Siyar A‘lam al-Nubala’ Imam Dhahabi: Warisan Tauladan Hidup Umat Rasulullah
Senin, 14 Juli 2025 | 10:03 WIB
Dalam khazanah keilmuan Islam, nama Imam Shamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman ad-Dhahabi (1274–1348 M) menjadi salah satu rujukan utama dalam kajian sejarah dan biografi ulama. Karya monumentalnya, Siyar A‘lam al-Nubala’, yang berisi ribuan biografi tokoh penting dalam Islam, terutama sahabat Nabi, tabiin, dan ulama besar, hingga kini menjadi sumber referensi utama yang tidak hanya mengungkap fakta sejarah, tetapi juga menyimpan nilai-nilai moral dan spiritual.
Imam Dhahabi menulis Siyar A‘lam al-Nubala’ dengan pendekatan yang sangat kritis dan mendalam. Beliau merangkum berbagai sumber klasik seperti hadis, tafsir, serta riwayat sejarah dengan objektivitas tinggi, menampilkan profil tokoh secara berimbang mencatat keunggulan sekaligus kekurangan mereka. Pendekatan ini menjadikan karya beliau bukan hanya kumpulan biografi, tetapi cermin kehidupan manusia yang utuh, penuh dinamika dan pergulatan batin.
Sebagai warisan keilmuan, kitab ini menyajikan pelajaran hidup yang sangat relevan bagi umat Islam masa kini. Melalui kisah para sahabat dan ulama, pembaca diajak memahami bahwa keagungan mereka lahir dari proses panjang perjuangan, pengorbanan, keteguhan iman, serta keilmuan yang tidak berhenti dicari dan diasah.
Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, tidak hanya tercatat sebagai khalifah pertama Islam, melainkan juga sosok yang penuh kerendahan hati, kepekaan spiritual, dan kasih sayang kepada sesama. Imam Dhahabi dalam Siyar menyingkap bahwa Abu Bakar kerap menangis saat membaca Al-Qur’an, menunjukkan betapa dalamnya kesungguhan dan kelembutan hati seorang pemimpin besar. Sisi emosional ini jarang mendapat porsi dalam riwayat klasik lain, namun sangat penting untuk dijadikan contoh kepemimpinan penuh empati dalam dunia modern.
Demikian pula, figur Umar bin Khattab yang terkenal dengan keberanian dan ketegasannya. Imam Dhahabi menguraikan bagaimana Umar mampu mengkritik kebijakan dengan penuh adab, termasuk keberatan terhadap perjanjian Hudaibiyah, tanpa kehilangan rasa hormat dan ketaatan kepada Rasulullah ﷺ. Sikap kritis sekaligus taat ini menjadi pelajaran berharga bagi pengelolaan kepemimpinan dan demokrasi masa kini, yang kerap menghadapi problematisasi antara otoritas dan kebebasan berpendapat.
Siyar A‘lam al-Nubala’ juga menampilkan sisi kecerdasan ilmiah para tokoh. Zaid bin Tsabit, misalnya, bukan hanya ahli dalam ilmu agama tetapi juga menguasai bahasa asing seperti Ibrani dan Suryani, yang menjadikannya juru tulis dan diplomat utama Rasulullah ﷺ. Imam Dhahabi mencatat kelebihan ini secara rinci, memperlihatkan bahwa penguasaan ilmu duniawi dan agama dapat berjalan bersamaan. Ini sangat relevan untuk zaman sekarang, di mana integrasi ilmu agama dan pengetahuan modern menjadi kebutuhan mendesak umat Islam.
Selain keunggulan spiritual dan intelektual, kitab ini juga menampilkan dimensi sosial dan kemanusiaan yang lengkap. Salman Al-Farisi, sahabat yang berasal dari Persia, menggambarkan perjalanan seorang pencari kebenaran dan pejuang kesabaran dalam menghadapi diskriminasi. Imam Dhahabi menulis dengan detail perjuangan Salman melewati berbagai cobaan, yang akhirnya menjadikannya penengah antar golongan di Madinah. Kisah ini memberi inspirasi bahwa keberagaman dan inklusivitas adalah nilai fundamental dalam Islam, bukan hanya teori, tetapi kenyataan yang harus dihidupi.
