Syiar

Dalil Tradisi Kebolehan Menyembelih Hewan Pada 1 Muharram

Ahad, 7 Juli 2024 | 13:04 WIB

Dalil Tradisi Kebolehan Menyembelih Hewan Pada 1 Muharram

Ilustrasi bulan Muharram (Foto: Istimewa)

Ketika memasukin bulan Muharram, dalam bahasa Jawa dikenal dengan bulan Sura/Suro, masyarakat Islam di Indonesia memiliki berbagai tradisi atau budaya yang sangat berkaitan antara Tuhan, manusia dan alam semesta. 


Hubungan ketiga tersebut terjalin dengan mesra dan penuh tata cara. Tuhan sebagai pencipta, alam semesta sebagai makhluk yang di dalamnya menampung manusia, dan manusia sebagai makhluk yang menempati semesta. 


Dalam tradisi lokal, bulan Muharram dianggap sebagai bulan yang sakral dan istimewa, karena memiliki dimensi spiritual. Hal ini sama juga dengan ajaran Islam yang juga memuliakan bulan Muharram (Sura), dianggap sakral (mulia, penting), karena Allah swt sendiri yang menjadikan sebagai bulan yang dimuliakan. 


Salah satunya yakni Allah swt banyak menolong para Nabi dan Rasul-Nya ketika kesusahan, yang kemudian kita kenal dengan istilah mukjizat bagi mereka. Bagi Islam, dimensi spiritual Muharram tergambar dengan dianjurkannya puasa pada tanggal 9 dan 10 oleh Nabi Muhammad saw, karena sebelumnya Nabi melihat orang Yahudi berpuasa pada 10 Muharram, karena mengagungkan Nabi Musa as terbebas dari mara bahaya dan bala (penyakit) bernama Firaun. 


Maka dari itu masyarakat Islam di Indonesia yang sama-sama memiliki kesamaan ajaran, baik dari Islam maupun lokal sepakat menganggap bulan Muharram merupakan bulan yang baik untuk tirakat (puasa), membersihkan jiwa, dan berdoa kepada Allah untuk menolak bala dari segala mara bahaya. 


Salah satu impelentasi masyarakat Islam Indonesia dari upaya untuk menolak bala, yakni dengan menyembelih hewan ternak, seperti kambing, sapi dan kerbau. Daging hewan tersebut kemudian dibagikan (disedekahkan) kepada warga, kemudian dimasak, dijadikan sesaji/sajen/sesajen (hidangan lauk pauk) dan dibawa ke masjid atau tempat tertentu untuk didoakan atau berdoa kepada Allah dengan tujuan menolak bala, serta kemudian diakhiri dengan menyantap bersama hidangan/sajen tersebut.


Dalam ritual tersebut tidak ada praktik yang dianggap musyrik atau menyekutukan Allah swt. Karena isinya berupa sedekah daging sembelihan, makanan disajikan (sajen) dengan pola yang menarik dan indah, didoakan serta berdoa kepada Allah swt dari segala bahaya dan kemudia diakhiri dengan makan bersama, semua yang dibawa. 


Agama Islam sendiri mengajarkan bahwa bersedekah dapat menolak bala. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw dalam Haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:


إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ مِيتَةَ السُّوءِ


Artinya: Sesungguhnya sedekah itu meredamkan kemurkaan Tuhan dan menolak kematian yang buruk (HR Tirmidzi dan ia menyatakannya hasan).


Juga dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani:


إِنَّ صَدَقَةَ الْمُسْلِمِ تَزِيدُ فِي الْعُمُرِ، وَتَمْنَعُ مِيتَةَ السُّوءِ، وَيُذْهِبُ اللَّهُ بِهَا الْكِبْرَ وَالْفَخْرَ


Artinya: Sesungguhnya sedekah seorang muslim akan menambah umur, menolak kematian yang buruk, dan dengannya Allah melenyapkan sifat takabur dan angkuh (HR Thabrani).


