Opini

Begini Hebatnya Kasih Sayang Rasulullah saw kepada Kita

Kamis, 28 Agustus 2025 | 12:02 WIB

Begini Hebatnya Kasih Sayang Rasulullah saw kepada Kita

Ketua PWNU Lampung, H Puji Raharjo. (Foto: Istimewa)

Pernahkah kita membayangkan ada seseorang yang hidupnya hanya dipenuhi doa untuk orang lain? Seseorang yang tidak pernah tenang melihat umatnya menderita, bahkan sampai akhir hayatnya yang terucap adalah kata-kata penuh cinta, yaitu “Ummati, ummati” — umatku, umatku. Dialah Nabi Muhammad, manusia pilihan Allah yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam.


Bukti paling indah dari kasih sayang beliau terangkum dalam dua ayat terakhir Surah at-Taubah:


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (128) فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (129)


Ayat ini bukan sekadar firman yang indah, melainkan lukisan cinta yang hidup. Allah menggambarkan Nabi saw sebagai bagian dari kita, dengan nasab yang jelas, akhlak yang terjaga, dan kehidupan yang dekat dengan keseharian umat. 


Beliau bukan sosok asing yang hanya bisa dipandang dari jauh, melainkan teladan yang nyata untuk diikuti. Lebih dari itu, ayat ini juga menjadi penggambaran tentang sosok Rasul yang luar biasa, seorang manusia yang hatinya larut dalam penderitaan umat, yang setiap detiknya menginginkan keselamatan mereka, dan yang diberi anugerah dua sifat agung Allah sendiri—ra’ūf (sangat penyantun) dan raḥīm (sangat penyayang). 


Inilah potret utuh Nabi Muhammad saw sebagaimana kehendak Allah untuk dikenang oleh umat, dekat, penuh kasih, sabar dalam menghadapi penolakan, dan teguh dalam tawakal. Dua ayat ini seakan menjadi cermin keagungan pribadi beliau, sosok manusia mulia yang menggabungkan kedekatan, cinta, dan keteladanan dalam satu pribadi yang tak tertandingi sepanjang sejarah.


Rasul yang Dekat dengan Umatnya

Rasulullah saw bukanlah sosok asing yang datang dari luar, melainkan bagian dari masyarakatnya sendiri. Tafsir Al-Ṭabarī menegaskan bahwa beliau diutus dari kalangan bangsa Arab, yang sejak lama mengenalnya sebagai pribadi terpercaya, jujur, dan berakhlak mulia. 


Mereka tahu garis keturunannya yang suci, menyaksikan sejak kecil perilakunya yang terjaga, dan menyapanya dengan gelar al-Amīn (yang dapat dipercaya). Bahkan beliau pernah menegaskan dengan penuh keyakinan: “Aku dilahirkan dari pernikahan, tidak dari perzinaan.” Kalimat ini bukan sekadar penegasan nasab, tetapi bukti bahwa sejak awal kehidupannya, Allah menjaga kehormatan dan kemuliaannya.


Kedekatan inilah yang membuat beliau begitu mudah dicintai dan diteladani. Nabi saw hadir bukan sebagai tokoh jauh yang hanya bisa dipuja dari kejauhan, melainkan manusia yang hidup nyata di tengah masyarakat, makan bersama mereka, bekerja bersama mereka, dan merasakan penderitaan mereka. 


Beliau adalah sosok yang akrab, hangat, dan bisa dijangkau siapa pun. Kehadiran beliau membuktikan bahwa keteladanan tidak lahir dari jarak, melainkan dari kedekatan; tidak hanya dari kata-kata, melainkan dari kehidupan sehari-hari yang penuh konsistensi. Karena itu, setiap sisi kehidupan Rasulullah saw,baik sebagai suami, ayah, sahabat, pemimpin, maupun hamba Allah, menjadi sumber inspirasi abadi yang bisa kita tiru hingga hari ini.


Hatinya Terluka Melihat Penderitaan Kita

Ungkapan “ʿazīzun ʿalayhi mā ʿanittum” dalam ayat tersebut menunjukkan betapa berat hati beliau menyaksikan umatnya menderita. Menurut Al-Qurṭubī, penderitaan, kesesatan, bahkan ancaman neraka bagi umatnya, membuat hati Rasulullah sawpenuh resah.


