• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Syiar

Dalil, Tata Cara dan Niat Mengqada Shalat Tarawih

Dalil, Tata Cara dan Niat Mengqada Shalat Tarawih
Dalil, Tata Cara dan Niat Mengqada Shalat Tarawih (Sumber foto:NU Onlie Jabar)
Dalil, Tata Cara dan Niat Mengqada Shalat Tarawih (Sumber foto:NU Onlie Jabar)

Tarawih merupakan shalat sunnah yang mengikuti (ittiba’) kepada sahabat Nabi, Sayyidina Umar bin Khatab ra, sehingga kalangan ulama menyebutnya sebagai sunnah Umar. Kita sebagai umat Islam mencontoh sahabat Nabi sama bagusnya dengan mencontoh Nabi, apalagi para sahabat yang diberi legitimasi masuk surga oleh Rasulullah saw, seperti Saayidina Umar sendiri.

 

Shalat tarawih mulanya digagas oleh Sayyidina Umar untuk menyatukan umat Islam pada waktu itu, karena dari pada shalat qiyamurramadhan sendiri-sendiri, ada yang di rumah, ada yang di masjid. Sehingga Umar memerintahkan untuk shalat sunnah berjamaah di masjid setelah bakda Isya, yang akhirnya diberi nama menjadi shalat sunnah tarawih.

 

Waktu shalat tarawih adalah rentang di antara shalat Isya dan terbitnya fajar. Oleh karenanya, tarawih harus dilakukan setelah melaksanakan shalat Isya dan sebelum masuk waktu subuh. Namun, karena satu dan beberapa hal, terkadang seseorang tidak bisa melakukan tarawih pada waktunya, semisal karena sakit atau sedang bepergian.

Bagaimana hukum mengqada shalat tarawih yang tertinggal dari waktunya? Kalau boleh, sampai batas kapan mengqadanya? Apakah dibatasi hanya di bulan Ramadhan?   

 

Dilansir dari NU Online bahwa di dalam khazanah fiqih mazhab Syafi’i, shalat sunnah terbagi menjadi tiga macam.   

Pertama, An-Naflul Muthlaq, yaitu shalat yang tidak diberi batas waktu, kapan saja dapat dilakukan asalkan tidak di waktu-waktu terlarang seperti setelah shalat Ashar. Shalat sunnah jenis ini tidak mengenal istilah qada, sebab ia tidak memiliki waktu secara khusus. Sementara qada adalah shalat yang dilakukan di luar waktunya. Namun menurut Al-Imam Al-Adzra’i, bila seseorang memiliki wiridan khusus melaksanakan shalat sunah mutlak di waktu tertentu, sunah baginya untuk mengqadanya bila shalat yang sudah menjadi kebiasaannya tertinggal dari waktunya.   

 

Kedua, An-Naflul Muaqqat, yaitu shalat sunnah yang diberi durasi waktu tertentu. Syariat telah memberinya waktu khusus untuk pelaksanaan shalat jenis ini. Pelaksanaan jenis shalat ini juga tidak dibatasi oleh sebab tertentu seperti terjadinya gerhana atau musim kemarau panjang yang mengakibatkan minimnya air. Contoh shalat yang masuk jenis kedua ini adalah shalat rawatib (shalat qabliyyah dan ba’diyyah), shalat Dhuha, shalat tarawih dan lain-lain.   

Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, bila shalat-shalat tersebut terlewat dari waktunya, hukum mengqadanya adalah sunah. Pendapat ini berpijak dari beberapa hadits Nabi, di antaranya Nabi mengqada shalat dua rakaat ba’diyyah Zuhur (HR Al-Bukhari dan Muslim), Nabi mengqada shalat qabliyyah Subuh saat beliau tertidur di sebuah jurang (HR Abu Dawud) dan hadits Nabi “Barang siapa tertidur atau lupa shalat, hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).   

 

Ketiga, An-Naflu Dzus Sabab, yaitu shalat yang pelaksanaannya dibatasi dengan sebab tertentu, seperti shalat gerhana matahari (kusyufus syams) yang dibatasi dengan terjadinya gerhana matahari, shalat gerhana bulan (khusuful qamar) yang dibatasi dengan peristiwa gerhana bulan dan shalat Istisqa yang dibatasi dengan kondisi darurat air. Ketika sebab-sebabnya sudah hilang, maka jenis shalat ketiga ini tidak lagi dianjurkan untuk dilakukan. Ulama Syafi’iyyah menegaskan, jenis shalat ketiga ini tidak disunnahkan untuk diqada.   

