Penjelasan Rabu Wekasan Bukan Hari Sial, Semua Hari adalah Netral
Rabu, 20 Agustus 2025 | 11:26 WIB
Saat ini kita sudah menjelang akhir bulan Safar 1447 H, dan pada hari ini adalah Rabu terakhir di bulan Safar. Di masyarakat kita, Rabu terakhir di bulan Safar dikenal dengan nama Rabu Wekasan, Rebo Wekasan, atau Rabu Pungkasan.
Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, menganggap bulan Safar adalah bulan sial. Anggapan itu masih berlangsung hingga saat ini, di kalangan umat Muslim.
Pada hari Rabu terakhir di bulan Safar diyakini menjadi hari turunnya bala bencana di bumi. Hal tersebut disampaikan Abdul Hamid Quds dalam Kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur bahwa para wali mengatakan Allah swt menurunkan 320 ribu bala bencana di bumi pada hari Rabu Wekasan tersebut.
Indikasi kesialan juga terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Sebagaimana firman Allah swt menyatakan:
’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang” (QS al-Qamar (54:18-20).
Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir) tepat pada hari Rabu terakhir bulan Safar.
Dilansir dari NU Online penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Safar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus.
Istilah hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).”
Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari berikut ini: Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).
Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.
Sebab semua keadaan, sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah.
Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah.
Semua hari, bulan, tahun, waktu, itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan takdir Allah.
Mengenai akan turunnya musibah pada hari Rabu Wekasan, KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, menegaskan, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian).
Alasannya, pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Safar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’. Ada anjuran dari sebagian ulama tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas shalat hajat lidaf’il bala’ al-makhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (shalat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah swt.