PBNU Dorong Grand Strategy Penanggulangan Kekerasan di Pesantren
Sabtu, 8 Februari 2025 | 10:13 WIB

Forum sidang komisi rekomendasi Konbes NU di Hotel Sultan Jakarta, Kamis (6/2/2025). (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online Lampung
Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) 2025 yang digelar di Hotel Sultan Jakarta pada Rabu-Kamis (5-6/2/2025) merumuskan sejumlah rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah.
Salah satu hasil dari Komisi Rekomendasi Konbes NU 2025 yakni Pemerintah perlu merumuskan strategi besar (grand strategy) penanggulangan kekerasan di lembaga pendidikan termasuk pesantren yang lebih efektif, efisien, dan segera.
Pemimpin Sidang Komisi Rekomendasi, Rumadi Ahmad mengatakan, mengorkestrasi grand strategy tersebut dengan meningkatkan partisipasi serta kemitraan dengan lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat sipil.
“NU juga meminta aparat penegak hukum harus bertindak cepat, adil, dan objektif dalam memproses setiap kasus kekerasan di lembaga pendidikan termasuk pesantren,” ujarnya.
PBNU mendorong dibentuknya Satgas Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan untuk melengkapi Satgas Penanggulangan Kekerasan di Pesantren. PBNU juga perlu memfasilitasi dan mengakselerasi implementasi Peta Jalan Penanggulangan Kekerasan di Pesantren.
Sementara itu, lanjut Ketua PBNU ini, Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) diharapkan menjadi leading sector dalam agenda akselerasi transformasi pesantren.
Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
Rumadi mengungkapkan beberapa waktu belakangan masyarakat menghadapi realita meningkatnya kasus kekerasan di lembaga pendidikan termasuk pesantren.
Data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan tentang jumlah laporan atas kasus kekerasan di Lembaga Pendidikan (2022) mencatat angka kekerasan seksual di pesantren berada pada peringkat kedua tertinggi setelah kasus yang terjadi di Perguruan Tinggi.
Selain itu, Studi Content Analysis terhadap pemberitaan media menunjukkan angka kasus kekerasan di pesantren satu tahun terakhir tercatat lebih dari 90 kasus dengan 72% di antaranya merupakan kekerasan seksual (Data Saka Pesantren PBNU).
“Resonansi kasus kekerasan di lembaga pendidikan termasuk di pesantren menjadi berlipat ganda karena kekuatan media sosial. Masyarakat juga semakin melek aturan namun pada saat yang sama juga makin reaktif dan tidak sabar terhadap terhadap isu sensitif seperti kekerasan di lembaga pendidikan,” ujarnya.
Rumadi mengatakan, banyak diberitakan kasus main hakim sendiri terhadap pelaku atau lembaga pendidikan yang diasuh pelaku. Walhasil dampak kasus kekerasan meluas bukan hanya pada korban namun juga pada muruah lembaga pendidikan, wabil khusus lembaga pendididkan keagamaan seperti pasantren.
“Berbagai upaya yang telah dikembangkan oleh negara namun belum membuahkan hasil perubahan yang signifikan. Misalnya kebijakan memberantas 3 Dosa Besar Pendidikan dari Kementerian Pendidikan, kebijakan Pesantren Ramah Anak dari KPPPA dan Kemenag, serta regulasi lainnya. Dibutuhkan upaya yang lebih efektif, efisien dan segera untuk mengatasi persoalan ini,” ungkapnya.
NU secara khusus memiliki komitmen untuk menanggulangi kekerasan di lembaga lembaga pendidikan di bawah Muslimat NU, LP Maarif NU, dan Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU), serta di pesantren yang bernaung di bawah RMI.
“Penanggulangan ini memerlukan pendekatan multi-pihak, karena NU tidak dapat bekerja sendirian. Sebagai langkah awal, PBNU telah mengambil sejumlah inisiatif, antara lain menunjuk Tim Lima, menyelenggarakan Halaqah Syuriyah PBNU bersama para kiai, membentuk Satuan Tugas Penanggulangan Kekerasan di Pesantren (SAKA Pesantren),” katanya.
Kemudian juga menyusun Peta Jalan Transformasi Budaya Pesantren Nir-Kekerasan untuk penanggulangan kekerasan di lembaga-lembaga pendidikan dan pesantren di bawah naungannya. Namun secara mutlak dibutuhkan pendekatan multi pihak yang sistematis.