Ziarah kubur merupakan aktivitas mengunjungi makam keluarga, kerabat, atau orang yang dihormati sebagai bentuk penghormatan, doa, dan pengingat akan kehidupan setelah mati. Dalam Islam, ziarah kubur sangat dianjurkan karena memiliki beberapa hikmah dan manfaat bagi penziarahnya.
Ketika sedang ziarah, kita sering melihat nisan makam (kuburan) yang memiliki nama atau diberikan nama oleh keluarganya, dan mungkin itu juga yang kita lakukan kepada keluarga kita yang telah meninggal. Akan tetapi, apakah kita sudah tahu hukumnya memberikan nama pada nisan?
Dilansir dari NU Online, ulama Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa penulisan nama dan nasab jenazah pada patok kuburan atau papan nisan adalah tindakan makruh sebagaimana keterangan Syekh As-Syarbini dalam Al-Iqna’ berikut ini.
وَتُكْرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الْقَبْرِ وَلَوْ لِقُرْآنٍ بِخِلَافِ كِتَابَةِ الْقُرْآنِ عَلَى الْكَفَنِ فَحَرَامٌ؛ لِأَنَّهُ يُعَرِّضُهُ لِلصَّدِيدِ
Artinya: (Makruh menulis sesuatu di atasnya), yaitu di atas kuburan sekali pun berisi ayat Al-Qur’an. Tetapi menulis ayat Al-Qur’an pada kain kafan adalah haram karena pontensi terkena dengan cairan proses penguraian ‘jenazah’ (Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).
Menangapi keterangan As-Syarbini, Al-Bujairimi mengatakan penulisan di atas makam terbilang tindakan makruh dengan alasan ketiadaan hajat. Ketika penulisan di atas makam itu memiliki tujuan tertentu, Mazhab Syafi’i tidak memakruhkannya sejauh tindakan ini dilakukan sesuai kebutuhan.
وَمَحلُّ كَرَاهَةِ الْكِتَابَةِ عَلَى الْقَبْرِ مَا لَمْ يُحْتَجْ إلَيْهَا، وَإِلَّا بِأَنْ اُحْتِيجَ إلَى كِتَابَةِ اسْمِهِ وَنَسَبِهِ لِيُعْرَفَ فَيُزَارَ فَلَا يُكْرَهُ بِشَرْطِ الِاقْتِصَارِ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ
Artinya: Letak kemakruhan membuat tulisan di atas kubur adalah karena ketiadaan hajat. Tetapi kalau misalnya ada hajat tertentu untuk menuliskan nama jenazah berikut nasabnya agar dapat dikenali lalu diziarahi suatu hari kelak, maka tidak makruh dengan syarat sebatas hajat tersebut ( Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).
Ulama Mazhab Syafi’i bahkan menganjurkan penulisan nama para wali, ulama, dan orang saleh di atas makam mereka dengan maksud mudah diidentifikasi oleh masyarakat. Dengan demikian, dalam jangka waktu panjang ke depan masyarakat tidak kehilangan tanda untuk menziarahi makam-makam orang yang dianjurkan oleh agama untuk diziarahi.
لَا سِيَّمَا قُبُورُ الْأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ فَإِنَّهَا لَا تُعْرَفُ إلَّا بِذَلِكَ عِنْدَ تَطَاوُلِ السِّنِينَ. ا هـ
Artinya: Terlebih lagi makam para wali, ulama, dan orang-orang saleh karena makam mereka takkan dapat diidentifikasi tanpa penanda melalui tulisan nama mereka dalam jangka waktu panjang tahunan (Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).
Demikian dari beberapa redaksi di atas dapat disimpulkan bahwa memberikan tanda nama pada nisan makam/kuburan hukumnya diperbolekan, terutama sebagai (hajat) tanda untuk lebih mudah diziarahi. Akan tetapi jika tidak ada hajat sama sekali, maka hukumnya makruh.