Syiar

Bolehkah Menggabung Puasa Sunnah Dzulhijjah dengan Qadha Puasa Ramadhan?

Senin, 10 Juni 2024 | 08:30 WIB

Bolehkah Menggabung Puasa Sunnah Dzulhijjah dengan Qadha Puasa Ramadhan?

Ilustrasi bulan dzulhijjah (Foto: NU Online)

Pada bulan Dzulhijjah umat Islam dianjurkan berpuasa pada sembilan hari pertama. Banyak keutamaan yang dapat kita raih, mulai dari dilipatgandakan pahala, penghapusan dosa, dan pembebasan dari siksa neraka.


Puasa pada hari kedelapan Dzulhijah disebut puasa Tarwiyah, sedangkan pada hari kesembilan Dzulhijjah disebut puasa Arafah. 


Lalu bagaimana bagi orang-orang yang masih mempunyai utang puasa Ramadhan, dan belum sempat mengqadhanya? Utang puasa bisa disebabkan karena sakit, sakit, hadis, nifas, atau sedang dalam perjalanan. Dalam kondisi masih memiliki utang puasa itu, bolehkah berpuasa membayar utang dengan juga berpuasa Dzulhijjah?


Dilansir dari NU Online, Sayyid Bakri menyatakan, orang yang berpuasa pada hari-hari tertentu yang sangat dianjurkan untuk berpuasa, akan mendapatkan keutamaan sebagai mereka yang berpuasa sunnah pada hari tersebut, meskipun niatnya adalah qadha puasa atau puasa nazar.


وفي الكردي ما نصه في الأسنى ونحوه الخطيب الشربيني والجمال و الرملي الصوم في الأيام المتأكد صومها منصرف إليها بل لو نوى به غيرها حصلت إلخ زاد في الإيعاب ومن ثم أفتى البارزي بأنه لو صام فيه قضاء أو نحوه حصلا نواه معه أو لا 


Artinya: Di dalam Al-Kurdi terdapat nash yang tertulis pada Asnal Mathalib dan sejenisnya yaitu Al-Khatib As-Syarbini, Syekh Sulaiman Al-Jamal, Syekh Ar-Ramli bahwa puasa sunnah pada hari-hari yang sangat dianjurkan untuk puasa memang dimaksudkan untuk hari-hari tersebut. Tetapi orang yang berpuasa dengan niat lain pada hari-hari tersebut, maka dapatlah baginya keutamaan … Ia menambahkan dalam Kitab Al-I‘ab. Dari sana, Al-Barizi berfatwa bahwa seandainya seseorang berpuasa pada hari tersebut dengan niat qadha atau sejenisnya, maka dapatlah keduanya, baik ia meniatkan keduanya atau tidak (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I‘anatut Thalibin, [Kota Baharu-Penang-Singapura, Sulaiman Mar‘i: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 224). 


Bagi yang memiliki utang puasa Ramadhan, lalu ingin mengqadha utang puasanya pada hari Arafah, atau puasa Dzulhijjah, maka hal serupa disampaikan oleh Syekh Zakariya Al-Anshari berikut ini: 


(قَوْلُهُ وَصَوْمُ عَاشُورَاءَ) أَفْتَى الْبَارِزِيُّ بِأَنَّ مَنْ صَامَ عَاشُورَاءَ مَثَلًا عَنْ قَضَاءٍ أَوْ نَذْرٍ حَصَلَ لَهُ ثَوَابُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَوَافَقَهُ الْأَصْفُونِيُّ وَالْفَقِيهُ عَبْدُ اللَّهِ النَّاشِرِيُّ وَالْفَقِيهُ عَلِيُّ بْنُ إبْرَاهِيمَ بْنِ صَالِحٍ الْحَضْرَمِيُّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ (قَوْلُهُ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ اُحْتُسِبَ عَلَى اللَّهِ إلَخْ) الْحِكْمَةُ فِي كَوْنِ صَوْمِ عَرَفَةَ بِسَنَتَيْنِ وَعَاشُورَاءَ بِسَنَةٍ أَنَّ عَرَفَةَ يَوْمٌ مُحَمَّدِيٌّ يَعْنِي أَنَّ صَوْمَهُ مُخْتَصٌّ بِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَاشُورَاءَ يَوْمٌ مُوسَوِيٌّ 


Artinya: (Puasa Asyura). Al-Barizi berfatwa orang yang berpuasa pada hari Asyura misalnya untuk qadha atau nazar puasa, maka ia juga mendapat pahala puasa sunnah hari Asyura. Pandangan ini disepakati oleh Al-Ushfuwani, Al-Faqih Abdullah An-Nasyiri, Al-Faqih Ali bin Ibrahim bin Shalih Al-Hadhrami. Ini pandangan yang muktamad. (Puasa hari Asyura dihitung oleh Allah). Hikmah di balik ganjaran penghapusan dosa dua tahun untuk puasa sunnah Arafah dan penghapusan dosa setahun untuk puasa Asyura adalah karena Arafah adalah harinya umat Nabi Muhammad saw, yakni puasa sunnah Arafah bersifat khusus untuk umat Nabi Muhammad saw. Sementara Asyura adalah harinya umat Nabi Musa as (Syekh Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, juz V, halaman 388). 


Dari penjelasan di atas, maka bagi yang masih memiliki utang puasa Ramadhan baiknya mengqadha utang puasanya terlebih dahulu. Setelah itu mereka baru boleh mengamalkan puasa sunnah di bulan Dzulhijjah. Tetapi kalau utang puasa Ramadhan itu baru teringat pada bulan Dzulhijjah, maka ia dapat membayar utang puasa dan juga mendapat keutamaan dari puasa sunnahnya.


Akan halnya keutamaan puasa di bulan Dzulhijjah, sebagai hadits Rasulullah:


مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هٰذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِيْ أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُو لَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ


Artinya: Tidak ada hari di mana amal shalih padanya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yakni 10 hari pertama Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: “Tidak juga dari jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah juga tidak, kecuali seseorang yang keluar dengan diri dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan satu pun dari keduanya.”