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum mengqada shalat Tarawih adalah sunnah. Lalu kapan waktu mengqadanya? Apakah harus di malam hari juga? Apakah harus masih di bulan Ramadhan?   

Ulama menegaskan bahwa tidak ada batasan waktu kapan shalat tarawih diqada, boleh dilakukan kapan pun, bisa di pagi, siang atau malam hari. Pelaksanaan qada tarawih juga tidak harus di bulan Ramadhan, bisa dilakukan di Syawal atau bulan-bulan lainnya.   

 

Namun sebaiknya, shalat tarawih yang tertinggal agar segera diqada, sebab mempercepat kebaikan adalah hal yang dianjurkan agama. Tata cara shalat qada tarawih sama seperti shalat tarawih yang dilakukan pada waktunya.   

Adapun contoh niatnya adalah “Ushalli sunnata rak’ataini minat Tarawihi qadha’an lillahi ta’ala,” (Saya niat shalat sunah dua rakaat dari Tarawih secara qada karena Allah).   Penjelasan di atas berdasarkan referensi berikut ini:

 

   وَلَوْ فَاتَ النَّفَلُ الْمُؤَقَّتُ سُنَّتْ الْجَمَاعَةُ فِيهِ كَصَلَاةِ الْعِيدِ أَوْ لَا كَصَلَاةِ الضُّحَى نُدِبَ قَضَاؤُهُ فِي الْأَظْهَرِ لِحَدِيثِ الصَّحِيحَيْنِ مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا   

 

Artinya: Bila terlewat shalat sunnah yang diberi batasan waktu, baik yang disunahkan berjamaah seperti shalat hari raya atau tidak seperti shalat Dhuha, maka sunah mengqadanya menurut pendapat Al-Azhar. Hal ini karena haditsnya Al-Bukhari dan Muslim; Barang siapa tertidur dari shalat atau lupa darinya, maka shalatlah ketika ia ingat.

   وَلِأَنَّهُ - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَضَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ لَمَّا نَامَ فِي الْوَادِي عَنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ إلَى أَنْ طَلَعَتْ الشَّمْسُ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ،  وَفِي مُسْلِمٍ نَحْوُهُ   

 

Artinya: Karena Nabi mengqada dua rakaat qabliyyah Subuh ketika beliau tertidur di jurang dari shalat Subuh sampai matahari terbit. Hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Di dalam Shahih Muslim juga disampaikan riwayat senada.

   وَقَضَى رَكْعَتَيْ سُنَّةِ الظُّهْرِ الْمُتَأَخِّرَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ، وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ مُؤَقَّتَةٌ فَقُضِيَتْ كَالْفَرَائِضِ، وَسَوَاءٌ السَّفَرُ وَالْحَضَرُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ ابْنُ الْمُقْرِي   

 

Artinya: Nabi mengqada dua rakaat ba’diyyah Zhuhur setelah shalat Ashar. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Karena shalat tersebut adalah shalat yang diberi batasan waktu, maka diqada seperti shalat fardhu. Ketentuan ini berlaku baik untuk shalat sunnah yang tertinggal saat berpergian dan saat di rumah seperti dijelaskan oleh Imam Ibnul Muqri (Lihat Syekh Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz I, halaman 457).   

 

Di dalam referensi lain disebutkan:

   وَلَوْ فَاتَ النَّفَلُ الْمُؤَقَّتُ كَصَلَاةِ الْعِيدِ وَالضُّحَى وَالرَّوَاتِبِ نُدِبَ قَضَاؤُهُ أَبَدًا فِي الْأَظْهَرِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ كَقَضَائِهِ - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - سُنَّةَ الصُّبْحِ  فِي قِصَّةِ الْوَادِي بَعْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَسُنَّةَ الظُّهْرِ الْبَعْدِيَّةَ بَعْدَ الْعَصْرِ لَمَّا اشْتَغَلَ عَنْهَا بِالْوَفْدِ؛ وَلِأَنَّهَا صَلَاةٌ مُؤَقَّتَةٌ فَقُضِيَتْ كَالْفَرَائِضِ، وَلَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ ابْنُ الْمُقْرِي.    

