• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Warta

Ulama dan Tantangan Dakwah Generasi Millenial

Ulama dan Tantangan Dakwah Generasi Millenial
Ulama dan Tantangan Dakwah Generasi Millenial   Oleh: Rudy Irawan BERDASARKAN data www.teknopreneur menyebutkan (meskipun data tersebut agak lama) data pengguna internet di Indonesia dalam surveynya 2017 mencapai 143,26 juta jiwa atau 54,68 persen dari total 262 juta orang. Dilihat dari peringkatnya di Asia, Indonesia adalah urutan ke empat setelah Cina, India, dan Jepang.  Apabila dilihat dari perilaku pengguna internet di Indonesia, yang paling banyak media sosial yang digunakan adalah facebook mencapai 71,6 juta orang (54%). Instagram 19,9 juta orang (15%), youtube 14,5 juta orang (11%), google 7,9 juta orang (6%), tweeter 7,2 juta orang (5,5%), dan linkedin sebanyak 796 ribu (0,6%). Sebenarnya para ulama sendiri sangat faham bahwa dunia ini tidak pernah tidak berubah, sains dan teknologi pun berkembang terus. Karena yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Maka dalam pelajaran akidah, Allah Yang Maha Menciptakan itulah yang qadim (dahulu tanpa permulaan) dan yang diciptakan adalah makhluk, dan makhluk itu berubah-ubah. Karena itu, apa yang harus disikapi dan lakukan oleh para ulama, agar generasi millenial yang lahir setelah tahun 1980-an? Atau sebenarnya istilah “millenium” itu adalah hitungan satu masa periode seribu tahun, itu dihitung sebagai millenium. Jika dihitung tahun Masehi sekarang 2018, berarti kita ini berada di millenium ke tiga, masih agak awal. Namun konotasi millenial sekarang ini, identifikasi utamanya adalah perkembangan dan maraknya teknologi digital yang serba online, maka seolah-olah ketika kita mengatakan generasi millenial, adalah identik dengan generasi gadget, smartphone, online, dunia maya, yang sarat dengan media sosial. Para ulama sebenarnya sudah mempersiapkan diri. Meskipun secara praktis, mereka ini lebih mempersiapkan bagaimana putra-putri atau cucu-cucu mereka memiliki kesiapan mental, keimanan, agama, dan ketaqwaan yang paripurna atau lengkap. Para ulama berpedoman pada kaidah “al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi l-jadid al-shalih”. Artinya “memelihara tatanan atau sesuatu yang lama yang baik dan mengambil tatanan atau sesuatu yang baru yang lebih baik”. Perkembangan teknologi gadget, smartphone, internet, digital, dengan segala macam media sosial, yang serba cepat namun di alam maya, adalah suatu keniscayaan. Dalam bahasa ulama adalah sunnatullah. Karena perkembangan sains dan teknologi adalah perkembangan ilmu yang secara teologis, adalah anugrah Allah kepada manusia yang memiliki kecerdasan, kompetensi, dan keunggulan kompetitif untuk merekayasa teknologi. Terkait hal inipun Menteri Agama RI Lukman Hakim Saefuddin pernah satu saat menyampaikan beberapa hal penting yang menjadi kunci yaitu: 1). Dakwah inti atau ruhnya adalah mengajak kepada kebaikan, karena itu musti dilakukan dengan bijaksana, nasehat yang baik, dan diskusi yang lebih baik (QS. Al-Nahl: 125). Dakwah tidak bisa dilakukan dengan cara kekerasan, apalagi yang justru menghadirkan kebencian. 