Opini

Esensi Puasa Menurut Al-Ghazali

Jumat, 21 Maret 2025 | 09:48 WIB

Esensi Puasa Menurut Al-Ghazali

Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung, H Puji Raharjo. (Foto: Istimewa)

Ramadhan hadir bukan hanya sebagai bulan ritual, tetapi bulan transformasi. Sayangnya, tak jarang kita hanya menunaikan puasa sebagai kewajiban formal, seperti sahur, menahan lapar, dan menunggu waktu berbuka. 


Padahal, dalam kedalaman ajaran Imam Al-Ghazali pada Kitab Asrar as-Shaum (Kitab Rahasia-Rahasia Puasa), kita diajak untuk melihat puasa sebagai jalan membangun rohani, menghidupkan hati, dan menapaki derajat kedekatan dengan Allah.


Imam Al-Ghazali membedakan antara puasa lahir dan puasa batin. Orang yang hanya menahan makan dan hubungan suami-istri, tetapi tetap menuruti lisan yang menyakiti, mata yang melalaikan, dan hati yang iri. 


Hal tersebut diibaratkan orang berwudhu tapi hanya menyeka anggota tubuh tanpa membasuh dengan benar. Ia tampak seperti beribadah, namun kosong dari makna. Rasulullah saw bersabda, “Berapa banyak orang berpuasa, tapi tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar dan haus” (HR Ahmad).


Sebaliknya, orang yang menjaga seluruh dirinya dari dosa, bahkan saat ia makan atau minum karena uzur syar’i, bisa jadi lebih “berpuasa” secara spiritual. Karena inti puasa bukan pada fisiknya, tetapi pada kemampuannya menjauhkan jiwa dari syahwat dan nafsu, serta mendekatkannya kepada Allah. 


Inilah ruh puasa yang membentuk manusia bertakwa, seperti dalam firman Allah:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ... لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa ... agar kamu bertakwa (QS Al-Baqarah: 183).


Al-Ghazali menambahkan, bahwa puasa adalah usaha untuk meneladani sifat malaikat yang suci dari syahwat. Ketika manusia berhasil menahan dorongan hawa nafsu, ia sedang naik derajat dari sifat kebinatangan menuju sifat malaikat. Ia menjadi lebih dekat dengan Allah, karena “yang mirip dengan kekasih akan semakin dekat dengannya.”


Beliau juga menegaskan bahwa tidur dan buka puasanya orang-orang yang sadar akan makna puasa lebih berharga daripada begadang dan lapar orang-orang yang hanya mengandalkan jasadnya tanpa menghadirkan hatinya. Karena puasa adalah amanah. Dan siapa yang menjaga amanahnya dengan baik, dialah yang diterima.


Puasa adalah latihan kesucian. Jika selama ini kita hanya menahan lapar, mari ubah arah. Jadikan Ramadhan ini titik balik untuk menjaga lisan dari ghibah, mata dari maksiat, hati dari dengki, dan tangan dari dzalim.

 

Puasa bukan sekadar ibadah harian ia adalah gerbang perubahan hidup. Ramadhan bukan hanya kesempatan menumpuk pahala, tapi waktu terbaik untuk membentuk diri baru.

 

Mari kita hidupkan puasa kita, bukan hanya lambung yang kosong, tetapi hati yang penuh kesadaran. Bukan hanya mengurangi makan, tetapi memperbanyak maaf dan syukur. Karena sejatinya, puasa yang bernilai adalah puasa yang menghidupkan jiwa. Wallahu a’lam bish-shawab.


H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung