Opini

Surat Yasin: Hati Al-Qur’an dan Kasih Sayang Allah untuk Umat

Ahad, 24 Agustus 2025 | 05:30 WIB

Surat Yasin: Hati Al-Qur’an dan Kasih Sayang Allah untuk Umat

Ketua PWNU Lampung, H Puji Raharjo. (Foto: Istimewa)

Surat Yasin adalah salah satu surat paling populer di tengah umat Islam. Hampir setiap majelis tahlil, doa arwah, atau wirid jamaah di kampung-kampung Nusantara selalu disertai dengan lantunan Yasin. Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), tradisi ini bahkan sudah menjadi bagian penting dari amaliah harian.


Pembacaan Surat Yasin juga dilakukan pada malam Jumat di mushala-mushala NU, haul para kiai pesantren, hingga doa bersama keluarga yang ditinggal wafat selalu dimulai dengan Yasinan berjamaah.


Kecintaan umat kepada surat ini bukan sekadar budaya, melainkan berakar kuat dari hadis-hadis Nabi saw dan penjelasan para ulama dalam kitab-kitab tafsir klasik.


Al-Imam Abū ‘Abdillāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Ansari al-Qurṭubī (w. 671 H), seorang ulama besar bermazhab Maliki, dalam tafsir monumentalnya al-Jāmi‘ li Aḥkām Al-Qur’an, kitab tafsir fiqhī yang terdiri dari 20 jilid, menukil banyak riwayat tentang keutamaan Surat Yasin.


Walaupun sebagian haditsnya ada yang sanadnya diperdebatkan, namun semangat para ulama salaf dan praktik umat Islam sepanjang zaman menjadi bukti bahwa Yasin adalah surat penuh keberkahan, penyejuk hati, sekaligus pengingat akan kebesaran Allah.


Yasin adalah hati Al-Qur’an

Rasulullah saw dalam sebuah hadits yang dinukil oleh Imam al-Qurṭubī dalam tafsirnya:


إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ قَلْبًا، وَقَلْبُ الْقُرْآنِ يس


Artinya: Sesungguhnya segala sesuatu memiliki hati, dan hati Al-Qur’an adalah Yasin (HR al-Tirmiżī dari Anas bin Mālik).


Al-Qurtubi, seorang ulama besar mazhab Maliki, menempatkan riwayat ini sebagai bukti kecintaan umat Islam kepada Surat Yasin sejak masa awal Islam. Walaupun sanad hadits ini diperselisihkan oleh sebagian ahli, para ulama tetap menerimanya dalam kerangka fadhail a‘māl (keutamaan amal), karena kandungan maknanya sejalan dengan pengalaman spiritual umat sepanjang zaman.


Hati adalah pusat kehidupan, sumber denyut yang menghidupkan seluruh tubuh. Begitu pula Yasin dipandang sebagai pusat Al-Qur’an, surat yang menyimpan inti pesan hidayah dan peringatan Ilahi.


Tidak heran jika di pesantren-pesantren NU, Yasin menjadi bacaan utama dalam wirid harian, tahlilan, maupun doa arwah. Para kiai meyakini bahwa sebagaimana hati menenangkan jasad, Surat Yasin menenangkan ruh, baik bagi yang masih hidup maupun bagi mereka yang dipanggil kembali ke hadirat Allah.


Yasin untuk Orang yang Sakit dan Meninggal

Dalam Sunan Abi Dawud terdapat sabda Nabi saw:


 اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُم


Artinya: Bacakanlah Yasin kepada orang-orang mati di antara kalian.


Hadits ini oleh para ulama Ahlussunnah wal Jamaah dijadikan landasan utama amaliah membaca Yasin ketika seseorang berada dalam keadaan sakaratul maut maupun setelah wafat sebagai bentuk doa dan pengiring ruh menuju Allah.


Imam Al-Qurtubi sendiri menukil riwayat ini dalam tafsirnya sebagai bukti kuat bahwa membaca Yasin bukanlah praktik baru, melainkan bagian dari tradisi nubuwah yang diwariskan kepada umat. Para ulama bersepakat bahwa dalam perkara fadhail a‘māl (keutamaan amal), hadis seperti ini tetap sah untuk diamalkan, terlebih ketika isinya tidak bertentangan dengan syariat.