2). Generasi millenial sekarang ini hidup di dua alam, yakni dunia nyata dan dunia maya. Sekarang ini di era belanja online termasuk go-pay (tidak bermaksud menyebut nama perusahaan) atau belanja makanan cepat saji melalui jasa jemput antar, cukup pencet-pencet keypad gadget atau smartphone di kamar sambil menonton televisi atau mendengarkan musik, tahu-tahu dalam hitungan menit, makanan yang dipesan melalui handphone sudah bisa nyampai di depan pintu rumah. Karena itu, 3). Orang tua maupun anak-anak muda kita yang kita sebut dengan generasi millenial tersebut, agar tidak menerima limbah dunia maya dengan segala media sosialnya yang negatif, penuh tipu muslihat, bahkan kejahatan, perlu dikuasai, dikelola, ditaklukkan, agar jangan sampai generasi muda kita terkelahkan dengan berbagai situs, atau apapun namanya, yang dapat merusak masa depan mereka. Dunia maya sebenarnya “nyata adanya”. Sesugguhnya ia netral saja, ia bisa positif dan bisa juga negatif, tergantung yang menggunakannya. Jika orang yang menggunakan memiliki fondasi dan dasar keimanan yang kuat, maka dunia maya dengan media sosial dan onlinenya, bisa digunakan untuk hal-hal yang positif. Akan tetapi jika tidak bisa dimanej dengan baik, potensi merusaknya juga besar. Masih maraknya pernikahan usia dini, akibat “kecelakaan” atau “MBA” atau “Married By Accident” sebagian diantaranya adalah karena kegagalan anak-anak muda memanej hati, pikiran, dan perasaannya, dalam  menggunakan gadget, smartphone, dan media sosial itu. Selain itu, dalam konteks substansi atau konten media sosial dan isu-isu keagamaan, meminjam pendapat Gus Mus, banyak dikuasai oleh orang-orang yang tidak faham agama secara  benar dan mendalam, alias ora dunung atau tidak paham, tetapi menguasai IT. Maka mereka sering menawarkan berbagai macam informasi keagamaan menurut versi mereka, dan diduga banyak informasi yang mengajarkan teologi kekerasan, menghakimi, bahkan tidak jarang kemudian dengan mudah mengafirkan orang atau kelompok lain. Karena itu, para ulama musti mampu “menguasai” dan “menaklukkan” “makhluk” yang bernama Information Technology (IT). Selain itu, nasehat KH Abdul Qoyyum (Gus Qoyyum) dari Lasem Rembang, para ulama juga harus menambah komperensi dan kapasitas keilmuannya. Agar di dalam berdakwah bisa didengar, diperhatkan, dan bisa diikuti oleh generasi millenial. Dalam hal ini, menurut hemat saya, Perguruan Tinggi Islam bisa bekerjasama dengan Ormas keagamaan Islam seperti MUI, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya, harus – dan bahkan wajib hukumnya – dapat menjadi leader dalam soal pemanfaatan dunia maya ini, untuk mencerdaskan anak-anak atau generasi muda millenial. Karena sebenarnya Rasulullah SAW pernah memberikan wanti-wanti atau alarm, bahwa anak-anak kita ini lahir di zaman atau era yang sudah berbeda, maka sudah barang tentu harus dipersiapkan dengan lebih baik. Sekarang ini, anak-anak masih sangat muda, usia belum masuk sekolah taman kanak-kanak, mereka sudah terampil bermain smartphone. Maka wajar apabila ada organisasi badan dunia, mengatakan bahwa bermain smartphone termasuk alat yang bisa menjadikan kecanduan atau adiktif. Karena itu, lagi-lagi orang tua dan lingkungan keluarga menjadi pendidik dan pengasuh utama untuk membekali pemahaman dan sekaligus mengawal mereka, agar mereka kelak menjadi generasi yang melek gadget, smartphone, dan dunia maya, namun bisa lebih banyak mengambil manfaatnya, guna menambah pengetahuan, berbisnis, bersilaturrahim, dan bertukar ilmu, dan mampu meninggalkan yang negatif. Generasi muda millenial adalah milik kita. Sebagai orang tua, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan ulama, berkewajiban untuk mendidik, membesarkan, dan menanamkan mereka akidah dan beragama (Islam) secara moderat, tasamuh, bersaudara, namun tidak kehilangan prinsip, akidah, dan khithah perjuangan untuk melahirkan umat yang terbaik atau khaira ummah.  Allah a’lam bi sh-shawab. *) Penulis adalah Wakil Ketua PCNU Bandar Lampung/Dosen UIN Raden Intan Lampung


Editor:

Warta Terbaru