Syiar

Tata Cara Sai, Beserta Hukum Menggunakan Kursi Roda dan Skuter

Senin, 27 Mei 2024 | 13:53 WIB

Tata Cara Sai, Beserta Hukum Menggunakan Kursi Roda dan Skuter

Ilustrasi sai (Foto: NU Online)

Sai adalah salah satu rukun haji, yaitu berjalan antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Ritual ini mengikuti jejak Siti Hajar dalam mencari air bagi putranya, Nabi Ismail as.


Jarak kedua bukit tersebut sekitar 450 meter atau sekitar 3 kilometer untuk prosesi sai sebanyak tujuh kali. Ritual ini cukup melelahkan dan berat bagi mereka yang memiliki fisik lemah, seperti lansia atau jamaah dengan risiko tinggi. 


Namun sebagai rukun haji, sai harus dilaksanakan dalam rangkaian ibadah haji. Sai mengandung pelajaran atau prinsip hidup yang harus persisten, yaitu gigih dan berkesinambungan.


Syekh Al-Imam Taqiyuddin Abu ad-Dimasyi asy-Syafi’i dalam kitab Kifāyatul akhyār fī Jalli Ghāyatil Ikhtishār menyatakan: 


وأركان الحج خمسة الإحرام والنية والوقوف بعرفة والطواف بالبيت والسعي بين الصفا والمروة   


Artinya: Rukun haji ada lima perkara, yaitu ihram, niat, wukuf di padang Arafah, tawaf di Ka’bah, dan sai antara Shafa dan Marwah.


Melihat dari sejarahnya, sai dilakukan dengan berjalan kaki, atau berlari-lari kecil. Namun memang ada situasi di mana seseorang mungkin mengalami keterbatasan fisik, sehingga harus menggunakan kursi roda atau skuter. 


Dilansir dari NU Online, penting untuk memahami hukum fiqih tentang melakukan sai dengan kursi roda dan skuter. Dalam Islam, prinsip utama yang ditegaskan bahwa tujuan ibadah adalah untuk memperkuat hubungan manusia dengan Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya dengan cara yang terbaik sesuai dengan kemampuan individu. 


Oleh karena itu, bagi mereka yang mengalami keterbatasan fisik, syariat Islam memberikan fleksibilitas dalam melaksanakan ibadah. Sai dengan menggunakan kursi roda, atau skuter, telah dibahas oleh ulama fiqih sejak dahulu kala. 


Ulama menjelaskan hukum sai dengan menggunakan kendaraan atau tunggangan seperti unta. Dalam penentuan hukum sai dengan kendaraan, ulama membagi pada dua hal. 


Pertama, hukum sai naik kendaraan karena adanya uzur, misalnya karena sedang sakit, lansia, atau penyandang disabilitas. Kedua, hukum sai dengan kendaraan tanpa adanya uzur (sengaja).


Sebenarnya, dalam pelbagai kitab fiqih, ulama sepakat bahwa sai dan tawaf dilaksanakan dengan cara berjalan kaki. Pasalnya, dengan berjalan kaki, itu lebih afdhal dibandingkan dengan menggunakan kendaraan atau tunggangan.


Akan tetapi, ulama berbeda pendapat terkait sai dengan menggunakan kendaraan bagi seseorang jika tidak ada uzur. Menurut Mazhab Hanafiyah, orang yang sai dengan tunggangan tanpa uzur maka diwajibkan mengulanginya dan membayar dam.  


Abdurrahman Al Jaziri dalam kitab al-Fiqhu ala Mazahibul Arbaah menjelaskan: 


ومنها المشي فيه، حتى لو سعى راكباً لغير عذر لزمه إعادته، أو إراقة دم ومنها أن يبدأ سعيه من الصفا، ثم ينتهي إلى المروة 


Artinya: Dan syarat wajib sai juga ialah berjalan kaki. Jikalau seorang melaksanakan sai dengan berkendaraan tanpa ada uzur, maka wajib ia mengulanginya, atau membayar denda, dan juga syarat sai ialah memulai sai dari Shafa kemudian mengakhirkan sampai Marwah.  


Dalam mazhab Maliki, seperti yang dikatakan oleh Imam Al Qarafi dalam kitab Az-Zakhirah, mengatakan jika seorang jamaah haji melaksanakan sai dengan berkendara, tanpa ada uzur maka dikenakan denda.


Ia mengatakan: 


وعندهم إن تَرَك المشيَ في السَّعي ورَكِبَ فعليه دمٌ 


Artinya: dan menurut mereka, jika seseorang meninggalkan berjalan kaki pada saat sai, dan ia menunggangi kendaraan maka wajib atasnya denda.   


Adapun menurut mazhab Syafi’i, orang yang berkendara saat sai, tanpa ada uzur, maka sainya tetap sah, dan tidak dikenakan bayar dam. Penjelasan ini dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin: 


اتَّفقوا على أنَّ السَّعيَ راكبًا ليس بمكروهٍ، لكنَّه خلافُ الأفضل  


Artinya: Telah sepakat ulama Syafi’iyah bahwa sai dengan menggunakan kendaraan tidak makruh hukumnya, akan tetapi menyalahi keutamaan sai (seyogianya berjalan kaki).  


Hukum Sai Menggunakan Kursi Roda atau Skuter

Dalam hal melakukan sai dengan kursi roda atau skuter, mayoritas ulama sepakat bahwa hal itu diperbolehkan dan sah selama jamaah yang bersangkutan memiliki keterbatasan fisik yang membuatnya tidak mampu berjalan kaki. 


Pendapat ini didasarkan pada prinsip syariat yang mengutamakan kemudahan dalam ibadah bagi mereka yang berada dalam keadaan sulit atau cacat.   


Lebih lanjut, sai dengan menggunakan kursi roda bagi lansia termasuk dalam kategori sai dengan tunggangan dengan adanya uzur, yakni ketidakmampuan untuk berjalan. 


Pasalnya, sai dengan berjalan antara Shafa dan Marwah, dalam satu perjalan mencapai 400 meter. Jika ditotal 7 kali perjalanan ditempuh dalam jarak waktu sekitar 3 kilometer. Jarak tempuh yang cukup jauh dan menyulitkan bagi seorang lansia. 


Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menjelaskan berikut ini:  


ومن طاف وسعى محمولا لعلة، أجزأه. لا نعلم بين أهل العلم خلافا في صحة طواف الراكب إذا كان له عذر، 


Artinya: Barang siapa yang melaksanakan sai dengan dipikul atau kendaraan dikarenakan adanya sebab, maka tawafnya sah. Tidak ada perbedaan pendapat terkait sahnya tawaf (sai) dengan menggunakan kendaraan jika ada uzur.  


Kesimpulannya adalah, hukum fiqih tentang melakukan sai dengan kursi roda atau skuter memperbolehkan dan mengakomodasi individu yang mengalami keterbatasan fisik. Islam memberikan fleksibilitas dalam ibadah agar dapat dijalankan sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.


Bagi mereka yang menggunakan kursi roda, penting untuk tetap berusaha aktif dalam ritual dan berpartisipasi dengan semangat yang sama seperti jamaah yang berjalan kaki.