Syiar

Hukum Bersuci dengan Air Limbah yang Diolah Kembali

Kamis, 15 Mei 2025 | 11:11 WIB

Hukum Bersuci dengan Air Limbah yang Diolah Kembali

wudhu dengan air olahan limbah (Foto: NU Online)

Air merupakan komponen yang digunakan untuk bersuci bagi umat Islam, seperti wudhu, mandi dan cebok. Air yang digunakan untuk bersuci dalam Islam harus memenuhi kriteria tertentu agar sah digunakan, yakni suci dan menyucikan. Ini disebut juga "air mutlak", yaitu air yang tetap dalam keadaan asalnya dan belum tercampur dengan zat lain yang mengubah sifatnya.

 

Dan ketika sudah berubah airnya, karena bercampurnya sesuatu yang najis, seperti limbah sampah dan kotoran manusia, maka airnya menjadi najis.

 

Pada dasarnya, air limbah yang tampak kotor atau berubah salah satu dari tiga sifat air disebabkan karena bercampur dengan najis, ulama sepakat bahwa hukum air tersebut menjadi mutanajjis (terkena najis):

 

   أجمع العلماء على أن الماء إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت أحد أوصافه: لونه أو طعمه أو ريحه فهو نجس

 

Artinya: Para ulama sepakat jika ada air tercampur dengan najis kemudian salah satu sifat-sifatnya berubah baik warna, rasa atau pun baunya, air tersebut hukumnya najis (Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syekh Hasan Sulaiman Al-Nuri, Ibânatul Ahkâm, [Al-Bidayah, 2018], juz 1, halaman 21).

 

Akan tetapi, bagaimana jika ada air limbah yang kotor dan najis kembali menjadi bening, apakah bisa digunakan untuk bersuci kembali?.

 

Dalam hal ini, apabila ada air yang najis dan kembali pulih menjadi air netral sehingga bening lagi dan orang-orang tidak bisa membedakan ini air bekas limbah dan yang satunya tidak dari limbah, maka hukum air yang seperti demikian kembali menjadi suci dengan catatan jumlah volume air minimal sebanyak dua kulah (setara dengan 216 liter atau air penuh dalam kubus ukuran rusuk 60 cm). Jika sudah pernah melewati dua kulah dalam satu waktu, setelah itu kembali kurang dari dua kulah, maka hukum air sudah suci menyucikan selamanya.

 

Sebagaimana dalam kitab Tuhfatul Muhtâj, Ibnu Hajar Al-Haitami menerangkan:

 

  ـ (فَإِنْ زَالَ تَغَيُّرُهُ بِنَفْسِهِ) بِأَنْ لَمْ يَنْضَمَّ إلَيْهِ شَيْءٌ كَأَنْ طَالَ مُكْثُهُ (أَوْ بِمَاءٍ) انْضَمَّ إلَيْهِ وَلَوْ مُتَنَجِّسًا، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ وَالْبَاقِي كَثِيرٌ بِأَنْ كَانَ الْإِنَاءُ مُنْخَنِقًا بِهِ فَزَالَ انْخِنَاقُهُ وَدَخَلَهُ الرِّيحُ وَقَصَرَهُ أَوْ بِمُجَاوِرٍ وَقَعَ فِيهِ أَيْ أَوْ بِمُخَالِطٍ تَرَوَّحَ بِهِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ مِمَّا يَأْتِي فِي نَحْوِ زَعْفَرَانٍ لَا طَعْمَ وَلَا رِيحَ (طَهُرَ) لِزَوَالِ سَبَبِ التَّنَجُّسِ

 

Artinya: Jika air yang berubah tersebut kembali netral, bisa jadi karena diam dalam tempo lama, tidak ada benda atau zat yang dimasukkan, atau dengan cara ditambah air yang banyak walaupun dengan air najis, atau juga ada bagian air yang diambil sedangkan sisanya masih banyak seperti air yang ditaruh di wadah tertutup, setelah itu tutupnya dibuka lalu kemasukan angin, atau sebab benda yang jatuh kemudian berdampingan dengan air, atau bisa jadi karena tercampur dengan benda yang bisa menyegarkan seperti minyak za’faran yang tidak mempunyai rasa dan bau, maka hukumnya suci sebab sebab najisnya sudah hilang (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj, [al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Mesir, 1983], juz 1, halaman 85). 

 

Masih dalam pembahasan, menurut Imam Nawawi, yang membuat najis itu perubahan sifatnya. Apabila perubahan sifat sudah hilang, maka kembali menjadi suci.

 

  لِأَنَّ سَبَبَ النَّجَاسَةِ التَّغَيُّرُ، فَإِذَا زَالَ طَهُرَ

 

Artinya: Karena sebabnya najis adalah perubahan (sifat air). Apabila hilang perubahannya, hukumnya kembali suci (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Dârul Fikr], juz I, halaman 132).

 

Pada prinsipnya, menurut Imam Nawawi, air yang berubah sifatnya kemudian kembali netral itu dibagi menjadi lima. Empat di antaranya disepakati oleh ulama, itu pasti suci. Dan yang satu terdapat perbedaan pendapat.  Dalam referensi yang sama dijelaskan:

 

 وَيَطْهُرُ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهَا وَخَامِسٍ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَذَكَرَ زَوَالَهُ بِنَفْسِهِ وَبِمَا يُضَافُ إلَيْهِ أَوْ يَنْبَعُ فِيهِ أَوْ يُؤْخَذُ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ وَالْمُخْتَلَفُ فِيهِ أَنْ يَزُولَ بِالتُّرَابِ فَقَوْلَانِ

 

Artinya: Air bisa menjadi suci dengan empat hal. Yang empat disepakati ulama, sedangkan yang kelima terjadi perbedaan pendapat ulama. Pertama, perubahan air hilang dengan sendirinya. Kedua, sebab dimasuki benda baru. Ketiga, perubahan air hilang karena ada benda yang tumbuh di dalam air tersebut. Misalnya lumut atau ganggang yang kemudian bisa menyerap perubahan air sehingga air menjadi bening kembali. Ketiga, sebab ada hal yang diambil dari air. Contohnya ada air yang berubah warnanya karena kejatuhan bangkai tikus. Bangkainya diambil lalu menjadikan air bening kembali. Seperti ini ulama sepakat air menjadi suci menyucikan. Kelima, air berubah lalu diberi tanah, ini ulama berbeda pendapat. Menurut qaul ashah, air berubah yang diberi tanah sifatnya tidak kembali netral, namun perubahannya tertutup dengan tanah (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, I: 134).

 

Demikian penjelasan tentang air limbah yang bisa suci dengan berubah kembali menjadi bening dan netral. Dilansir dari NU Online bahwa air limbah yang kembali bening dan netral maka hukumnya menjadi suci dan bisa untuk bersuci, wudhu, mandi dan cebok.