Syiar

Hukum Mendengarkan Puisi dan Syair dalam Islam

Ahad, 27 Oktober 2024 | 10:30 WIB

Hukum Mendengarkan Puisi dan Syair dalam Islam

Ilustrasi syair Islam. (Foto: NU Online)

Puisi dan syair adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan perasaan, gagasan, dan pengalaman penulisnya melalui bahasa yang indah dan penuh makna. Keduanya sering kali memiliki struktur yang teratur, seperti rima dan irama, tetapi memiliki karakteristik dan perbedaan khusus.


Puisi merupakan bentuk karya sastra yang lebih bebas dan beragam. Puisi dapat terdiri dari berbagai jenis, seperti soneta, haiku, balada, hingga puisi bebas. Sedangkan syair merupakan jenis puisi lama yang berasal dari budaya Melayu dan dipengaruhi Arab. 


Syair memiliki aturan yang lebih ketat dalam hal struktur dan rima. Secara sederhana, puisi menawarkan fleksibilitas dalam bentuk dan gaya, sementara syair memiliki aturan khusus yang membuatnya lebih terstruktur. Lalu bagaimana hukumnya orang yang mendengarkan syair dalam agama?


Melihat pertanyaan di atas, mari kita simak hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:


لَأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا يَرِيهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا


Artinya: Lebih baik salah seorang dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah daripada memenuhinya dengan sya’ir (HR Al-Bukhori).


Dalam hadits di atas, kita perlu melihat kapan nabi berkata dan dengan keadaan seperti apa. Tidak bisa hanya dengan menggunakan dalil ini dibuat untuk menghukumi bahwa syair tidak perbolehkan. Sebab dalam pencetusan hukum, diperlukan dalil-dalil lain untuk menghukumi apakah hal ini benar-benar mutlak larangan nabi, atau ada perinciannya.


Ibnu Hajar berpendapat bahwa faktor munculnya celaan yang keras dalam hadits nabi ini dikarenakan pada saat itu, orang yang diajak bicara oleh nabi adalah orang-orang yang hatinya keras dan waktunya dihabiskan hanya untuk bersyair. Sehingga Rasulullah saw bersabda seperti itu agar mereka mau kembali kepada al-Qur’an, berdzikir, dan beribadah kepada Allah. 


Selain dalil yang melarang, Rasulullah juga mengeluarkan dalil yang menyukai syair dan membolehkannya. Redaksi tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim:


حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ، وَابْنُ أَبِي عُمَرَ، كِلَاهُمَا عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، قَالَ: ابْنُ أَبِي عُمَرَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: رَدِفْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا، فَقَالَ: «هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةَ بْنِ أَبِي الصَّلْتِ شَيْءٌ؟» قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «هِيهْ» فَأَنْشَدْتُهُ بَيْتًا، فَقَالَ: «هِيهْ» ثُمَّ أَنْشَدْتُهُ بَيْتًا، فَقَالَ: «هِيهْ» حَتَّى أَنْشَدْتُهُ مِائَةَ بَيْتٍ


Artinya: Diceritakan dari Sufyan, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amru bin asy-Syarid, dari ayahnya, ia berkata: “Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah Saw, kemudian beliau bertanya: “Apakah engkau hafal syair Umayyah bin Abis as-Shalthi?. Aku menjawab: “Ya”. Kemudian berkata: “Lantunkanlah!”. Maka aku melakukan satu bait syair. (Setelah selesai), beliau kemudian berkata: “Teruskanlah!”. Maka aku melantunkan satu bait syair lagi. (Setelah selesai), belaiu berkata hal yang sama: “Teruskanlah!” Hingga aku melantunkan seratus bait syair (HR Muslim: 2255).


Dari redaksi di atas, Imam Nawawi berpendapat sesungguhnya Nabi Muhammad saw menganggap akan kebagusan syair yang dibuat oleh Umayyah sehingga Nabi meminta untuk menambah syair-syair tersebut untuk dinyanyikan. 


Hal ini memandang di dalam syair tersebut mengandung pengakuan terhadap keesaan Allah swt dan hari dibangkitkannya manusia. Hadits ini juga menunjukkan diperbolehkannya untuk menyanyikan dan mendengarkan syair yang tidak mengandung kekejian. Baik syair-syair jahiliyyah, maupun selainnya.
 


Dalam kitab Maui’dhatul Mukminin, Syaikh Jamaluddin meringkas pendapat Imam Ghazali tentang lagu dan syair:


وَالْمَذْمُومُ مِنْهُمَا مَا اشْتَمَلَ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ دُعَاءٍ إِلَيْهِ، كَتَشْبِيبٍ بِمُعَيَّنٍ، وَهِجَاءٍ، وَتَشَبُّهٍ بِالنِّسَاءِ، وَتَهْيِيجٍ لِفَاحِشَةٍ، وَلُحُوقٍ بِأَهْلِ الْخَلَاعَةِ وَالْمُجُونِ، وَصَرْفِ الْوَقْتِ إِلَيْهِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَمَا خَلَا عَنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُبَاحٌ.


Artinya: Yang dianggap tercela dari lagu dan syair yaitu ketika berkenaan dengan perkara yang diharamkan atau menjerumuskan ke dalam perkara tersebut, di antaranya; menjelaskan sifat-sifat baik kepada orang yang ditertentukan, menghina, menyerupai wanita, membangkitkan pekerjaan yang jelek, berkumpul dengan orang yang mengumbar nafsu dan orang yang dianggap gila, waktunya dihabiskan untuk bersyair, dan selainnya. Sedang hal-hal yang disangsikan dari pekerjaan di atas, maka diperbolehkan. 


Dengan demikian, sesungguhnya bersyair atau berpuisi merupakan perkara yang mubah. Akan tetapi jika syairnya mengandung sesuatu yang buruk, jelek dan kesyirikan maka dihukumi haram. Jika mengandung kebaikan maka diperbolehkan. Wallahua’lam