Yudi Prayoga
Penulis
Di Negara Indonesia, umumnya ketika mengadakan suatu acara seperti hajatan, banyak yang menutup sebagian jalan umum, terutama di perkotaan dan perumahan yang padat.
Bahkan di beberapa daerah sampai menutup seluruh jalan. Sehingga pengguna jalan banyak yang antri untuk melewati, atau malah harus putar balik mencari jalan alternatif lain.
Lalu, bagaimana hukum dalam Islam terkait permasalahan tersebut?
Dalam beberapa literatur fiqih disebutkan bahwa jalan umum tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi. Akan tetapi tetap diperbolehkan dengan beberapa syarat.
Dalam Hasyiyah Jamal ‘Ala Syarhi Minhaj, Syekh Sulaiman bin Umar bin Mansur al-‘Ujaili al-Azhari, yang populer dengan nama Jamal menyebutkan persyaratan sebagai berikut:
نعم يغتفر ضرر يحتمل عادة كعجن طين إذا بقي مقدار المرور للناس وإلقاء الحجارة فيه للعمارة إذا تركت بقدر مدة نقلها وربط الدواب فيه بقدر حاجة النزول والركوب
Artinya: Namun, dimaafkan beberapa kemudharatan yang dianggap lumrah oleh masyarakat, seperti penggalian tanah yang berdekatan dengan jalan umum atau meletakkan batu pembangunan, selama masih menyisakan sebagian jalan untuk dilalui orang lain. Begitu juga dengan memarkir kendaraan di pinggir jalan untuk sekedar menaikan dan menurunkan penumpang (Syekh Sulaiman al-‘Ujaili al-Azhari, Hasyiyah Jamal ‘Ala Syarhi Minhaj).
Senada dengan di atas, dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaituyah juga memberikan kelonggaran dengan memperbolehkan penggunaan jalan umum, selama tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat:
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْمَرَافِقَ الْعَامَّةَ مِنَ الشَّوَارِعِ وَالطُّرُقِ– اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ هَذِهِ الأْشْيَاءَ مِنَ الْمَنَافِعِ الْمُشْتَرَكَةِ بَيْنَ النَّاسِ، فَهُمْ فِيهَا سَوَاسِيَةٌ، فَيَجُوزُ الاِنْتِفَاعُ بِهَا لِلْمُرُورِ وَالاِسْتِرَاحَةِ وَالْجُلُوسِ وَالْمُعَامَلَةِ وَالْقِرَاءَةِ وَالدِّرَاسَةِ وَالشُّرْبِ وَالسِّقَايَةِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهِ الاِنْتِفَاعِ. –. وَيُشْتَرَطُ عَدَمُ الإْضْرَارِ، فَإِذَا تَضَرَّرَ بِهِ النَّاسُ لَمْ يَجُزْ ذَلِكَ بِأَيِّ حَالٍ
Artinya: Para ahli fikih sepakat bahwa fasilitas umum seperti jalan raya, jalan umum, dan lain-lain… adalah fasilitas yang bisa dimanfaatkan bersama. Semua masyarakat memiliki hak sama. Sehingga mereka boleh memanfaatkannya untuk berjalan, istirahat, duduk, muamalah, membaca, belajar, minum, menyirami, dan pemanfaatan-pemanfaatan lain, dan disyaratkan tidak menimbulkan dampak bahaya. Sehingga apabila membahayakan masyarakat lain, tidak diperbolehkan baginya memanfaatkan dengan cara apapun (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaituyah, halaman 361).
Demikianlah penjelasan mengenai hukum menutup jalan umum untuk hajatan. Jika melihat beberapa referensi di atas, maka ulama memberikan kelonggaran dengan memperbolehkannya, akan tetapi dengan beberapa syarat, salah satunya tidak membahayakan masyarakat.
Terpopuler
1
Yuk Infak dan Menjadi Bagian Pengadaan Ambulans Ke-7 NU Peduli Pringsewu 2025
2
PW GP Ansor Lampung Lantik LP3H, Komitmen Kuat Dampingi Sertifikasi Halal UMKM
3
4 Doa yang Dianjurkan ketika Pulang Haji
4
KBNU Sidomulyo Gelar Donor Darah, Perkuat Kepedulian Sosial di Lampung Selatan
5
3 Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Membangun Masjid
6
LAZISNU PWNU Lampung Gandeng BSI, Perkuat Ekonomi Umat Melalui BSI Smart Agent dan Kartu ATM Co-Branding
Terkini
Lihat Semua