Ila Fadilasari
Penulis
Jelang Hari Raya Idul Fitri seperti ini, di mana-mana kita akan melihat bermunculannya jasa penukaran uang. Mereka membuka lapak di sekitaran pasar tradisional, pasar modern, di pinggir jalan, atau tempat-tempat strategis lainnya.
Keberadaan mereka tampaknya sangat diminati sebagian masyarakat, terbuktinya dengan banyaknya yang memanfaatkan jasa penukaran uang itu. Biasanya masyarakat menukar uang untuk dibagi-bagikan pada kerabat, terutama anak-anak, pada saat Hari Raya Idul Fitri.
Lantas bagaimana hukumnya praktik menukar uang ini dalam agama Islam? Bila disebut riba, nyatanya peran mereka sangat membantu orang-orang yang hendak berbagi di hari raya.
Praktik jasa penukaran uang ini memang menimbulkan polemik di masyarakat, karena praktik itu tidak murni menukar uang, melainkan ada “selisih” yang harus dibayarkan oleh pihak penukar (pembeli). Beberapa waktu lalu bahkan sekelompok orang mengampanyekan bahwa praktik penukaran uang itu adalah riba yang dosanya dinilai lebih berat daripada zina.
Dilansir dari NU Online, praktik penukaran uang ini sebenarnya dapat dilihat dari dua sudut. Kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma’qud ‘alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba.
Baca Juga
Berikut Lafal Niat dan Doa Zakat Fitrah
Tetapi kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma’qud ‘alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa penukaran, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah.
Ijarah sebenarnya adalah sejenis jual beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barang. Karena ijarah adalah sejenis jual beli, maka ia bukan termasuk kategori riba sebagai keterangan Kitab Fathul Mujibil Qarib berikut ini:
والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل
Artinya: Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas) (KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib [Situbondo, Maktabatul As‘adiyyah: 2014 M/1434 H], cetakan pertama, halaman 123).
Perbedaan orang dalam memandang masalah ini muncul karena mereka melihat dari sisi yang berbeda dalam memandang titik akad penukaran uang itu (ma’qud ‘alaih). Sebagian orang memandang uang sebagai barang yang dipertukarkan. Sementara sebagian orang memandang sebagai imbalan atas jasa orang yang menyediakan penukaran tersebut.
Tetapi terkadang barang itu sendiri mengikut sebagai konsekuensi atas akad jasa tersebut sebagai keterangan Nihayatuz Zein berikut ini:
وقد تقع العين تبعا كما إذا استأجر امرأة للإرضاع فإنه جائز لورود النص والأصح أن المعقود عليه القيام بأمر الصبي من وضعه في حجر الرضيع وتلقيمه الثدي وعصره بقدر الحاجة وذلك هو الفعل واللبن يستحق تبعا
Artinya: Barang terkadang mengikut sebagaimana bila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Qur’an. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakkannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma’qud ‘alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan (Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, PT Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 259).
Tarif yang harus dibayarkan pada penukaran uang dadakan itu adalah untuk jasanya, bukan pada barangnya, yang berbentuk uang itu. Pembayaran tarif pada jasa itu sendiri disebutkan dalam Al-Qur’an perihal perempuan sebagai penyedia jasa asi, bukan jual-beli asi seperti keterangan berikut ini:
قال الله تعالى: فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ علق الأجرة بفعل الإرضاع لا باللبن
Artinya: Allah berfirman, “Bila mereka telah menyusui anakmu, maka berikan upah kepada mereka (Surat At-Thalaq ayat 6). Allah mengaitkan upah di situ dengan aktivitas menyusui, bukan pada asinya (Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 249).
Demikian penjelasan dari sisi fiqih tentang praktik jasa penukaran uang yang selalu marak pada penghujung Ramadhan, atau jelang Hari Raya Idul Fitri. Soal tarif jasa penukaran uang ini memang tidak diatur di dalam fiqih, sehingga dapat disesuaikan dengan kesepakatan atau keridhaan dari kedua belah pihak.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 3 Cara Meraih Pahala yang Setara dengan Haji bagi yang Tidak Mampu
2
Ikut Kang Jalal Yuk!, Pelatihan Tukang Jagal Halal LTMNU Pringsewu
3
Peluncuran CV Rich Makmur International hingga Pesantren Ramah Anak Semarakkan Harlah RMINU
4
IPNU-IPPNU MAN 1 Pringsewu Terbentuk, Persiapan Pelantikan Dikebut
5
Anggota DPRD Lampung Minta Dinas Pendidikan Konsisten Terapkan Jalur SPMB
6
Perkuat Peran di Bidang Kesehatan, PW Muslimat NU Jalin Kerja Sama dengan Dinas Kesehatan Lampung
Terkini
Lihat Semua