Hari Pangan Sedunia diperingati setiap 16 Oktober. Ini adalah hari yang dicanangkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan kesadaran global tentang masalah ketahanan pangan, kelaparan, dan malnutrisi.
Hari tersebut diprakarsai oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 untuk mendorong aksi global dalam mengatasi masalah terkait pangan, terutama di negara-negara dengan tingkat kelaparan dan kekurangan gizi yang tinggi.
Sehubungan dengan larangan menimbun barang, khususnya pangan, pemerintah di berbagai negara memiliki regulasi yang melarang tindakan tersebut. Menimbun barang, termasuk bahan pangan, dianggap sebagai tindakan yang tidak etis karena dapat menyebabkan kelangkaan buatan dan menaikkan harga secara tidak wajar.
Baca Juga
Fiqih Shalat: Hukum Berdiri dalam Shalat
Di Indonesia, larangan ini diatur dalam beberapa regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang melarang praktik monopoli atau penimbunan barang yang mengganggu stabilitas pasar dan merugikan konsumen.
Tradisi penimbunan tersebut memberikan konsekuensi logis terhadap harga komoditas tersebut. Sebagaimana hukum pasar, ketika suatu komoditas yang beredar di pasar lebih sedikit tidak sesuai dengan permintaan maka harganya pasti lebih tinggi, dibanding ketika komoditas tersebut beredar sesuai dengan permintaan pasar/konsumen atau malah lebih.
Dalam Islam, penimbunan barang merupakan perbuatan tercela. Dilansir dari NU Online, para ulama sepakat bahwa “menimbun” (ihtikâr) hukumnya adalah dilarang (haram).
Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh para ulama tersebut adalah beberapa hadits Nabi Muhammad saw, di antaranya hadits yang diriwayatkan melalui Umar ra di mana Nabi saw bersabda:
الجالب مرزوق والمحتكر ملعون
Artinya: Orang yang mendatangkan (makanan) akan dilimpahkan rezekinya, sementara penimbun akan dilaknat.
Juga hadits yang diriwayatkan melalui Mu’ammar al-‘Adwiy:
لا يحتكر الا خاطئ
Artinya: Tidak akan menimbun barang, kecuali orang yang berbuat salah.
Hadits yang diriwayatkan melalui Ibn Umar:
من احتكر طعاماً أربعين ليلة، فقد برئ من الله ، وبرئ الله منه
Artinya: Siapa menimbun makanan selama 40 malam, maka ia tidak menghiraukan Allah, dan Allah tidak menghiraukannya.
Hadits yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah:
مَنْ احْتَكَرَ حُكْرَةً يُرِيدُ أَنْ يُغْلِيَ بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Artinya: Siapa menimbun barang dengan tujuan agar bisa lebih mahal jika dijual kepada umat Islam, maka dia telah berbuat salah. Hadits Riwayat Ibnu Majah, dan sanadnya hasan menurut Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah:
من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالجذام والإفلاس” رواه ابن ماجة وإسناده حسن
Artinya: Siapa yang suka menimbun makanan orang-orang Islam, maka Allah akan mengutuknya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan (HR Ibnu Majah, sanad hadit ini hasan).
Alasan hukum haramnya menimbun barang yang digunakan oleh para ulama adalah adanya kesengsaraan (al-madlarrah), di mana dalam menimbun ada praktik-praktik yang menyengsarakan (al-madlarrah) orang lain, yang hal tersebut tidak sejalan dengan tujuan syari’at Islam yaitu menciptakan kemaslahatan (tahqîq al-mashâlih) dengan langkah mendatangkan kemanfaatan (jalbul manfa’ah) dan membuang kesengsaraan (daf’ul madlarrah).
Apalagi kalau diperhatikan perbuatan menimbun merupakan hanya berupaya mencari keuntungan bagi dirinya sendiri diatas penderitaan orang lain. Para ulama juga banyak pendapat, yang haram ditimbun bukan hanya barang/komoditi makanan pokok sehari-hari suatu penduduk saja, melainkan komoditi yang kalau hal tersebut sulit didapatkan maka hal itu bisa menyebabkan kesengsaraan bagi orang banyak. Malah ulama Malikiyah berpendapat bahwa haramnya menimbun tidak hanya pada bahan pokok saja melainkan semua barang.