 

Artinya: Jika tertinggal shalat sunah yang diberi batasan waktu seperti shalat hari raya, shalat Dhuha dan shalat rawatib, maka sunah mengaqadanya kapan pun menurut pendapat Al-Azhhar, karena beberapa hadits yang shahih tentang hal itu, seperti nabi mengqada shalat sunnah Shubuh dalam peristiwa jurang setelah terbitnya matahari, nabi mengqada ba’diyyah Zuhur setelah Ashar ketika beliau sibuk dengan utusan, dan karena shalat tersebut diberi batas waktu, maka diqada sebagaimana shalat fardhu. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara shalat yang tertinggal saat kondisi di rumah dan bepergian seperti yang dijelaskan Imam Ibnul Muqri.

 

   وَالثَّانِي لَا يُقْضَى كَغَيْرِ الْمُؤَقَّتِ   

 

Artinya: Menurut pendapat kedua, tidak sunnah diqada, (karena disamakan) dengan shalat selain yang diberi batas waktu.

   وَخَرَجَ بِالْمُؤَقَّتِ ذُو السَّبَبِ كَكُسُوفٍ وَاسْتِسْقَاءٍ وَتَحِيَّةٍ فَلَا مَدْخَلَ لِلْقَضَاءِ فِيهِ، وَالصَّلَاةُ بَعْدَ الِاسْتِسْقَاءِ شُكْرًا عَلَيْهِ لَا قَضَاءً   

Artinya: Terkecuali dari ucapan shalat yang diberi batas waktu, shalat sunah yang memiliki sebab seperti shalat gerhana matahari, istisqa dan tahiyyatul masjid, maka tidak ada ruang mengqada di dalamnya. Demikian pula shalat setelah pelaksanaan shalat istisqa untuk mensyukuri (turunnya hujan), bukan dalam rangka mengqadha.

 

   نَعَمْ لَوْ قَطَعَ نَفْلًا مُطْلَقًا اُسْتُحِبَّ قَضَاؤُهُ، وَكَذَا لَوْ فَاتَهُ وِرْدُهُ مِنْ النَّفْلِ الْمُطْلَقِ كَمَا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ   

 

Artinya: Namun demikian, bila seseorang telah memastikan waktu shalat sunah mutlak, maka sunnah mengqadanya. Demikian pula bila wiridannya dari shalat sunah mutlak tertinggal, (sunah diqadakan) seperti dikatakan Imam Al-Adzra’i (Lihat Syekh Muhammad bin Ahmad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, juz II, halaman 121).   

 

Mengomentari referensi An-Nihayah tersebut, Syekh Ali Syibramalisi menegaskan:

   قَوْلُهُ: أَبَدًا فِي الْأَظْهَرِ) أَيْ فَلَا يُتَقَيَّدُ قَضَاءُ فَائِتِ النَّهَارِ بِبَقِيَّتِهِ وَلَا فَائِتِ اللَّيْلِ بِبَقِيَّتِهِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ بِهِ. اهـ مَحَلِّيٌّ بِالْمَعْنَى   

 

Artinya: Ucapan Ar-Ramli; kapan pun menurut pendapat Al-Azhhar; maksudnya (waktu) mengqada shalat sunnah siang hari yang tertinggal tidak dibatasi dengan sisa waktu siang, demikian pula shalat sunnah malam yang tertinggal tidak dibatasi dengan sisa waktu malam, berbeda menurut ulama yang berpendapat dengan pembatasan tersebut (Lihat Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah ‘ala Nihayatil Muhtaj, juz II, halaman 121).   

 

Demikian lah penjelasan mengenai dalil, tata cara dan niat mengqada shalat tarawih yang bersumber dari beberapa hadits Nabi dan beberapa kitab para ulama. Maka shalat tarawih bisa diqada kapan saja, bisa di pagi, siang atau malam hari. Dan pelaksanaan qadanya juga tidak harus di bulan Ramadhan, bisa dilakukan di Syawal atau bulan-bulan lainnya.   Akan tetapi, sebaiknya, shalat tarawih yang tertinggal agar segera diqada, sebab mempercepat kebaikan adalah hal yang dianjurkan agama.


Syiar Terbaru