Syiar

Benarkah Menangisi Jenazah Itu Dilarang?

Jumat, 31 Mei 2024 | 08:10 WIB

Benarkah Menangisi Jenazah Itu Dilarang?

Ilustrasi makam (Foto: NU Online)

Kematian pastinya akan menimbulkan perasaan sedih dan duka cita bagi keluarga atau kerabat yang ditinggalkan. Hingga tak jarang kita menangis terisak-isak karena tak mampu membendung rasa sedih yang amat dalam.


Namun sering kita mendengar ucapan atau nasihat, agar kita tidak menangisi jenazah keluarga kita atau siapa saja yang meninggal dunia. Alasannya, tangisan tersebut akan menambah beban azab kubur almarhum di alam barzakh. 


Benarkah yang pernyataan tersebut, dan apakah ada dasar hukumnya? Bukankah tangis sebagai tanda kesedihan atas kepergian seseorang merupakan hal yang sangat manusiawi. 


Apalagi kematian membuat kita kehilangan seseorang, yang tidak akan mungkin kembali lagi. Sejumlah sesal atau rasa bersalah bermunculan, menambah rasa duka cita.


Dilansir dari NU Online, sejauh tangis masih dalam batas kewajaran, Islam tidak melarangnya. Ulama fiqih tidak memandang tangisan atas jenazah sebagai sebuah masalah. Rasulullah saw sendiri meneteskan air mata ketika melepas putranya, Ibrahim, melewati detik-detik kehidupannya di dunia sebagaimana keterangan berikut:


ولا بأس بالبكاء على الميت من غير نوح ولا شق جيب ولا ضرب خد) يجوز البكاء على الميت قبل الموت وبعده أما قبله فلرواية أنس رضي الله عنه قال دخلنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم وإبراهيم ولده يجود بنفسه فجعلت عينا رسول الله صلى الله عليه وسلم تذرفان يعني تسيلان 


Artinya: (Tidak masalah menangisi jenazah tanpa meratap, merobek kantong, dan memukul pipi). Seseorang boleh menangisi orang lain baik sebelum maupun sesudah wafatnya. Kebolehan menangisi seseorang sebelum wafat didasarkan pada riwayat sahabat Anas ra, ia berkata, “Kami menemui Rasulullah saw. Sementara Ibrahim, putra beliau, sedang mengembuskan nafas terakhirnya. Saat itu tampak air hangat mengalir, yaitu meluncur dari kedua mata Rasulullah saw,” (Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 137-138). 


Riwayat ini menunjukkan diperbolehkannya menangisi seseorang menjelang wafatnya sebagaimana Rasulullah saw menangis di akhir hayat putranya, Ibrahim. Dari riwayat ini, ulama menyimpulkan bahwa seseorang boleh menangisi orang lain sesaat sebelum orang lain tersebut wafat. 


Ada pula riwayat berikut ini mengisahkan tangisan Rasulullah saw saat upacara pemakaman putrinya. Saat salah seorang putrinya dikebumikan, Rasulullah saw tampak duduk di atas makam putrinya dan mengalirkan air mata di pipinya yang mulia.


وأما بعده فلما رواه أنس أيضا قال شهدنا دفن بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم فرأيت عينيه تذرفان وهو جالس على قبرها 


Artinya: Sedangkan kebolehan menangisi seseorang setelah wafat juga didasarkan pada hadits riwayat sahabat Anas ra. Ia berkata, “Kami menyaksikan pemakaman putri Rasulullah saw. Aku melihat kedua matanya berlinang air mata. Sementara Rasulullah saw duduk di atas makam putrinya” (Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 138).


Dua riwayat dari sahabat Anas ra di atas, dapat menjadi dasar atas argumentasi ulama bahwa tangis kesedihan atas kematian seseorang boleh dilakukan sebelum atau sesudah seseorang itu wafat. Yang tidak boleh dalam Islam adalah mengekspresikan kesedihan secara berlebihan, yaitu meratap, meraung, memukul pipi, mogok makan, mogok bicara, dan seterusnya. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah swt.