Di sinilah prinsip tawassuṭ dan tawazun ala Aswaja terlihat, menggabungkan teks dengan praktik, menjadikan tradisi sebagai sarana menghadirkan rahmat Allah. Karena itu, bagi kalangan Nahdliyin, Yasinan setiap malam Jumat, tahlilan untuk orang tua, atau doa bersama di makam bukanlah sekadar budaya lokal, melainkan implementasi dari sunnah Nabi saw yang dipahami secara komunal.


Membaca Yasin di samping orang sakit keras diyakini dapat memudahkan sakaratul maut, sementara membacakannya untuk yang wafat merupakan bentuk penghormatan dan hadiah pahala bagi ruh mereka. Tradisi ini pada akhirnya memperlihatkan wajah Islam Nusantara yang ramah, penuh kasih, dan setia pada sanad keilmuan ulama, sekaligus menjaga keutuhan ajaran Rasulullah saw di tengah umat.


Dalam riwayat lain dari Ummul Mu’minin ‘Āisyah ra, Rasulullah saw bersabda:


إِنَّ فِي الْقُرْآنِ سُورَةً تَشْفَعُ لِقَارِئِهَا وَيُغْفَرُ لِمُسْتَمِعِهَا، أَلَا وَهِيَ سُورَةُ يس، تُدْعَى فِي التَّوْرَاةِ الْمُعِمَّةُ


Artinya: Sesungguhnya dalam Al-Qur’an ada satu Surat yang memberi syafa‘at kepada pembacanya dan diampuni pendengarnya, yaitu Surat Yasin. Ia disebut dalam Taurat dengan sebutan al-Mu‘immah (yang menyelimuti).


Disebut al-Mu‘immah karena ia menyelimuti pembacanya dengan kebaikan dunia sekaligus melindunginya dari kengerian akhirat. Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menukil penjelasan Nabi saw mengenai Surat ini:


تَدْفَعُ عَنْ صَاحِبِهَا كُلَّ سُوءٍ، وَتَقْضِي لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ، وَمَنْ قَرَأَهَا عُدِلَتْ لَهُ عِشْرِينَ حَجَّةً، وَمَنْ سَمِعَهَا كَانَتْ لَهُ كَأَلْفِ دِينَارٍ تُصُدِّقَ بِهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ


Artinya: Ia menolak segala keburukan dari pemiliknya, memenuhi segala kebutuhannya. Barang siapa membacanya, pahalanya seperti dua puluh kali haji. Barang siapa mendengarnya, pahalanya seperti seribu dinar yang disedekahkan di jalan Allah.


Riwayat ini memperlihatkan betapa Surat Yasin bukan hanya sekadar bacaan, melainkan sumber keberkahan yang meliputi kehidupan seorang Muslim. Dengan membacanya, seorang hamba diliputi oleh kebaikan dunia dan akhirat; dengan mendengarnya, seorang mukmin diganjar dengan pahala besar seolah-olah bersedekah harta berlimpah.


Tidak heran bila Surat Yasin menjadi bacaan utama umat Islam di berbagai kesempatan, khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama, mulai dari majelis Yasinan malam Jumat, tahlilan untuk orang tua, hingga wirid di pesantren-pesantren, karena diyakini sebagai Surat yang penuh syafaat, menolak bala, dan mengundang rahmat Allah swt.


Yasin: Jalan Ampunan di Malam Hari

Dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Ibn Katsīr menukil riwayat al-Ḥāfiẓ Abū Ya‘lā dengan isnād jayyid dari Abū Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:


مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُورًا لَهُ، وَمَنْ قَرَأَ حم الَّتِي فِيهَا الدُّخَانُ أَصْبَحَ مَغْفُورًا لَهُ


Artinya: Barang siapa membaca Yasin pada malam hari, maka ia akan berada di pagi hari dalam keadaan diampuni. Dan barang siapa membaca Ḥā Mīm yang di dalamnya terdapat (surat) ad-Dukhān, maka ia akan berada di pagi hari dalam keadaan diampuni.


