Oleh : Akhmad Syarief Kurniawan
(Peneliti di Angkringan Institute Lampung)
Warga Islam umumnya, wabil khusus warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) seantero Nusantara baru saja secara seremonial struktural dan kultural memperingati hari lahir Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) ke 89. Dan pada Agustus nanti akan menggelar hajat besar Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Jombang, Jawa Timur.
Secara jam’iyyah (organisasi), Nahdlatul Ulama di Indonesia telah mempunyai 34 propinsi atau Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) dan sebagian Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di luar negeri, baik di Eropa, Asia, dan Amerika.
Ini merupakan bukti kongkrit, sekaligus modal sosial (social capital) yang potensial dalam kajian dan pengembangan, pemberdayaan Nahdlatul Ulama secara jamaah maupun jamiyyah, baik secara kultural maupun struktural di bumi jamrud Katulistiwa.
Nahdlatul Ulama harus peka memperhatikan warganya dalam ranah; pendidikan, pemberdayaan ekonomi, kesehatan, kebudayaan, pengentasan kemiskinan.
Meminjam istilah Ahmad Nur Hasyim dan Nur Khalik Ridwan, seyogyanya NU mengurusi bagian gerakan sosial keagamaan (Gersosag) bukan gerakan politik praktis (Gerpolprak).
Ketika diadakan Halaqah dan Muhasabah aktivis-aktivis NU di pondok pesantren Pandanaran, Sleman - Yogyakarta pada 2004, K.H. Masdar Farid Mas’udi, NU menempatkan diri sebagai gerakan sosial kegamaan, model kepolitikan yang dimainkan ada di level gerakansosial keagamaan, bukan layaknya sebagai partai politik. Dan kepolitikan model ini adalah bermain di wilayah politik kerakyatan.
Untuk melihat ini, penting menjelaskan tiga jenis politik yang ada dan posisi politik kerakyatan yang mesti dimainkan oleh NU.
Pertama, politik kebangsaan dan kenegaraan. Politik jenis ini dimainkan NU dalam konteks perjuangan revolusi fisik dan awal-awal kemerdekaan. Komitmen NU terhadap bangsa Indonesia tidak perlu diragukan. Karena sejak berdiri pada tahun1926 sampai sekarang, NU tidak pernah terlibat dalam pemberontakan.
Kontribusi paling jelas adalah dukungan KH.Wahid Hasyim (ayahanda KH. Abdurrahman Wahid – GusDur) wakil NU di PPKI untuk tidak mencantumkan Piagam Jakarta di dalam dasar negara kita.
Kedua, politik kerakyatan. Politik jenis ini berbicara kekuasaan itu dikelola untuk siapa? Dalam hal ini, kekuasaan dipandang sebenarnya berjalan setiap hari (day to day politics) dan harus diperuntukkan bagi warga masyarakat.
Politik ini dijalankan oleh NU dalam bentuk pembelaan NU terhadap masyarakat marjinal, baik dalam bentuk pendidikan politik, pemberdayaan ekonomi, pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat, dan mengontrol terhadap kekuasaan negara yang cenderung korup dan hegemonik.
Dengan kaidah tasharruful imam man’uthun bil maslahah, NU menggaris bawahi bahwa pemimpin harus mengelola kekuasaan untuk kesejahteraan umat atau masyarakat.
Saat ini, politik bagi NU merupakan bagian dari gerakan sosial untuk melakukan pemberdayaan dan pembelaan terhadap petani, buruh, nelayan, dan ekonomi pinggiran yang mayoritas adalah warga NU.
Ketiga, politik kekuasaan. Keterlibatan NU dalam politik kekuasaan pertama kali adalah ketika NU mendukung pendirian Masyumi pada masa pendudukan Jepang. Pada waktu menjadi organiasasi penyangga Masyumi, para pengurus NU banyak terlibat dalam perebutan jabatan, baik di partai politik maupun di luar partai (kursi eksekutif). (*)