Padahal beliau adalah sosok yang sudah dijamin surga, tetapi masih meneteskan air mata demi keselamatan kita. Bahkan ketika berperang, yang beliau inginkan bukan kebinasaan musuh, melainkan agar mereka beriman. Andai saja mereka menerima kebenaran, itu jauh lebih membahagiakan bagi beliau daripada kemenangan di medan perang. Air mata beliau dalam doa menjadi saksi: tangisan itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk kita.


Keinginan Tulus Agar Kita Selamat

Kata ḥarīṣun ʿalaykum dalam ayat tersebut seakan melukiskan betapa besar kerinduan Nabi Muhammad saw kepada umat manusia. Kerinduan itu bukan sekadar rasa rindu seorang guru kepada murid, atau pemimpin kepada pengikut, melainkan kerinduan seorang kekasih yang tidak pernah ingin ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. 


Nabi saw begitu mendambakan agar mereka yang masih jauh dari cahaya Islam dapat menemukan hidayah, dan mereka yang sudah beriman tetap teguh dalam keimanan tanpa goyah oleh godaan dunia.

 

Setiap langkah dakwah beliau, setiap seruan tauhid, dan setiap nasihat yang beliau sampaikan, semuanya lahir dari satu keinginan: agar manusia tidak tersesat, tidak terjerumus ke jurang kehancuran, melainkan merasakan manisnya iman dan keselamatan abadi di sisi Allah swt. Kerinduan ini tidak pernah padam, bahkan ketika beliau dicaci, ditolak, atau dilukai, cinta dan harapan beliau pada keselamatan umatnya justru semakin besar.


Oleh sebab itu, doa Nabi saw senantiasa dipenuhi dengan permohonan ampunan, kebaikan, dan rahmat untuk umatnya. Tidak hanya untuk mereka yang beriman di zamannya, tetapi juga untuk kita semua yang lahir jauh setelah beliau wafat. 


Bahkan kelak di Hari Kiamat, saat seluruh manusia diliputi ketakutan yang amat dahsyat, para Nabi lain hanya sempat memikirkan diri mereka sendiri seraya berkata, “nafsī, nafsī” (diriku, diriku). Namun Rasulullah saw tampil berbeda. Beliau tidak berkata untuk dirinya, melainkan menyerukan dengan penuh cinta: “ummatī, ummatī” (umatku, umatku). 


Pemandangan ini menjadi bukti cinta yang tiada tanding—bahwa di saat semua manusia sibuk menyelamatkan diri, beliau tetap mengingat umatnya, memohonkan syafaat, dan berharap kita semua mendapatkan ampunan. Itulah kerinduan abadi yang hanya bisa lahir dari seorang Rasul yang benar-benar hidupnya dipersembahkan untuk cinta kepada Allah dan kasih sayang kepada manusia.


Ra’ūf dan Raḥīm: Cermin Kasih Sayang Allah

Allah swt menganugerahkan kepada Nabi Muhammad saw dua sifat agung yang begitu istimewa: ra’ūf (sangat penyantun) dan raḥīm (sangat penyayang). Kedua sifat ini bukan sembarang gelar, melainkan bagian dari Asma Allah sendiri, dan hanya Rasulullah saw yang mendapatkannya sekaligus. 


Ini menandakan bahwa beliau adalah pancaran langsung dari kasih sayang Ilahi di muka bumi. Setiap gerak dan langkahnya mencerminkan kelembutan, setiap kata yang terucap membawa keteduhan, dan setiap tindakannya menghadirkan kehangatan bagi siapa pun di sekitarnya. 


Beliau bukan hanya seorang pemimpin yang ditaati, tetapi juga seorang pendidik yang penuh kelembutan, seorang sahabat yang dapat dipercaya, bahkan seorang ayah yang penuh kasih bagi seluruh umat manusia. Sifat ra’ūf dan raḥīm ini membuat beliau selalu hadir sebagai penolong dan pelindung, meski sering kali umatnya sendiri melupakan dan mengabaikan beliau.


Al-Qurṭubī menegaskan bahwa gelar ini adalah bukti betapa mulianya kedudukan Nabi Muhammad saw di sisi Allah. Tidak ada nabi lain yang digambarkan dengan sifat kasih sayang sedemikian lengkapnya. 


Rasulullah saw bukan hanya utusan yang menyampaikan risalah, tetapi juga penghibur bagi hati-hati yang gundah, penyembuh luka batin mereka yang patah, dan sahabat setia bagi siapa pun yang mencari ketenangan. Ketika kita merasa jauh dari rahmat, beliau hadir dengan doa-doanya agar kita didekatkan kembali. Ketika kita tergelincir dalam dosa, beliau memohonkan ampunan agar kita tidak binasa. 