Selain dalil Hadits di atas, para ulama juga membenarkan bahwa sedekah itu menolak bala. Misalnya Ibnu Qayyim Al Jauziyah yang menjelaskan keutamaan sedekah:


أَنَّهَا تَقِيَ مَصَارِعَ السُّوْءِ وَتَدْفَعُ البَلاَءَ حَتَّى إِنَّهَا لَتَدْفَعَ عَنِ الظَّالِمِ , قاَلَ إِبْرَاهِيْمُ النَّخَعِي: وَكَانُوْ يَرَوْنَ أَنَّ الصَّدَقَةَ تَدْفَعُ عَنِ الرَّجُلِ الظَّلُوْمِ ,وَتُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ وَتَحْفَظُ المَالَ وَتَجْلِبُ الرِّزْقَ وَتُفْرِحُ القَلْبَ وَتُوْجِبَ الثِّقَّةَ بِاللهِ وَحُسْنَ الظَّنِّ بِهِ


Artinya: Sungguh bersedekah itu mencegah kematian yang jelek, mencegah malapetaka (bala), sampai sedekah itu melindungi dari orang yang zalim. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, Orang-orang dahulu memandang bahwa sedekah akan melindungi dari orang yang suka berbuat zalim. Sedekah juga akan menghapus dosa, menjaga harta, mendatangkan rezeki, membuat gembira hati, serta menyebabkan hati yakin dan berbaik sangka kepada Allah.


Dari bebarapa dalil tersebut, makna bala yang tertolak dengan sedekah tentu saja adalah cobaan buruk atau musibah dan bencana, yakni segala sesuatu yang buruk dan manusia tidak menyukai hal tersebut menimpanya. Baik itu terjadi pada dirinya, hartanya, keluarganya, masyarakatnya, maupun keselamat dan keamanan desanya dan kampungnya.


Sedangkan dalil secara khusus yang menyebutkan bahwa menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt serta meminta kepada-Nya dari bala, terdapat dalam kitab Fathul Mu’in, karangan Syekh Zainuddin Al-Malibari. Beliau mengatakan:


 من ذبح تقربا لله تعالى لدفع شر الجن عنه لم يحرم، أو بقصدهم حرم 


Artinya: Siapa saja yang memotong (hewan) karena taqarrub kepada Allah dengan maksud menolak gangguan jin, maka dagingnya halal dimakan. Tetapi kalau jin-jin itu yang ditaqarrubkan, maka daging sembelihannya haram. 


Perihal keterangan di atas, Syekh Sayyid Bakri bin Sayyid M Syatho Dimyathi dalam I‘anatut Tholibin menerangkan:


من ذبح ( أي شيأ من الإبل أو البقر أو الغنم ) تقربا لله تعالى ( أي بقصد التقرب والعبادة لله تعالى وحده ) لدفع شر الجن عنه ( علة الذبح أي الذبح تقربا لأجل أن الله سبحانه وتعالى يكفي الذابح شر الجن عنه ) لم يحرم ( أي ذبحه، وصارت ذبيحته مذكاة، لأن ذبحه لله لا لغيره ) أو بقصدهم حرم ( أي أو ذبح بقصد الجن لا تقربا إلى الله، حرم ذبحه، وصارت ذبيحته ميتة. بل إن قصد التقرب والعبادة للجن كفرـ كما مر فيما يذبح عند لقاء السلطان أو زيارة نحو ولي ـ. 


Artinya: Siapa saja yang memotong [hewan]) seperti unta, sapi, atau kambing (karena taqarrub kepada Allah) yang diniatkan taqarrub dan ibadah kepada-Nya semata (dengan maksud menolak gangguan jin) sebagai dasar tindakan pemotongan hewan. Taqarrub dengan yakin bahwa Allah dapat melindungi pemotongnya dari gangguan jin, (maka daging) hewan sembelihan-(nya halal dimakan) hewan sembelihannya menjadi hewan qurban karena ditujukan kepada Allah, bukan selain-Nya. 


(Tetapi kalau jin-jin itu) bukan Allah (yang ditaqarrubkan, maka daging sembelihannya haram) karena tergolong daging bangkai. Bahkan, jika seseorang berniat taqarrub dan mengabdi pada jin, maka tindakannya terbilang kufur. Persis seperti yang sudah dibahas perihal penyembelihan hewan ketika berjumpa dengan penguasa atau berziarah menuju makam wali. 


Kesimpulannya, segala sesuatu bentuk ritual, tradisi atau cara berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah swt bisa diukur dari niat pelakunya. Sementara hanya Allah lah yang mengetahui niat-niat hamba-Nya. Perihal dicampuri dengan upacara-upacara atau tempat khusus yang menyertai ritual tersebut tidak bermasalah, selagi tidak mengandung kemusyrikan (menyekutukan Allah) dan maksiat seperti minum khamar, perzinaan, pembunuhan, dan sebagainya. 

(Yudi Prayoga)