Yudi Prayoga
Penulis
Bulan Muharram yang di dalamnya terdapat hari Asyura (hari ke-10) merupakan salah satu bulan yang dimuliakan Allah swt. Itulah kenapa. bulan Muharram tergolong sebagai Asyhurul Hurum (bulan-bulan yang dimuliakan). Sebagaimana Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 36:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ (التوبة: 36)
Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (QS at-Taubah: 36).
Baca Juga
Waktu Puasa Muharram dan Keutamaannya
Maksud Asyhurul Hurum pada ayat tersebut ialah Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan, alasan dinamakan al-hurum adalah karena berbuat maksiat pada bulan-bulan tersebut akan dibalas dengan lebih berat. Begitupun orang berbuat ketaatan, akan mendapat pahala berlipat (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, [Kairo, al-Mathba’ah al-Bahiyyah al-Mishriyyah: 1934], juz VIII, halaman 52).
10 Muharram menjadi bulan yang istimewa, karena pada hari itu, dalam catatan sejarah banyak terjadi peristiwa luar biasa, termasuk selamatnya Nabi Musa as dari kejaran pasukan Fir’aun. Sebagai bentuk syukur, Nabi Musa as berpuasa pada hari tersebut. Berikutnya, umat Yahudi mengikuti apa yang dilakukan Nabinya itu, berpuasa setiap 10 Muharram.
Dikatakan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi, puasa 10 Muharram bagi umat Yahudi merupakan satu-satunya puasa yang dilakukan dalam kurun waktu satu tahun. Jika umat Islam punya puasa Ramadhan, maka umat Yahudi punya puasa Asyura.
Sementara itu, menurut Syekh Musa Lasyin (wafat 2009 M) dalam kitabnya, Fathul Mun’im Syarhu Shahîh Muslim menjelaskan, puasa Asyura sudah dilakukan oleh orang-orang Arab Jahiliyah Kota Makkah. Artinya, sebelum Rasulullah saw bertemu orang Yahudi di Madinah yang kebetulan saat itu mereka berpuasa Asyura, terlebih dahulu puasa ini dilakukan oleh penduduk Makkah sebelum Islam.
Masih menurut Syekh Musa Lasyin, ada dua kemungkinan alasan orang Jahiliyah berpuasa Asyura. Mengikuti syari’at Nabi Ibrahim as dengan tujuan memuliakan hari Asyura yang juga dibarengi dengan pemasangan kiswah untuk bangunan Ka’bah atau sebagai penebus dosa-dosa yang telah dilakukan di masa Jahiliyah. Mereka merasa sangat bersalah dan meyakini puasa Asyura mampu meleburnya.
Hal ini berdasarkan perkataan Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Sayyidah Aisyah ra:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
Artinya: Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ‘Asyura. Rasulullah saw juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura. Lalu beliau mengatakan: Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak berpuasa) (HR Bukhari no. 2002 dan Muslim No 1125).
Ketika Nabi Muhammad saw tiba di Madinah dan melihat Ahlul Kitab melakukan puasa Asyura karena mengenang selamatnya Nabi Musa dari musuhnya, kemudian Nabi memerintahkan pada para sahabat untuk ikut berpuasa.
Penjelasan tersebut berasal dari Hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas ra:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Artinya: Ketika tiba di Madinah, Rasulullah saw mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ‘Asyura. Kemudian Rasulullah saw bertanya, “Hari yang kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab: Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini. Rasulullah saw: Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian. Lalu setelah itu Rasulullah saw memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa (HR Muslim,1130).
Syekh Muhammad bin ‘Abdul Baqi az-Zurqani (wafat 1710 M) dalam kitabnya Syarhu Mawâhibil Ladduniyyah dengan mengutip Imam al-Qurtubi, mengatakan bahwa Nabi Muhammad berpuasa Asyura untuk meluluhkan hati orang Yahudi. Ini merupakan salah satu metode dakwah Nabi saw dalam mengajak Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) untuk masuk Islam.
Dengan Nabi saw berpuasa Asyura, orang Yahudi akan berpikir, ternyata, syari’at Nabi Muhammad saw tidak jauh berbeda dengan syari’at nabi mereka, Musa as. Dengan persepsi demikian, Yahudi tadi akan berkesimpulan, baik agama yang dibawa Nabi Musa as maupun Nabi Muhammad saw, keduanya memiliki ajaran, sumber, dan Tuhan yang sama (Allah swt). Mereka luluh dan berikutnya lebih mudah diajak masuk Islam. Meskipun pada akhirnya, Nabi saw memerintahkan umat Islam untuk berpuasa pada 9 Muharram (Tasu’a), agar tidak sama dengan Yahudi.
Kemudian para ulama berselisih pendapat apakah puasa Asyura sebelum diwajibkan puasa Ramadhan dihukumi wajib ataukah sunnah mu’akkad? Di sini ada dua pendapat sebagaimana dijelaskan dalam kitab Latho-if Al Ma’arif, halaman 94:
Pertama, puasa Asyura dihukumi wajib. Ini mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Abu Bakr Al Atsrom.
Kedua, puasa Asyura dihukumi sunnah mu’akkad. Ini pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan kebanyakan dari ulama Hambali (Latho-if Al Ma’arif, 94).
Ibnu Rajab ra mengatakan, setiap hadits yang serupa dengan ini menunjukkan bahwa Nabi saw tidak memerintahkan lagi untuk melakukan puasa Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. Akan tetapi, beliau tidak melarang jika ada yang masih tetap melaksanakannya. Maka dari itu, puasa Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadhan masih tetap dianjurkan (disunnahkan) untuk dilakukan bagi umat Islam.
(Yudi Prayoga)
Terpopuler
1
Perkuat Peran NU di Masyarakat, PCNU Lampung Selatan Gelar PD-PKPNU Angkatan XXX
2
Wujudkan Generasi Islami, Muslimat NU Adiluwih Sukses Gelar Khatmil Quran
3
Diikuti 46 Peserta, Muli Mekhanai Asal Bandar Lampung dan Tulang Bawang Tampil sebagai Pemenang
4
Pelaksanaan PSU Pilkada Pesawaran Berlangsung Aman, Nanda-Antonius Unggul Sementara
5
DPRD Lampung Hadiri Ramah Tamah dengan Pangdam, Pemprov Hibahkan Lahan untuk Bangun Kodam Baru
6
Fatayat NU Labuhan Ratu Audiensi dengan Wakil Ketua DPRD Lampung, Siap Jadi Agen Perubahan Sosial
Terkini
Lihat Semua