• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 18 Mei 2024

Warta

Manfaat Jam’iyyah NU untuk Umat (Refleksi Harlah NU ke 89 dan Songsong Muktamar NU ke 33)

Manfaat Jam’iyyah NU untuk Umat (Refleksi Harlah NU ke 89 dan Songsong Muktamar NU ke 33)
Oleh : Akhmad Syarief Kurniawan (Peneliti di Angkringan Institute Lampung)   Warga Islam umumnya, wabil khusus warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) seantero Nusantara baru saja secara seremonial struktural dan kultural memperingati hari lahir Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) ke 89. Dan pada Agustus nanti akan menggelar hajat besar Muktamar Nahdlatul Ulama  ke-33  di Jombang, Jawa Timur. Secara jam’iyyah (organisasi), Nahdlatul Ulama di  Indonesia telah mempunyai 34 propinsi atau Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) dan sebagian Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di luar negeri, baik di Eropa, Asia, dan Amerika. Ini merupakan bukti kongkrit, sekaligus modal sosial (social capital) yang potensial dalam kajian dan pengembangan, pemberdayaan Nahdlatul Ulama secara jamaah maupun jamiyyah, baik secara kultural maupun struktural di bumi jamrud Katulistiwa. Nahdlatul Ulama harus peka  memperhatikan  warganya dalam ranah;  pendidikan, pemberdayaan ekonomi, kesehatan, kebudayaan, pengentasan kemiskinan. Meminjam istilah Ahmad Nur Hasyim dan Nur Khalik Ridwan, seyogyanya NU mengurusi bagian gerakan sosial keagamaan (Gersosag) bukan gerakan politik praktis (Gerpolprak). Ketika diadakan Halaqah dan Muhasabah aktivis-aktivis NU di pondok pesantren Pandanaran, Sleman - Yogyakarta pada 2004, K.H. Masdar Farid Mas’udi, NU menempatkan diri sebagai gerakan sosial kegamaan, model kepolitikan yang dimainkan ada di level gerakansosial keagamaan, bukan layaknya sebagai partai politik. Dan kepolitikan model ini adalah bermain di wilayah politik kerakyatan. Untuk melihat ini, penting menjelaskan tiga jenis politik yang ada dan posisi politik kerakyatan yang mesti dimainkan oleh NU. Pertama,  politik  kebangsaan  dan  kenegaraan. Politik jenis  ini dimainkan NU  dalam konteks perjuangan revolusi fisik dan awal-awal kemerdekaan. Komitmen NU terhadap bangsa Indonesia tidak perlu diragukan. Karena sejak berdiri pada tahun1926 sampai  sekarang, NU tidak pernah terlibat  dalam pemberontakan. Kontribusi paling jelas adalah dukungan KH.Wahid Hasyim (ayahanda KH.  Abdurrahman Wahid –  GusDur) wakil NU di PPKI untuk tidak mencantumkan Piagam Jakarta di dalam dasar negara kita. Kedua, politik kerakyatan. Politik jenis ini berbicara kekuasaan itu dikelola untuk siapa? Dalam hal ini, kekuasaan dipandang sebenarnya berjalan setiap hari (day to day politics) dan harus diperuntukkan bagi warga masyarakat. Politik ini dijalankan oleh NU dalam bentuk  pembelaan NU terhadap  masyarakat  marjinal,  baik  dalam  bentuk pendidikan politik,  pemberdayaan ekonomi,  pendidikan  untuk mencerdaskan  masyarakat,  dan mengontrol terhadap kekuasaan negara yang cenderung korup dan hegemonik. Dengan kaidah tasharruful imam man’uthun bil maslahah, NU  menggaris  bawahi  bahwa pemimpin harus mengelola kekuasaan untuk kesejahteraan umat atau masyarakat. Saat ini, politik bagi NU merupakan bagian dari gerakan sosial untuk melakukan pemberdayaan dan pembelaan terhadap  petani,  buruh,  nelayan,  dan  ekonomi  pinggiran  yang  mayoritas adalah warga NU. Ketiga, politik kekuasaan. Keterlibatan NU dalam politik kekuasaan pertama kali adalah ketika NU mendukung pendirian Masyumi pada masa pendudukan Jepang. Pada waktu menjadi organiasasi penyangga Masyumi,  para  pengurus  NU banyak  terlibat  dalam perebutan jabatan,  baik di partai politik maupun di luar  partai  (kursi  eksekutif). (*)  


Editor:

Warta Terbaru