Tidak kalah penting, Dhahabi juga menyingkap peran perempuan seperti Asma’ binti Abu Bakar, yang dengan kecerdasan dan keberaniannya memainkan peranan vital dalam peristiwa hijrah. Meski peran kaum wanita kerap kurang mendapat tempat dalam narasi sejarah klasik, Siyar memberikan ruang yang lebih terbuka bagi pengakuan peran strategis mereka. Ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang pemberdayaan perempuan dalam Islam kontemporer, dengan mencontohkan figur-figur awal yang sangat aktif dan berani.
Imam Dhahabi, melalui karyanya, mengingatkan bahwa sejarah bukan sekadar rentetan peristiwa, melainkan kisah manusia dengan segala kompleksitasnya. Ketelitian dan objektivitas beliau menampilkan tokoh-tokoh Islam sebagai pribadi yang utuh penuh kelebihan dan kekurangan sehingga pembaca dapat belajar dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati.
Relevansi Siyar A‘lam al-Nubala’ di era modern sangat kentara. Dunia yang serba cepat dan penuh perubahan memerlukan figur teladan yang tidak hanya sakral dan jauh dari kenyataan, tetapi juga nyata dan humanis. Membaca kisah para sahabat dan ulama dari kitab ini, umat diajak untuk memahami bahwa keimanan dan ilmu adalah hasil perjuangan panjang, kesabaran, dan komitmen. Mereka yang hidup dalam konteks sosial-politik yang rumit sekalipun mampu menegakkan nilai-nilai keadilan, ilmu, dan kesalehan, menjadi inspirasi abadi.
Selain itu, sikap kritis namun penuh kasih sayang Imam Dhahabi terhadap tokoh-tokoh yang ia tulis, mengajarkan kita pentingnya objektivitas dan keseimbangan dalam menilai sejarah. Di zaman sekarang, ketika narasi sejarah kerap dipolitisasi atau dijadikan alat propaganda, kitab ini menjadi pengingat untuk kembali kepada kajian yang jujur dan ilmiah.
Imam Dhahabi juga menunjukkan bahwa pencarian ilmu tidak boleh berhenti, dan kerendahan hati adalah kunci utama. Ulama besar yang beliau kisahkan selalu digambarkan sebagai pribadi yang terus menuntut ilmu sekaligus menjaga akhlak mulia. Ini menjadi pesan penting untuk umat Islam masa kini yang dihadapkan pada tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat.
Dengan segala keunggulan dan kedalaman isi, Siyar A‘lam al-Nubala’ pantas disebut warisan keilmuan yang menjadi tonggak bagi umat Islam dalam menapaki jalan spiritual dan intelektual. Kitab ini bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk direnungkan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata sebagai pedoman moral dan spiritual yang menyeluruh.
Dalam konteks pendidikan, karya Imam Dhahabi ini layak menjadi referensi utama baik di pesantren, universitas Islam, maupun lembaga kajian sejarah dan keagamaan. Dengan memahami perjalanan hidup para tokoh Islam melalui sudut pandang yang utuh, generasi muda dapat menumbuhkan kecintaan sekaligus pemahaman mendalam terhadap warisan Nabi Muhammad ﷺ.
Pada akhirnya, Siyar A‘lam al-Nubala’ mengajarkan bahwa sejarah Islam bukan hanya milik masa lalu, tetapi warisan hidup yang terus mengalir dan memberi inspirasi. Lewat biografi para sahabat dan ulama, kita diajak untuk meneladani nilai-nilai keimanan, ilmu, kesabaran, dan keadilan yang relevan sepanjang masa. Imam Dhahabi dengan karya agungnya membukakan pintu bagi umat Islam untuk mengenal dan menghayati perjalanan kehidupan para pahlawan spiritual yang menjadi fondasi umat hingga hari ini.
Referensi:
Imam Shamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman ad-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1997.
Muhammad Abu Zahrah, Metode Sejarah Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Khalid Muhammad Khalid, Rijāl Ḥawla al-Rasūl, Dar al-Fikr, Beirut, 1994.
H. Wahyu Iryana, Sejarawan UIN Raden Intan Lampung