• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Warta

KH.Ahmad Abrori Akwan “Macan Podium dari Pesawaran”

KH.Ahmad Abrori Akwan “Macan Podium dari Pesawaran”
DALAM lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), nama KH. Ahmad Abrori Akwan bukanlah nama yang asing.  Sepanjang umurnya, Kyai yang menjadi pendiri dan pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Al-Hidayat Gerning Tegineneng, Pesawaran, Lampung ini selalu berjuang membesarkan nama NU. Buya Abrori –demikian ia kerap dipanggil oleh masyarakat- selain aktif dan getol dalam mengurusi organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, juga dikenal sebagai orator ulung atau “Macan Podium”. Itu karena Buya mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit menjadi lebih jelas dan gamblang. Pidatonya mudah diterima semua kalangan. Ia sanggup membuat hal-hal yang berat menjadi ringan, sesuatu yang sebenarnya membosankan menjadi mengasyikkan, sesuatu yang kelihatannya sepele menjadi amat penting. KH Ahmad Abrori Akwan lahir di Bindu, Peninjauan, OKU, Sumatera Selatan pada tanggal 31 Desember 1947. Beliau adalah putra kedua dari lima bersaudara dari pasangan Kyai Ahmad Akwan bin Hasbullah dan Nyai Sayyah binti Muhammad Sholih. Kedua orangtuanya adalah orang-orang yang sederhana dan taat beragama. Bahkan kakek beliau, menurut cerita dari saudara dan para tetangga adalah orang yang sangat jujur, yang selama hidupnya tidak pernah berbohong. Buya Abrori mempunyai seorang kakak bernama Qurbah. Namun sayang, ia meninggal saat usianya baru satu tahun. Sedangkan adik-adik Buya Abrori adalah Ahmad Nabhan, Zainuddin Amrullah, meninggal saat berusia enam tahun dan Abdillah meninggal ketika masih bayi. Buya Abrori dibesarkan sebagai anak yang tangguh, kuat dan tahan banting dalam menghadapi hidup dan kehidupan. Pendidikannya dimulai dari Madrasah Ibtida’iyah Nurul Islam Bindu Baturaja (1955 – 1961).Setelah lulus, beliau tidak langsung meneruskan jenjang pendidikannya, tetapi beristirahat atau berhenti sementara selama setahun karena ikut orang tuanya yang ikut serta membuka lahan di Gerning Tegineneng, Pesawaran (dulu Lampung Selatan). Kemudian, pada tahun 1963, beliau memulai pengembaraannya ke Jawa dalam rangka menuntut ilmu agama, tepatnya di Pondok Pesantren An-Nur Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ia diasuh langsung oleh KH. Manshur bin KH. Kholil Zuhdi, salah satu katib pribadi Syaikh Mahfudz Termas dan salah seorang dari pendiri Organisasi Nahdlatul Ulama’. Tetapi Abrori muda hanya sebentar di Pesantren an-Nur ini. Selanjutnya beliau pindah ke Pesantren Al-Hidayat Soditan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, dalam asuhan waliyullah KH. Ahmad Ma’shum (mbah Ma’shum Lasem) bin Ahmad bin Abdul Karim, yaitu ayahanda Mbah Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta. Selama di Pesantren Al-Hidayat, beliau tidak cuma ditempa dengan ilmu-ilmu agama oleh Mbah Ma’shum, tetapi juga tentang hidup bermasyarakat, menghadapi kehidupan dan berorganisasi. Hal ini terlihat dari seringnya beliau diajak jalan-jalan dari desa ke desa dalam rangkah berdakwah oleh Mbah Ma’shum. Abrori muda juga diminta membantu mengurusi kebutuhan keluarga Mbah Ma’shum, serta ikut mengurusi pondok pesantren dan anak-anak muda di lingkungan pesantren. Karena keuletan dan ketekunannya dalam membantu urusan keluarga, oleh Mbah Ma’shum sekeluarga, beliau dianggap seperti anak atau keluarga sendiri. Buya Abrori menikah pada 16 Agustus 1972 / 7 Rajab 1392. Beliau dinikahkan oleh Mbah Ma’shum dengan seorang gadis yang juga santri pondok, yaitu Nur Aini binti Haji Afnan Gresik. Ketika walimatul ‘urs di Gresik, beliau diakadkan kembali oleh waliyullah Mursyidut-Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah as-Syaikh Muhammad Utsman al-Ishaqi ayahanda Syaikhina wa Murobbi ruhina Ahmad Asrori Utsman al-Ishaqi RA. Kemudian pada tahun 1974 beliau pulang (“boyong”, istilah pesantren) dari pesantren Mbah Ma’shum ke tempat kelahiran istrinya di daerah Gresik, selama lima tahun. Selama di Gresik ini, Buya Abrori mendalami  ilmu  agama, tapi kali ini ia ditempa dengan ilmu tasawuf oleh Syeikh Muhammad Utsman al-Ishaqi. Dan pada tahun 1979, atas perintah Mbah Ma’shum, Buya Abrori kembali pulang ke Gerning Tegineneng Lampung Selatan (sekarang Pesawaran). Setahun berikutnya, yakni pada tahun 1980, Buya Abrori memulai mendirikan Pondok Pesantren yang beliau beri nama seperti almamaternya yaitu Al- Hidayat di Desa Gerning Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran. Saat ini pondok menjadi Yayasan Pondok Pesantren Al-Hidayat. Dari pernikahannya dengan Nyai Hj. Nur Aini, Buya Abrori dikarunia enam orang putra-putri, yaitu. Hj. Lu’lu’ul Ma’shumah, KH. Ahmad Ma’shum Abror, KH. Rusydi Ubaidillah Abror, H. Muhammad Yusuf. S. Si, Hj. Nia Zainiah, dan Hj. Durrotun Nafisah. Aktif di Organisasi Sepanjang umurnya, Buya Abrori sangat aktif di organisasi, khususnya Nahdlatul Ulama. Diantaranya, menjadi Ketua GP Ansor Ranting Pon-Pes Lasem (1967 – 1970), Kemudian menjadi Ketua Bidang Pendidikan Remaja se-Kabupaten Gresik (1977 – 1979). Buya Abrori juga pernah menjadi Katib Syuriah PWNU Lampung (1984 – 1989), menjadi Ketua Dewan Fatwa MUI Propinsi Lampung (1987 – 1992), Wakil Ro’is Syuriah PWNU Propinsi Lampung (1990 – 1995),  Dewan Penasehat  MUI Propinsi Lampung (1992), Ro’is Syuriah PWNU Propinsi Lampung (1996 – 2002), Mustasyar PWNU Lampung (2002 – Sekarang) dan A’wan Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (2005 – 2010) Buya Abrori wafat pada hari Senin, 25 Juni tahun 2012 di Kedinding Surabaya, seusai mengikuti acara Chaul Masyayikh di Pondok Pesantren Al-Fithroh Kedinding Surabaya. Hingga kini namanya terus melekat di hati keluarga besar NU, khususnya di Lampung. Ia dinilai sebagai sosok penting yang memberikan andil besar pada perkembangan NU di masa lalu dan masa kini. Semoga semua amal kebaikannya dilipat gandakan pahalanya, mendapatkan rahmat dan dimasukkan ke dalam surganya Allah. Amin. (Sumber adalah salah satu dewan asatidz dan juga pengurus Yayasan Pondok Pesantren Al-Hidayat Gerning Tegineneng Pesawaran, juga sekretaris LBM NU Lampung)


Editor:

Warta Terbaru