرُهُ (اخرجه ابو داود وصححه الحاكم(

 

Artinya: “Dari Uqbah bin Amir R.A Rasulullah Saw., bersabda: “sebaik-baiknya mahar adalah yang paling mudah (murah).” (HR. Abu Dawud yang dishahihkan oleh Al-Hakim)

 

Hikmah menetapkan mahar yang tidak terlalu tinggi juga menjadi solusi untuk menikah dalam upaya menghindari pergaulan bebaspada generasi muda. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa disunnahkan untuk meringankan mahar dan tidak terlalu tinggi dalam menetapkan mahar sesuai dengan kemampuan suami dan kesepakatan kedua belah pihak yakni antara suami dan istri.
 

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

.
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِنَّ أَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُ مَؤُونَةً (رواه احمد)
 

Artinya: “Dari Aisyah, Rasulullah Saw., bersabda: Sesungguhnya keberkahan yang paling besar adalah orang yang maharnya paling rendah.” (HR. Ahmad)

 

Adapun Imam Syafi’i dan Hambali berpendapat mengenai mahar bahwa tidak ada batasan terendah bagi mahar. Sahnya mahar tidak ditentukan dengan sesuatu. Oleh karena itu, sah jika mahar adalah harta yang sedikit ataupun banyak.

 

Pembelajaran atau ibroh yang dapat diambil dari adanya sebuah mahar yang diberikan dari suami kepada seorang istri adalah sebuah hak perempuan yang disyariatkan oleh Allah untuk menunjukkan rasa kepatutan, kepantasan, harga diri, posisi, dan ukurannya sesuai dengan keridhaan kedua belah pihak.

 

(Dian Ramadhan/Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Pascasarjana UIN Raden Intan Lampung)

 


Editor:

Syiar Terbaru