Bercumbu Saat Puasa Ramadhan: antara Keharmonisan Rumah Tangga dan Kesucian Ibadah
Kamis, 6 Maret 2025 | 04:00 WIB
Oleh: Puji Raharjo Soekarno
Puasa Ramadhan bukan sekadar ibadah fisik yang menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga latihan spiritual dalam mengendalikan hawa nafsu dan memperkuat ketakwaan. Salah satu aspek yang sering menjadi pertanyaan adalah batasan interaksi fisik suami-istri selama berpuasa, seperti bercumbu, berciuman, atau berpelukan.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan mengenai kebolehan hubungan suami-istri di malam hari Ramadhan:
"أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ..."
Artinya: "Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan diri, maka Dia menerima tobat kalian dan memaafkan kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagi kalian..." (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat ini menegaskan bahwa hubungan suami-istri hanya diperbolehkan di malam hari Ramadhan dan dilarang pada siang harinya. Sementara itu, aktivitas bercumbu yang tidak sampai pada hubungan intim menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sebagian membolehkannya dengan syarat mampu mengendalikan diri, sementara yang lain menyarankan untuk menghindarinya demi menjaga kesempurnaan puasa. Oleh karena itu, pemahaman terhadap batasan ini sangat penting agar pasangan suami-istri tetap dapat menjaga keseimbangan antara hak biologis dan kewajiban ibadah di bulan suci ini.
Pendapat Imam Empat Mazhab
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bercumbu saat puasa diperbolehkan selama tidak menyebabkan keluarnya mani atau terjerumus ke dalam hubungan intim. Beliau mendasarkan pendapatnya pada hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mencium istrinya saat berpuasa.
Diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW pernah menciumnya tatkala puasa. Akan tetapi beliau menambahkan catatan bahwa Nabi SAW merupakan sosok yang sangat pandai dalam mengendalikan syahwat:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
Artinya: “Rasulullah SAW mencium dan mencumbu (dengan istrinya), padahal beliau sedang berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya di antara kamu sekalian”. (H.R. Al-Bukhari)
Namun, bagi orang yang tidak bisa menahan diri dan dikhawatirkan akan melanggar batasan syariat, maka lebih baik menghindarinya. Dalam fiqih Hanafi, sesuatu yang mendekati keharaman lebih baik ditinggalkan (sadd al-dhara’i), tetapi jika seseorang yakin dapat mengontrol diri, maka tidak ada larangan dalam hal ini.
Imam Malik memiliki pandangan lebih ketat. Dalam mazhab Maliki, bercumbu di siang hari Ramadhan makruh secara mutlak, baik menyebabkan ejakulasi maupun tidak. Argumen utama Imam Malik adalah mencegah segala sesuatu yang berpotensi mengarah pada hubungan intim yang membatalkan puasa.
Prinsip kehati-hatian (ihtiyath) menjadi dasar dalam mazhab ini, karena menjaga kesucian ibadah lebih utama daripada mendekati sesuatu yang bisa membatalkannya. Selain itu, Imam Malik juga menekankan bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menjaga diri dari segala bentuk godaan nafsu, termasuk dalam hubungan suami-istri.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa bercumbu diperbolehkan dengan syarat tidak menyebabkan ejakulasi. Jika bercumbu mengarah pada keluarnya mani, maka puasa batal dan wajib diqadha. Pendapat ini merujuk pada beberapa hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ tetap menunjukkan kasih sayangnya kepada istri-istrinya meski sedang berpuasa.
Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah:
مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ اِمْرَأَته صَائِمًا ؟ قَالَتْ كُلُّ شَيْء إِلَّا الْجِمَاعَ
Artinya: “Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu selain jima’ (bersetubuh)’” (Lihat Fathul Bari (4/149)
Namun, Imam Syafi’i juga menambahkan bahwa jika seseorang khawatir tidak bisa menahan diri, maka lebih baik menghindarinya. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam fiqih Syafi’i yang mengutamakan kehati-hatian dalam menjaga kemurnian ibadah.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa bercumbu saat puasa hukumnya boleh, tetapi makruh bagi mereka yang sulit mengendalikan diri. Dalam mazhab Hanbali, segala bentuk kasih sayang yang tidak mengarah pada hubungan intim tetap diperbolehkan, selama tidak menimbulkan syahwat berlebihan. Imam Ahmad juga menegaskan bahwa puasa adalah ibadah yang bertujuan menahan diri, sehingga seseorang harus bijak dalam memahami batasan dirinya sendiri. Jika bercumbu justru mengurangi kualitas ibadah, maka meninggalkannya adalah pilihan yang lebih baik.