Ibn Katsīr juga menukil riwayat Ibn Ḥibbān dalam shahih-nya, dari Jundub bin ‘Abdillāh ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:


مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ غُفِرَ لَهُ


Artinya: Barang siapa membaca Yasin pada malam hari dengan mengharap wajah Allah, niscaya akan diampuni baginya.


Dua hadits ini, sebagaimana dijelaskan Ibn Katsīr, menegaskan bahwa membaca Yasin di malam hari dengan niat ikhlas adalah pintu ampunan Allah. Inilah dasar kuat yang menghidupkan tradisi Yasinan malam Jumat di kalangan umat Islam, termasuk dalam amaliah Ahlussunnah wal Jama‘ah, yang menempatkan bacaan Al-Qur’an bukan sekadar ritual, tetapi jalan menuju rahmat dan maghfirah Allah.


Makna Yasin: Sapaan Lembut kepada Nabi Muhammad saw

Al-Qurtubi dalam tafsirnya juga menaruh perhatian besar pada makna huruf muqaṭṭa‘ah يس yang mengawali Surat ini, dengan mencatat beragam pandangan para ulama. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai “Yā Insān” (wahai manusia), yang dimaksudkan adalah Nabi Muhammad saw sebagai insan kamil dan teladan umat.


Sa‘īd bin Jubayr menegaskan bahwa Yasin merupakan salah satu nama lain bagi Rasulullah saw, dan hal itu dipertegas dengan ayat sesudahnya, “إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ” (Sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang diutus). Adapun Abu Bakr al-Warrāq menafsirkannya sebagai “Yā Sayyid al-Bashar” (wahai pemimpin manusia), sebuah panggilan kemuliaan dari Allah yang menegaskan kepemimpinan spiritual Nabi Muhammad saw atas seluruh umat manusia.


Sementara itu, Imam Malik berpendapat lebih jauh dengan menyatakan bahwa Yasin adalah salah satu nama Allah sendiri, sehingga tidak boleh dijadikan nama bagi manusia, karena menyangkut keagungan dan hakikat ketuhanan yang hanya layak disandang oleh Allah.


Ragam penafsiran ini menunjukkan keluasan warisan keilmuan Islam, di satu sisi menegaskan kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai yang dimuliakan, dan di sisi lain menampakkan penghormatan terhadap kalam Allah yang penuh rahasia.


Dari ragam tafsir ini, ulama NU melihat betapa Surat Yasin bukan sekadar bacaan, tetapi juga berisi panggilan penuh cinta dari Allah untuk Nabi Muhammad. Inilah yang membuat para kiai menekankan pentingnya Yasin sebagai Surat mahabbah (cinta) kepada Rasulullah saw.


Tradisi Yasinan di kalangan Nahdlatul Ulama sesungguhnya bukan bid’ah atau amalan tanpa dasar. Justru, ia berakar pada hadis-hadis Nabi saw dan tafsir para ulama besar seperti Imam Al-Qurtubi. Membaca Surat Yasin menghadirkan ketenangan, menghapus dosa, melapangkan jalan bagi yang wafat, sekaligus menjadi syafaat di hari akhir.


Sebagaimana ditegaskan Nabi saw:


الْقُرْآنُ شَافِعٌ مُشَفَّعٌ، وَمَاحِلٌ مُصَدَّقٌ، فَمَنْ شَفَعَ لَهُ الْقُرْآنُ شُفِّعَ، وَمَنْ مَحَلَ بِهِ الْقُرْآنُ صُدِّقَ


Artinya: Al-Qur’an adalah pemberi syafaat yang diterima, dan penuntut yang dibenarkan. Barang siapa al-Qur’an memberi syafaat untuknya, ia selamat. Barang siapa al-Qur’an menuntutnya, ia celaka.


Maka, ketika umat Islam di Nusantara menjaga tradisi Yasinan setiap malam Jumat atau saat mendoakan arwah, sesungguhnya mereka sedang melestarikan warisan nubuwah yang penuh kasih sayang. Dengan membaca Yasin, kita bukan hanya menunaikan ibadah lisan, tetapi juga meneguhkan cinta kepada Rasulullah saw dan memohon agar kelak tergolong umat yang mendapatkan syafaatnya.


H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Lampung/ Deputi bidang Koordinasi Pelayanan Haji Dalam Negeri BP Haji