Dan ketika kita merasa sendirian dalam hidup ini, cukup kita mengingat bahwa ada seorang Rasul yang setiap detik hidupnya diisi dengan kasih sayang untuk kita, hingga Allah sendiri meneguhkan sifat itu dalam Al-Qur’an. Inilah cinta yang hakiki, cinta yang tidak menuntut balasan, cinta yang abadi sepanjang zaman.


Kisah Thaif: Cinta yang Tak Pernah Terbalas dengan Kebencian

Salah satu momen paling menyayat hati dari perjalanan Nabi saw adalah ketika beliau berdakwah di Thaif. Alih-alih diterima, beliau justru dihina, diusir, bahkan dilempari batu hingga tubuh mulianya berdarah. Dalam kondisi penuh luka dan keletihan, malaikat Jibril datang menawarkan bantuan:


“Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan aku timpakan gunung ini untuk menghancurkan penduduk Thaif.”


Namun jawaban Nabi saw sungguh mengejutkan. Beliau menolak balas dendam. Sebaliknya, beliau mengangkat tangan dan berdoa:


“Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu. Ya Allah, semoga dari keturunan mereka lahir generasi yang beriman kepada-Mu.”


Lihatlah, di saat manusia biasa mungkin akan murka, Rasulullah saw justru memilih doa dan harapan kebaikan. Kisah Thaif adalah bukti nyata sifat ra’ūf dan raḥīm beliau, kasih sayang yang tidak terbalas dengan kebencian, tetapi dengan doa untuk keselamatan.


Teladan Agung dalam Tawakal

Akhir ayat ini mengajarkan kalimat yang begitu dalam:


Hasbiyallāh, lā ilāha illā Huwa, ‘alayhi tawakkaltu wa Huwa Rabbul-‘Arsyil-‘Azhīm.”


(Cukuplah Allah bagiku, tiada tuhan selain Dia. Kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb Pemilik ‘Arsy yang agung.)


Saat ditolak, Rasulullah saw tidak mencari pengaruh manusia. Beliau tidak bergantung pada banyaknya pengikut, tidak pula putus asa. Beliau hanya bersandar pada Allah. Dari sinilah kita belajar bahwa kekuatan sejati seorang Muslim terletak pada keteguhan tawakalnya.


Maulid: Waktu Tepat untuk Membalas Cinta

Perayaan Maulid Nabi saw seharusnya tidak berhenti pada gema shalawat atau kemeriahan seremonial belaka. Lebih dari itu, Maulid adalah saat paling tepat untuk menundukkan hati dan bertanya pada diri sendiri: “Sudahkah aku benar-benar membalas cinta Rasulullah saw yang begitu besar?” Apakah kita hanya memujinya dengan lisan, ataukah kita juga berusaha meneladani akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari?


Jika Rasulullah saw resah melihat umatnya tergelincir, tidakkah hati kita tergerak untuk menjaga diri dari dosa? Jika beliau meneteskan air mata demi keselamatan kita, pantaskah kita justru menyepelekan sunnahnya? Jika beliau menanggung lelah dan derita hanya agar kita terselamatkan, bagaimana mungkin kita masih tega mengabaikan jejaknya? Maulid adalah undangan bagi kita untuk memantaskan diri—menjadi umat yang benar-benar layak dicintai oleh Rasulullah saw. 


Dengan meneladani akhlaknya, menjalankan ajarannya, dan berusaha menjadi hamba Allah yang shalih, kita tidak hanya memperingati kelahiran beliau, tetapi juga menghidupkan kembali cintanya dalam setiap detak kehidupan kita.


Dua ayat terakhir Surah at-Taubah menyingkap keindahan sejati pribadi Rasulullah saw: dekat dengan umatnya, peduli terhadap penderitaan mereka, penuh kasih sayang, dan teguh dalam tawakal.


Di akhirat nanti, semua umat ingin mendapat syafaatnya, ingin berada dalam barisannya, ingin dipanggil dengan penuh kasih: “Umatku.” Maka jangan biarkan cinta itu hanya jadi cerita. Wujudkan dalam iman, amal, dan akhlak.


Karena tak banyak yang tahu—dan sering kali kita lupa—bahwa ada satu manusia yang tidak pernah berhenti memikirkan kita, bahkan di saat kita melupakannya. Dialah Rasulullah Muhammad saw, cahaya kasih sayang yang tidak pernah padam.


H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Lampung