Menjaga Keharmonisan Selama Puasa Ramadhan
Ramadhan bukan hanya bulan untuk meningkatkan ibadah, tetapi juga menjadi waktu untuk memperkuat hubungan suami-istri dalam bentuk yang lebih bermakna. Keharmonisan dalam rumah tangga tidak hanya bergantung pada interaksi fisik, tetapi juga dapat dibangun melalui kegiatan bersama yang meningkatkan kualitas spiritual dan emosional.
Di siang hari, pasangan dapat mengisi waktu dengan aktivitas yang lebih mendekatkan diri kepada Allah, seperti membaca Al-Qur’an bersama, mendengarkan kajian keislaman, berdiskusi tentang tafsir ayat, atau merancang rencana ibadah untuk Ramadhan. Dengan cara ini, suami-istri dapat tetap merasakan kedekatan tanpa harus melibatkan unsur fisik yang berisiko mengurangi pahala puasa.
Selain itu, Ramadhan adalah momen terbaik untuk memperkuat kerja sama dalam rumah tangga. Berbagi tugas dalam menyiapkan menu sahur dan berbuka, mendidik anak-anak dengan nilai-nilai Islam, serta saling mengingatkan dalam kebaikan dapat menjadi bentuk lain dari keharmonisan. Dengan menanamkan kebiasaan ibadah dalam keluarga, pasangan tidak hanya mempererat hubungan mereka, tetapi juga membangun lingkungan rumah tangga yang lebih berkah dan harmonis.
Di malam hari, setelah berbuka, suami-istri memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyalurkan kasih sayang mereka dalam batas yang diperbolehkan. Setelah shalat tarawih dan ibadah malam lainnya, pasangan dapat meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan santai, berbicara dari hati ke hati, atau menunjukkan kasih sayang dalam bentuk yang tidak melanggar batasan syariat.
Hubungan suami-istri yang sehat tidak hanya didasarkan pada aspek fisik, tetapi juga pada komunikasi yang baik dan saling memahami kebutuhan masing-masing. Oleh karena itu, memanfaatkan malam Ramadhan untuk membangun kedekatan emosional adalah langkah bijak yang dapat menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam rumah tangga.
Dari penjelasan ini kita bisa memahami bahwa Islam mengajarkan keseimbangan dalam menjalankan ibadah dan menjaga hak-hak dalam kehidupan rumah tangga. Dalam konteks puasa, pengendalian diri menjadi aspek utama yang harus dijaga agar ibadah yang dijalankan tidak sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan segala bentuk dorongan yang dapat mengurangi nilai spiritualnya.
Bercumbu saat puasa bukanlah sesuatu yang secara mutlak dilarang, tetapi harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian. Jika seseorang mampu menahan diri dan yakin tidak akan melanggar batasan syariat, maka tidak ada larangan untuk melakukannya. Namun, jika ada kemungkinan hal tersebut dapat membatalkan puasa atau mengurangi nilai ibadah, maka lebih baik dihindari.
Ramadhan adalah kesempatan bagi setiap Muslim untuk memperkuat ketakwaan, menahan godaan duniawi, dan meningkatkan kedekatan dengan Allah. Dengan memahami batasan dan aturan yang telah ditetapkan dalam Islam, pasangan suami-istri dapat menjalani bulan suci ini dengan penuh kesadaran dan keseimbangan, sehingga tidak hanya menjaga ibadah puasa tetap sempurna, tetapi juga membangun hubungan yang lebih harmonis dan penuh berkah. Wallahu a'lam bish shawab.
Penulis adalah Ketua PWNU lampung