Pentingnya Membaca Berulang-ulang Agar Menemukan Wawasan Baru
Sabtu, 24 Agustus 2024 | 18:30 WIB
Setiap tanggal 24 Agustus diperingati sebagai Hari Anak Jakarta Membaca (Hanjaba). Peringatan ini merupakan kelanjutan dari pencanangan bulan gemar membaca dan Hari Kunjungan Perpustakaan 1995 yang diinisiasi oleh Presiden Soeharto.
Hanjaba juga diadakan untuk mewujukan generasi muda yang cinta membaca dan juga perpustakaan. Kegiatan ini diadakan setiap tahunnya untuk meningkatkan potensi generasi muda dalam minat baca.
Membaca merupakan pekerjaan intelektual yang merangsang akal pikiran lewat indra penglihat dan pendengaran. Ketika kita membaca suatu buku, maka akal kita akan ikut bekerja menerjemahkan bacaan, sehingga menjadikan akal kita terus berkembang.
Membaca itu bagus, tetapi mengembangkan hasil bacaan juga lebih bagus, karena itu bukti bahwa akal kita berkembang terus menerus. Buku bacaan stimulan perangsang akal untuk mengeksplorasi wawasan yang ada di dalam pikiran kita.
Lalu, sebenarnya bagaimanakah cara membaca buku yang baik? Bagaimana agar ilmu yang ada di buku tetap menempel pada pikiran kita dan kita juga bisa mengembangkannya?
Dilansir dari NU Online, Mengutip Muhammad Nuruddin dalam bukunya yang berjudul “Panduan Praktis Agar Kita Gila Membaca & Menulis” pada Ahad (19/5/2024) disebutkan ketika membaca suatu buku atau bahkan bahan bacaan lainnya kita harus lebih memperhatikan kualitas yang kita dapatkan dari membaca buku dibandingkan jika hanya memperhatikan kuantitasnya saja.
Hal tersebut menurutnya, karena sebanyak apapun buku yang kita baca, kalau tidak mampu mengendapkan wawasan yang matang, perlahan namun pasti wawasan yang kita dapatkan pasti akan segera hilang. Namun sebaliknya, meskipun buku yang kita baca sedikit, jika dimatangkan dengan baik, maka pada gilirannya akan mampu meningkatkan kualitas intelektual kita.
Hal itu menurutnya adalah keteladanan yang diajarkan oleh para ulama terdahulu yakni membaca buku berkali-kali. Shalahuddin as-Shafadi, dalam kitab al-Wafi bil Wafayat, sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah, bercerita tentang kisah Abu Nashr al-Farabi (w. 339 H), salah satu filsuf Muslim terbesar yang diberi gelar sebagai “al-Muallim at Tsani” (the second teacher).
Suatu ketika, tuturnya dalam kitab tersebut, ditemukan kitab an-Nafs yang dinisbatkan kepada Aristoteles. Dalam buku tersebut terdapat tulisan yang ditulis oleh langsung oleh al- Farabi, “Aku telah membaca buku ini dua ratus kali.”
Dikatakan juga mengenainya, bahwa dia pernah membaca buku yang berjudul as-Sama at-Thabi’iy, yang dikarang oleh Aristoteles, sebanyak empat puluh kali. Dan kata al-Farabi, “Aku masih butuh untuk mengulangnya lagi.”
Salah satu kisah populer tentang Ibnu Sina menceritakan bahwa dia pernah membaca kitab Ma Ba’da at-Thabiah, milik Aristoteles, sebanyak 40 kali. Sampai beliau hafal isinya. Namun, meski hafal, dia tak kunjung paham.
“Ini kitab yang tidak bisa dipahami,” gumamnya sambil putus asa.
Tiba-tiba pada suatu hari ada seorang penjual buku yang menawarkan salah satu buku jualannya, “Belilah, buku ini murah. Cuma 3 dirham saja,” kata si penjual.
Ringkas cerita buku itu pun dibeli oleh Ibnu Sina. Dan ternyata, buku itu adalah buku yang ditulis oleh Abu Nasir al Farabi, yang menjelaskan tentang kitab Aristoteles tadi. “Aku pun pulang ke rumahku, lalu aku baca buku itu, maka ketika itu juga tersingkaplah bagiku maksud maksud dari kitab itu. Aku sangat gembira. Dan aku pun bersedekah sebanyak mungkin,” katanya.
Jangan lupa. Ibnu Sina bukan orang biasa, otaknya genius. Wawasannya mencakup sekian banyak disiplin ilmu. Tapi beliau membaca buku sampai 40 kali. Tidak langsung paham pula. Baru paham setelah membaca buku yang lain. Begitulah kebiasaan para ulama terdahulu.
Sangat wajar kalau mereka menjadi ulama-ulama hebat. Wawasan yang matang hanya bisa terlahir dari pembacaan yang berulang-ulang. Sekarang mari kita bandingkan cara belajar kita dengan cara belajar mereka
Mungkin itulah salah satu sebab kenapa sekarang kita agak kesusahan dalam mengikuti jejak produktivitas para ulama dalam berkarya. Karena kita malas membaca. Jangankan membaca berulang-ulang. Membaca satu kali saja, malasnya minta ampun.
Maka dari itu, membaca buku perlu digalakkan kembali, karena membaca membantu akal kita terus bekerja secara maksimal. Ketika kita belum paham materi apa yang kita baca, maka kita harus membaca berulang-ulang (muthala’ah) sampai benar-benar paham.
Kadang juga, ketika kita membaca buku yang sama, tetapi dengan waktu dan keadaan yang berbeda, pikiran kita juga akan menerjemahkan dengan wawasan lain yang lebih luas. Itu salah satu bentuk keberkahan dari pekerjaan membaca.