• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Teras Kiai

Mengenal Sang Wali Agung Sunan Bungkul

Mengenal Sang Wali Agung Sunan Bungkul
DALAM perjalanan ziarah Walisongo, salah satu tujuannya yakni berziarah ke makam Sunan Ampel yang terletak di Ngampeldenta, Kota Surabaya-Jawa Timur. Di Surabaya, selain makam Sunan Ampel terdapat juga makam yang dikunjungi banyak peziarah, yakni makam Sunan Bungkul. Makam Sunan Bungkul Surabaya atau biasa disebut sebagai Mbah Bungkul, berada di dalam komplek Taman Bungkul yang lokasinya berada di tepi Jalan Raya Darmo, sebuah jalan elit di kawasan Surabaya. Akses ke Makam Sunan Bungkul berada di sisi belakang Taman Bungkul, melewati deretan warung yang ramai pengunjung baik siang maupun malam hari. Dalam catatan ahli sejarah Belanda bernama GH Von Faber, dalam buku berjudul Oud Soerabaia ditulis, Bungkul, saat jaman kolonial sengaja tidak dikenalkan jatidiri sebenarnya. Entah apa maksudnya. Yang jelas dalam buku itu tertulis, orang akan diganjar hukuman dan akan celaka atau (kualat=bahasa Jawa), jika mencoba menelisik siapa sebenarnya Mbah Bungkul. Mbah Bungkul pun kini diyakini sebagai salah satu wali besar di Surabaya. Sumbangsih Sunan Bungkul dalam penyebaran Islam di tanah Jawa tak bisa diabaikan begitu saja. Sunan Bungkul juga membantu Sunan Ampel dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sunan Bungkul atau yang memiliki nama asli Ki Ageng Supo atau Mpu Supo adalah bangsawan dari jaman Kerajaan Majapahit yang setelah memeluk Islam lalu menggunakan nama Ki Ageng Mahmuddin/Syaikh Mahmuddin (1400-1481 M). Ia adalah salah satu penyebar agama Islam di akhir kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Ia adalah mertua Sunan Ampel. Namun sumber lain mengatakan bahwa beliau adalah mertua Raden Paku atau yang lebih dikenal dengan Sunan Giri. Beliau diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481 M. Ki Ageng Supa mempunyai puteri bernama Dewi Wardah. Makam beliau berada tepat di belakang Taman Bungkul Surabaya. Ki Ageng Mahmudin dulunya seorang pejabat kerajaan Majapahit, setingkat Tumenggung. Beliau diminta oleh Raja Majapahit, Brawijaya, agar menemani putra mahkota yang tidak ingin menggantikannya sebagai raja karena lebih tertarik belajar agama, dan ingin berguru ke Sunan Bejagung, di Tuban. Putra Mahkota dan Tumenggung belajar agama menjadi santrinya Sunan Bejagung yang memiliki nama asli Syaikh Abdullah Asy'ari yang tidak lain adalah adik dari Syaikh Maulana Ibrahim Asmoroqondhi, ayah Sunan Ampel dan kakek dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Di kemudian hari putra mahkota Majapahit tersebut diambil menantu oleh Sunan Bejagung. Makamnya ada di Desa Bejagung Tuban dan lebih dikenal makam Sunan Bejagung Kidul ( Kidul = Selatan ). Syaikh Abdullah Asyari atau Sunan Bejagung makamnya dikenal makam Sunan Bejagung Lor (Lor = Utara ). Menurut kisah, beliau usianya mencapai sekitar 300 tahun, muridnya banyak, ada juga murid beliau yang dakwah di daerah Pati Jawa Tengah. Sang Tumenggung atau Ki Ageng Mahmudin selesai dari Tuban kembali ke Majapahit, di daerah Bungkul, dan lebih dikenal sebagai Susuhunan Bungkul atau Sunan Bungkul. Sebuah versi menyebut bahwa Sunan Bungkul adalah mertua Raden Paku, yang lebih dikenal sebagai Sunan Giri, setelah Raden Paku secara tidak sengaja memungut buah delima dari Kalimas. Tanpa diketahuinya, Sunan Bungkul memiliki niatan barang siapa yang menemukan buah delima itu akan ia jodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah. Padahal Raden Paku telah dijodohkan dengan puteri Sunan Ampel yang bernama Dewi Murthasiah, namun karena perjodohannya dengan Dewi Wardah mendapat restu Sunan Ampel, maka Raden Paku pun menikahi kedua puteri itu pada hari yang sama. Makam Sunan Bungkul ini merupakan bangunan cagar budaya. Kisah tentang Sunan Bungkul belum sahih dan masih terjadi banyak kontroversi. Hal ini disebabkan sulitnya melacak siapa sebenanya Sunan Bungkul. Adapun kisah diatas adalah cerita yang telah umum diketahui masyarakat luas. Wallahu A'lam. (Muhammad Candra Syahputra/Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya- Disarikan dari berbagai sumber).  


Editor:

Teras Kiai Terbaru