Syiar

Jual Beli dengan Uang Kertas, Apakah Sah?

Selasa, 29 Oktober 2024 | 16:31 WIB

Jual Beli dengan Uang Kertas, Apakah Sah?

Ilustrasi uang (Foto: NU Online)

Jual beli adalah aktivitas pertukaran barang atau jasa antara dua pihak, yaitu penjual dan pembeli, di mana penjual menawarkan barang atau jasa dan pembeli memberikan uang atau barang lain sebagai imbalannya. 


Tujuan utama jual beli adalah untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan kedua belah pihak, di mana penjual mendapatkan keuntungan dan pembeli mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan.


Setiap jual beli memiliki alat transaksi berupa uang. Dahulu alat transaksi uang berupa emas dan perak, hal ini tercantu dalam hadits dan kitab para ulama salaf. Akan tetapi, zaman semakin berubah, dan alat transaksi berganti menjadi uang kertas dan bahkan bitcoin. Lalu, apakah hukumnya tetap sah bertransaksi dengan uang kertas?


Dilansir dari NU Online, pertama, yang harus dipahami adalah pengertian tentang uang. Uang menurut Sami Hamud sebagaimana dikemukakan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan tsaman atau harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) dan simbol nilai (miqyas lil qiyam).


وَهِيَ كُلُّ مَا يُسْتَعْمَلُ أَدَاةً أَوْ وَسِيطًا لِلتَّبَادُلِ بِإعْتِبَارِهَا ثَمَنًا لِلْأَشْيَاءِ وَمِقْيَاسًا لِلْقِيَمِ


Artinya: Nuqud atau uang adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan harga sesuatu dan ukuran atau simbol nilai (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah, Damaskus, Darul Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, halaman 150). 


Sedangkan menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, uang atau yang sering disebut naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat. Bisa terdiri dari logam atau kertas yang dicetak dan diterbitkan oleh lembaga keuangan yang memiliki otoritas untuk menerbitkannya.


النَّقْدُ: مَا اتَّخَذَ النَّاسُ ثَمَنًا مِنَ الْمَعَادِنِ الْمَضْرُوْبَةِ أَوْ الأَوْرَاقِ الْمَطْبُوْعَةِ وَنَحْوِهَا، الصَّادِرَةِ عَنِ الْمُؤَسَّسَةِ الْمَالِيَّةِ صَاحِبَةِ اْلاِخْتِصَاصِ 


Artinya: Naqd atau mata uang adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas (Muhammad Rawas Qal'ah Ji, Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashirah fi Dhau'il Fiqh was Syari'ah, Beirut, Darun Nafa'is, 1999 M, halaman 23). 


Dari dua pengertian yang kami suguhkan tampak dengan jelas bahwa ternyata mengenai soal uang mengalami perubahan bentuk. Dulu yang digunakan adalah koin emas atau perak, tetapi sekarang keduanya sudah tidak berlaku di masyarakat umum. Sedang yang berlaku sekarang adalah uang kertas. 


Karenaya, lebih lanjut menurut Sami Hamud, uang kertas sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) sehingga berlaku di dalamnya sifat ribawi dan terkena kewajiban zakat.


فَيَكُونُ الْوَرَقُ النَّقْدِيُّ الْمُعَاصِرُ ثَمَنَ الْأَشْيَاءِ فَيَجْرِي فِيهِ الرِّبَا وَتَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَهُوَ رَأْيٌ سَدِيدٌ 


Artinya: Karenanya, uang kertas yang sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu sehingga riba berlaku baginya dan terkena kewajiban zakat. Ini adalah pendapat yang tepat (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalah Al-Maliyyah Al-Mu’ashirah, halaman 150). 


Sifat ribawi ini memiliki konsekuensi uang tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai sebagaimana emas dan perak. Ia hanya bisa diperjualbelikan dengan yang sama dan sejenis serta tunai.


الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. 


Artinya: (Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai (HR Muslim). 


Dengan berpijak pada penjelasan di atas, maka setidaknya dapat dipahami bahwa status hukum uang kertas adalah sama atau diqiyaskan dengan emas dan perak, dan sah untuk dibuat sebagai alat tukar atau transaksi. Dan pada uang kertas melekat sifat ribawi sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai.