Yudi Prayoga
Penulis
Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, sebuah kewajiban mulia bagi yang mampu secara fisik dan finansial.
Usai menunaikan ibadah tersebut, para jamaah pulang dengan membawa gelar terhormat: haji atau hajjah. Gelar ini bukan sekadar simbol keberhasilan spiritual, tetapi merupakan panggilan kehormatan yang membawa tanggung jawab moral yang besar.
Namun, sangat disayangkan jika gelar Haji hanya menjadi gelar sosial, tanpa disertai perubahan sikap dan perilaku. Justru yang seharusnya terjadi adalah, panggilan haji menjadi rem atau pengendali bagi seseorang agar tidak terjerumus dalam maksiat.
Makna spiritual di balik gelar haji
Baca Juga
Hukum Mengganti Nama Sepulang Haji
Ibadah haji adalah puncak dari perjalanan spiritual seorang Muslim. Ia telah melewati rukun Islam yang lain dan pada akhirnya menunaikan ibadah yang menuntut ketulusan, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa. Maka, saat seseorang pulang dan mendapat panggilan haji, itu berarti ia telah menyatakan janji di hadapan Allah untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ
Artinya: (Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat (QS Al-Baqarah: 197).
Ayat ini menegaskan bahwa nilai-nilai ibadah haji harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari, bahkan setelah pulang ke tanah air. Maka, panggilan haji tidak hanya menjadi kebanggaan, tetapi juga menjadi peringatan akan janji dan ikrar kepada Allah untuk meninggalkan segala bentuk kemaksiatan.
Panggilan haji sebagai rem sosial dan moral
Gelar haji di masyarakat kita seringkali dianggap sebagai simbol kesalehan dan keteladanan. Oleh karena itu, orang yang dipanggil "Pak Haji" atau "Bu Hajah" secara tidak langsung menjadi panutan dalam lingkungan sosialnya. Setiap ucapan dan tindak-tanduknya akan dinilai, bahkan ditiru. Maka dari itu, sangat tidak pantas jika seorang yang sudah bergelar haji masih terjerumus dalam perbuatan maksiat, seperti korupsi, ghibah, penipuan, atau kelalaian dalam ibadah.
Jika seseorang yang bergelar haji justru menjadi pelaku maksiat, maka dua kerugian besar akan terjadi: pertama, kehormatan pribadi sebagai haji menjadi tercoreng; kedua, nama ibadah haji sendiri bisa tercemar di mata masyarakat. Dalam hal ini, tanggung jawab moral yang melekat pada panggilan haji harus dijadikan sebagai pengingat dan rem agar senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa.
Menjadikan gelar haji sebagai kompas hidup
Orang yang telah berhaji seharusnya memiliki peningkatan dalam aspek ibadah, akhlak, dan kontribusi sosial. Panggilan Haji menjadi semacam kompas hidup yang terus mengingatkan bahwa dirinya pernah berdiri di hadapan Ka'bah, pernah menangis memohon ampunan di Arafah, dan pernah bersimpuh di hadapan Allah dengan segala kerendahan hati.
Oleh karena itu, seseorang yang telah haji semestinya merasa malu jika dirinya kembali kepada kemaksiatan. Setiap kali orang memanggilnya “Haji”, itu adalah seruan untuk tetap berada di jalan kebaikan. Seperti seorang mantan narapidana yang bertekad tidak kembali ke penjara, seorang haji seharusnya bertekad tidak kembali ke kubangan dosa yang pernah ia tinggalkan.
Dalam sejarah umat Islam, banyak tokoh yang setelah menunaikan haji mengalami perubahan hidup yang luar biasa. Mereka menjadi lebih lembut hatinya, lebih peduli kepada sesama, dan lebih teguh menjaga integritas. Ada pula yang menjadikan pengalaman haji sebagai titik balik dalam hidup, berhijrah total dari kehidupan yang lalai menuju kehidupan yang penuh makna.
Mereka ini memahami bahwa panggilan haji bukan hanya milik mereka, tetapi amanah dari Allah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Mereka sadar, panggilan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.
Haji Sejati, Bukan Sekadar Gelar
Mari kita renungkan bersama: apakah kita benar-benar telah menjadi haji sejati atau hanya haji gelar? Apakah panggilan haji sudah cukup kuat menjadi rem dari maksiat, atau justru hanya menjadi pelindung untuk menutupi keburukan?
Semoga setiap orang yang telah menunaikan ibadah haji menjadikan panggilan itu sebagai cambuk untuk menjadi lebih baik, bukan sebagai tameng untuk bersembunyi di balik gelar. Jadikanlah haji sebagai identitas kebaikan, sumber inspirasi, dan rem yang menghindarkan kita dari semua bentuk maksiat.
Mereka yang pergi haji jelas berharap mendapatkan haji yang mabrur karena balasan haji mabrur adalah surga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
الْحَجَّةُ الْمَبْرُورَةُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Artinya: Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga (HR An-Nasa’i).
Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang terus istikamah dalam kebaikan, baik sebelum maupun setelah berhaji. Amin.
Terpopuler
1
Ini Khasiat Alysha, Sabun Herbal Produk UMKM Mitra Binaan LAZISNU Pringsewu
2
Kolaborasi Assahil–Madani: Menuju Pesantren Mandiri dengan Kaderisasi Akuntansi
3
Balasan dari Langit: Menunggu Kehancuran Israel atas Serangan Iran
4
Kesahihan Dalil Jual Beli Kepada Non-Muslim
5
Benarkah, setelah Pulang Haji Tidak Boleh Keluar Rumah selama 40 Hari?
6
Berikut 3 Predikat Haji yang Mabrur
Terkini
Lihat Semua