• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Kamis, 9 Mei 2024

Syiar

Cara Membayar Fidiah Puasa Wajib

Cara Membayar Fidiah Puasa Wajib
foto Ustadzah Siti Masyithah, M.Pd
foto Ustadzah Siti Masyithah, M.Pd

Oleh: Ustadzah Siti Masyithah, M.Pd

 

Orang Islam pastinya tidak asing lagi dengan yang namanya fidiah. Secara bahasa fidiah diambil dari kata fadaa yang berarti mengganti atau menebus. Secara istilah, fidiah adalah suatu pengganti atau tebusan yang membebaskan seorang mukalaf dari sebuah perkara hukum yang berlaku padanya. Lalu siapa saja orang yang dikenai fidiah dalam puasa? 


Dalam kitab Al-Fiqh al-Syafi’iy al-Muyassar, karya Dr. Wahbah Azzuhaili, Juz I, halaman 363-364, disebutkan bahwa fidiah puasa diwajibkan untuk lima kasus:


Pertama, orang yang mati dan memiliki tanggungan puasa wajib, baik puasa Ramadhan, nadzar atau kafarat  yang seharusnya mampu diselesaikan orang tersebut, atau karena teledor sehingga menyebabkan batal puasanya. Maka fidiahnya membayar satu hari dengan satu mud makanan pokok di negara tersebut. 


Sedangkan menurut pendapat yang umum berdasarkan qaul qadimnya Imam Syafi’i menyebutkan bahwa jika seorang muslim meninggal dunia dan masih  bisa diqadha puasanya, maka diperbolehkan bagi walinya (yaitu siapapun saudaranya) untuk menggantikan puasanya tanpa membayar fidiah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhori dan Muslim:


من مات وعليه صيام، صام عنه وليه 


Barang siapa meninggal dunia dan baginya kewajiban puasa, maka berpuasalah walinya untuk (menggantikan) nya”.


Dan ketika keadaan wali tidak mampu untuk mengqadhai puasa si mayit, seperti mengganti puasa dan membayar fidiah, maka tidak ada kewajiban fidiah maupun qadha bagi wali, juga tidak ada dosa baginya karena tidak ada kesengajaan didalamnya.


Kedua, orang yang tidak mampu berpuasa karena lumpuh atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Berdasarkan firman Allah swt:


وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ 

 

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidiah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin..." (Q.S. al-Baqarah; 184).

 

Kategori tidak mampu disini yaitu manakala dia tetap menjalankan puasa maka ia akan mengalami kesulitan atau menjadi sakit yang lebih berat atau parah. Maka fidiah pada kasus ini wajib didahulukan sebelum pelaksanaan puasa, dan tidak dibayarkan setelah selesai puasa. Namun jika orang tersebut tidak mampu untuk membayar fidiah tersebut, maka tidak ada kewajiban lagi baginya untuk membayarnya, sebagaimana yang dikemukakan Imam An-Nawawi Rahimahullah.


Ketiga, ibu hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan janin atau anaknya, maka si ibu diwajibkan mengqadha puasa dan juga wajib membayar fidiah satu mud setiap hari yang ditinggalkannya. Namun jika ibu hamil atau menyusui hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri maka ia hanya wajib mengqadha puasa tanpa membayar fidiah. 


Keempat, orang yang berbuka puasa karena menyelamatkan orang lain atau hewan yang dimuliakan yang sedang mengalami kecelakaan atau musibah. Maka kasus ini diserupakan (qiyas) dengan ibu hamil atau menyusui. Ia wajib berbuka puasa, karena jika tanpa berbuka ia tidak akan bisa menyelamatkan nyawa manusia.


Kelima, orang yang mengakhirkan qadha puasa Ramadhan tahun lalu, akan tetapi sampai pada Ramadhan selanjutnya ia belum mengqadhanya juga, padahal ia mampu membayar puasa tersebut tanpa adanya uzur (sakit atau bepergian). Maka orang tersebut dihukumi berdosa karena mengakhirkan qadha (mengganti puasa), sebagaimana tertulis di dalam kitab Al-Majmu’nya Imam An-Nawawi.


Menurut pendapat yang al-Ashah, fidiah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun. Semisal orang mempunyai tanggungan qadha puasa sehari di tahun 2018, tetapi ia tidak kunjung mengqadha sampai masuk Ramadhan tahun 2020, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadhan), kewajiban fidiahnya berlipat ganda menjadi dua mud. Karena hak yang berkaitan dengan harta tidak bisa saling tumpang tindih. Dan masih menurut qaul Ashoh, jika seseorang meninggal dunia sedang ia mengakhirkan kewajiban qadha padahal mampu mengerjakannya, maka setiap hari dikeluarkan dari harta peninggalannya untuk qadha puasa yang ditinggalkannya sebanyak 2 mud; 1 mud untuk qadha (fidyah li al-fawaat) dan 1 mud lagi karena mengakhirkannya (fidyah li at-ta’khir).

