• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Senin, 20 Mei 2024

Syiar

Ini Hukum Perkawinan Anak di Bawah Umur

Ini Hukum Perkawinan Anak di Bawah Umur
Ini Hukum Perkawinan di Bawah Umur dalam Islam. (Ilustrasi foto: NU Online)
Ini Hukum Perkawinan di Bawah Umur dalam Islam. (Ilustrasi foto: NU Online)

Angka perkawinan anak di bawah umur di Indonesia masih cukup tinggi. Perkawinan (pernikahan) dini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti pendidikan, ekonomi, budaya, dan lainnya. 


Berdasarkan data UNICEF Indonesia menduduki peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan jumlah pernikahan dini terbanyak. Fenomena perkawinan dini dapat berpengaruh terhadap penurunan kesehatan fisik dan psikologis, capaian pendidikan yang rendah, dan risiko terjadinya kekerasan domestik.


Dalam agama Islam, perkawinan dua insan merupakan sunnatullah. Hanya saja sebelum masuk ke dunia rumah tangga, keduanya dipastikan benar-benar siap dan mengerti maksud akad perkawinan. Lalu bagaimana dengan calon mempelai yang merupakan anak-anak di bawah umur. 


Dilansir dari NU Online, masalah ini juga membelah pendapat ulama. Jumhur atau mayoritas ulama memandang umur bukan bagian dari kriteria calon mempelai. Oleh karenanya, mereka menganggap sah perkawinan anak kecil di bawah umur. 


Hal itu disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini: 


ولم يشترط جمهور الفقهاء لانعقاد الزواج: البلوغ والعقل، وقالوا بصحة زواج الصغير والمجنون. الصغر: أما الصغر فقال الجمهور منهم أئمة المذاهب الأربعة، بل ادعى ابن المنذر الإجماع على جواز تزويج الصغيرة من كفء 


Artinya: Mayoritas ulama tidak mensyaratkan baligh dan aqil untuk berlakunya akad nikah. Mereka berpendapat keabsahan perkawinan anak di bawah umur dan orang dengan gangguan jiwa. Kondisi anak di bawah umur, menurut jumhur ulama termasuk ulama empat madzhab, bahkan Ibnul Mundzir mengklaim ijma’ atau konsensus ulama perihal kebolehan perkawinan anak di bawah umur yang sekufu (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 179).


Pandangan jumhur ulama ini didasarkan pada sejumlah riwayat hadits yang berkenaan dengan perkawinan anak di bawah umur. Sedangkan beberapa ulama menolak perkawinan anak di bawah umur.


Mereka mendasarkan pandangannya pada Surat An-Nisa ayat 6 yang membatasi usia perkawinan sebagai kutipan berikut ini:


المبحث الأول ـ أهلية الزوجين :يرى ابن شبرمة وأبو بكر الأصم وعثمان البتي رحمهم الله أنه لا يزوج الصغير والصغيرة حتى يبلغا، لقوله تعالى: {حتى إذا بلغوا النكاح} [النساء:6/4] فلو جاز التزويج قبل البلوغ، لم يكن لهذا فائدة، ولأنه لا حاجة بهما إلى النكاح. ورأى ابن حزم أنه يجوز تزويج الصغيرة عملاً بالآثار المروية في ذلك. أما تزويج الصغير فباطل حتى يبلغ، وإذا وقع فهو مفسوخ


Artinya: Pembahasan pertama, kriteria calon mempelai. Ibnu Syubrumah, Abu Bakar Al-Asham, dan Ustaman Al-Bitti RA berpendapat anak kecil laki-laki dan perempuan di bawah umur tidak boleh dinikahkan sampai keduanya baligh, berdasarkan “Sampai mereka mencapai usia nikah” (QS An-Nisa: 6). Kalau juga perkawinan dilangsungkan sebelum mereka baligh, maka perkawinan itu pun tidak memberikan manfaat karena keduanya belum berhajat pada perkawinan. Ibnu Hazm berpendapat bolehnya perkawinan anak kecil perempuan di bawah umur dengan dasar sejumlah riwayat hadits perihal ini. Sedangkan akad perkawinan anak kecil laki-laki di bawah umur batal sampai anak itu benar-benar baligh. Kalau perkawinan juga dilangsungkan, maka ia harus difasakh (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H] cetakan kedua, juz VII, halaman 179).


Dari keterangan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa ulama berbeda pendapat perihal masuk atau tidaknya umur sebagai kriteria calon mempelai. Ini yang membedakan persetujuan dan penolakan atas perkawinan anak di bawah umur. 


Namun meskipun jumhur ulama menerima perkawinan anak di bawah umur, hanya saja kita perlu mempertimbangkan terutama masalah kesiapan psikologis dan kematangan akal pikiran calon mempelai sebelum melangkah ke jenjang perkawinan. Kita perlu memperhatikan pendapat Ibnu Syubrumah dan beberapa ulama yang menolak perkawinan di bawah umur karena perkawinan memerlukan kesiapan mental, kedewasaan berpikir, dan juga kematangan fisik untuk menafkahi keluarga, bukan sekadar pertimbangan biologis. 


Kita perlu memperhatikan batas minimal usia calon mempelai mengikuti ketetapan yang dibuat oleh pemerintah. Kalau umur calon mempelai terlalu jauh di bawah umur, perkawinan akan jauh dari tujuan dan dikhawatirkan kandas di tengah jalan di samping mudarat yang lebih besar.
 


Syiar Terbaru