• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Agama VS Politik

Agama VS Politik
Agama VS Politik
Agama VS Politik

Oleh: Titut Sudiono (Dosen Jurusan Syariah STAIN Jurai Siwo Metro)  

 

Agama (Islam) itu berdimensi banyak, sedangkan politik hanya berdimensi tunggal, yaitu dimensi rasional. Agama terdiri dari aqidah, akhlak, ibadah, syariah, dan muamalah. Di dalam muamalah terdapat politik, ekonomi, sosial, kesenian, pendidikan, kelas, perkumpulan, dsb. Dalam kegiatan ekonomi, mendirikan perusahaan tidak diatur dalam agama. Demikian pula dengan kesenian, jadi ekspresionis atau impresionis tidak diatur dalam agama. Pendidikan, matematika atau sosiologi pun tidak diatur dalam agama. Dalam realitas masyarakat, ada yang merasa bagian dari kelas menengah atau kelas bawah yang secara keseluruhannya tidak diatur dalam agama.

 

Begitu pula partai politik, yang sengaja didirikan untuk memperoleh kekuasaan serta memerintah atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Pembentukan partai politik didasarkan atas kesamaan ideologi, visi serta misinya untuk membangunan dan memecahkan masalah-masalah bangsa dan negara. Dilihat dari visi, misi serta ideologi partai, maka ada yang disebut partai konservatif dan ada partai liberal. Pada sisi lain ada partai yang berdasarkan agama dan ada yang berlandaskan sosialisme, kerakyatan dan lain-lain. Kenyataannya, tidak hanya ada satu partai politik yang menganut ideologi dan dasar yang sama dalam suatu negara.  

 

Walaupun menganut dasar, prinsip dan visi serta missi yang sama, bisa lahir beberapa partai politik. Karena itu, pembentukan partai politik juga sangat dipengaruhi oleh pandangan dan kemauan yang lebih personal dari para tokoh atau pimpinan partai politik. Akan tetapi kemungkinannya sangat besar bahwa kegiatan politik atau partai politik akan melahirkan poitical man. Manusia berdimensi tunggal ini tentu saja bukan manusia berdimensi banyak, manusia yang utuh.

 

Definisi politik sebagai “the art of the possible” atau “tidak ada kawan abadi, yang ada ialah kepentingan abadi” cenderung berlaku. Akibatnya, politik yang dalam pandangan Islam seharusnya istiqomah (memegang teguh kaidah, konsisten) dan transparan menjadi oportunistik dan tertutup. Itulah yang terjadi antara NU dan Masjumi yang saling bersaingan di masa lalu. Itulah yang terjadi dengan Partai Islam Perti (dulu) pada pra-1965. Sebagai partai kecil, keberadaan Partai Islam Perti akan diakui bila waktu itu mau mendukung PKI. Eksistensi partai berada di atas eksistensi Partai Islam. Bukan tidak mungkin terjadi kasus tanpa kaidah, kasak-kusuk, dan “dagang sapi bagi partai politik Islam. Political man bisa berubah menjadi political animal, yaitu kalau orang sudah mengidap penyakit, katakanlah namanya politico complex.

 

Politik akan mengakhiri sifat berdimensi banyak dari agama. Jika politik sudah meninggalkan aqidah, akhlak, ibadah dan syariah, maka berarti anak sudah membunuh bapaknya sendiri. Meski banyak yang mengatakan, kalau kekhawatiran, tidak akan terjadi.,” kata orang. Namun kita pesimis, sejarah adalah guru yang jujur. Sejarah cenderung terjadi lagi. Sejarah mengajar bahwa reduksionisme agama-agama yang berdimensi banyak menjadi politik yang berdimensi tunggal akan menjebak umat dalam petualangan politik yang berbahaya bagi “ukhuwah Islamiah” Politik orde baru adalah guru yang jelek.

 

Pada waktu itu, negara betul-betul ambaudhendha (serba kuasa). Negara berkuasa untuk membagikan kemakmuran ekonomi (KKN, proyek-proyek) dan berkuasa untuk membagikan kemakmuran sosial seperti bintang jasa dan hadiah-hadiah. Negara pun berkuasa atas sistem symbol seperti memasukkan aliran kepercayaan dalam GBHN, penataran P4, izin pementasan, dll. Hanya dalam sebuah rezim totaliter seperti orde baru itu semua dapat terjadi, politik menjadi rasional.

 

“Politik sebagai panglima” diterapkan secara diam-diam, meskipun dipermukaan namanya adalah “pembangunan sebagai panglima”. Apa yang ada dalam orde lama diterapkan secara terang-terangan oleh orde baru, dengan diambil alih “di bawah tangan”. Oleh karena itu, sifat format politik harus dirampingkan. Dengan kata lain, dibuat rasional. Negara yang mempunyai kekuasaan aktual dan simbolis tidak terbatas harus dipangkas. Digantikan oleh kekuasaan yang aktual yang terbatas kepada hal-hal rasional, seperti mengatur soal ekonomi, perpajakan, perumahan, pendidikan, low inforcement, keamanan, ketertiban, dan hubungan internasional. Negara sama sekali lepas tangan dari kekuasaan atas sistem simbol, seperti agama, kepercayaan, kebudayaan, system pengetahuan, dan kepribadian bangsa.

 

Dapat saja sebuah departemen teknis diminta untuk mengurusi hal-hal simbolis, tapi tidak diatur oleh Negara. Jadi gambaran kita tentang politik yang rasional adalah negara yang terbatas, yaitu dibatasi oleh wewenang masyarakat. Kalau politik menjadi semata-mata rasional, teknis, dan objektif, maka tidak perlu ada partai-partai agama. Partai agama diperlukan karena benak kita tergambar negara totaliter semacam negara dalam orde baru yang menguasai segala-galanya. Kalau totalitarianism itu hilang, agama hanya perlu sampai ketingkat ormas, bukan parpol.

 

Agama yang hanya sampai tingkat ormas bukan berarti agama yang banci, mandul, dan impoten. Banyak cara bagi ormas agama untuk menunjukkan kepedulian kepada bidang politik. Agama hanya sampai pada tingkat ormas ialah untuk menjaga jangan sampai agama kena getah politik. Keberadaan parpol itu hanya timbul tenggelam. Bisa saja, kemarin,  sebuah parpol menjadi mayoritas kemarin, namun besok pagi bisa menjadi minoritas. Parpol Islam pun akan timbul tenggelam dalam sejarah politik. Untuk itulah seyogyanya NU tetap pada khittah 1926 dan Muhammadiyah tetap ber-high politic, bergerak dalam politik murni, tetapi tidak terlibat dalam politik praktis.        


Opini Terbaru