 

Syekh Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:

 

)ومن أخر قضاء رمضان مع إمكانه) بأن كان مقيما صحيحا. (حتى دخل رمضان آخر لزمه مع القضاء لكل يوم مد) وأثم كما ذكره في شرح المهذب وذكر فيه أنه يلزم المد بمجرد دخول رمضان، أما من لم يمكنه القضاء، بأن استمر مسافرا أو مريضا حتى دخل رمضان فلا شيء عليه بالتأخير، لأن تأخير الأداء بهذا العذر جائز فتأخير القضاء أولى بالجواز. 

 

Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan padahal imkan (ada kesempatan), sekira ia mukim dan sehat, hingga masuk Ramadhan yang lain, maka selain qadha ia wajib membayar satu mud makanan setiap hari puasa yang ditinggalkan, dan orang tersebut berdosa seperti yang disebutkan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab”.

 

Untuk penyalurannya, fidiah hanya diberikan kepada golongan fakir miskin. Dan fidiah juga sejenis dengan zakat fitrah, yaitu sama-sama makanan pokok. dan makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia adalah beras. Sedang ukuran mud bila dikonversikan ke dalam hitungan gram adalah 675 gram atau 6,75 ons. Hal ini berpijak pada hitungan paling masyhur, yang di antaranya disebutkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu. Sementara menurut hitungan Syekh Ali Jumah dalam kitab al-Makayil wa al-Mawazin al-Syar’iyyah, satu mud adalah 510 gram atau 5,10 ons.  

 

Sedangkan per satu mud untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan merupakan ibadah yang terpisah atau independent, oleh karenanya diperbolehkan mengalokasikan beberapa mud untuk beberapa puasa yang ditinggalkan kepada satu orang fakir miskin. Contohnya, jika fidiah puasa orang mati itu 10 hari, maka 10 mud semuanya boleh diberikan kepada satu orang fakir miskin. 

 

Orang yang wajib fidiah li a-ta’khir boleh mempercepat pembayaran fidiahnya sebelum masuk Ramadhan kedua, menurut qaul Ashoh, dan haram untuk mengakhirkannya.

 

Sedang ibu hamil atau menyusui tidak diperbolehkan membayar fidiah terlebih dahulu sebelum ada kejelasan apakah benar tidak bisa berpuasa dalam beberapa hari, sebagaimana juga tidak diperbolehkan mempercepat pembayaran zakat fitrah menjadi dua tahun. 

 

Untuk niat fidiah boleh dilakukan secara langsung saat menyerahkan fidiah kepada fakir miskin, serta boleh juga saat memberikan fidiah kepada wakil atau setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidiah. Hal ini sebagaimana diatur dalam bab zakat.

 

Kemudian sering ada pertanyaan, bolehkah fidiah dengan uang? Sebagaimana penjelasan di atas, harta yang dikeluarkan untuk fidiah disyaratkan berupa makanan pokok daerah setempat. Maka tidak cukup menggunakan harta jenis lain yang bukan merupakan makanan pokok, semisal uang, daging, tempe, dan lain-lain. Ini adalah pendapat mayoritas ulama mazhab seperti Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.   Sedangkan menurut Hanafiyah, fidiah boleh ditunaikan dalam bentuk qimah (nominal) yang setara dengan makanan yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an atau hadits, misalnya ditunaikan dalam bentuk uang.

 

Hanya saja yang perlu diperhatikan, bahwa ketentuan kadar, jenis dan kebolehan menunaikan qimah dalam fidiah menurut perspektif Hanafiyah sama dengan ketentuan dalam bab zakat fitrah (Syekh Ahmad bin Muhammad al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah ‘ala Maraqil Falah, hal. 688).  

 

Ukuran satu sha’ dalam madzhab Hanafiyyah menurut hitungan versi Syekh Ali Jum’ah dan Muhammad Hasan adalah 3,25 kg, berarti setengah sha’ nya adalah 1,625 kg. Sedangkan menurut hitungan versi Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqih al-Islami adalah 3,8 kg, berarti setengah sha’ adalah 1,9 kg.   Dengan demikian, cara menunaikan fidiah dengan uang versi Hanafiyyah adalah nominal uang yang sebanding dengan harga kurma, anggur atau jerawut, seberat satu sha’ (3,8 kg atau 3,25 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku kelipatan puasa yang ditinggalkan. Bisa juga memakai nominal gandum atau tepungnya seberat setengah sha’ (1,9 kg atau 1,625 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku kelipatan puasa yang ditinggalkan. Wallaahu a’lam 
 

Penulis adalah Ketua Jam'iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Muballighah (JP3M) Bandar Lampung.


Syiar Terbaru