Opini

Pesantren di Lampung: Antara Tradisi dan Tantangan Zaman

Rabu, 19 Februari 2025 | 10:18 WIB

Pesantren di Lampung: Antara Tradisi dan Tantangan Zaman

santri milenial

Jika Anda ingin melihat bagaimana agama, budaya, dan modernitas berkelindan dalam satu wadah yang ajaib, datanglah ke pesantren di Lampung. Di sini, kitab kuning bertemu dengan teknologi digital, sarung bersanding dengan celana jeans, dan santri menghafal Alfiyah Ibnu Malik sambil sesekali mengecek notifikasi WhatsApp.

 

Lampung, sebagai tanah persinggahan di ujung Sumatera, telah lama menjadi rumah bagi para ulama dan santri. Sejak masa Kesultanan Banten masih berkuasa, pesantren telah tumbuh di tanah ini, menjelma sebagai mercusuar ilmu dan adab. Bahkan, beberapa pesantren di Lampung masih menyimpan manuskrip kuno yang menjadi bukti ketahanan intelektual Islam di Nusantara. Namun, pertanyaannya, bagaimana pesantren di Lampung hari ini menghadapi gempuran zaman?

 

Pesantren: Dari Zaman ke Zaman

 

Mari kita tengok sejenak ke belakang. Di Lampung, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi juga pusat kebudayaan dan perlawanan. Sejak masa kolonial, para kiai pesantren menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan identitas keislaman dan keindonesiaan. Mereka bukan hanya mengajarkan tafsir dan hadis, tetapi juga diam-diam menyebarkan semangat anti-kolonialisme.

 

Sebutlah nama-nama seperti KH Ahmad Hanafiah yang gigih melawan Belanda dengan jihad intelektual dan spiritual. Atau KH Abdul Muhaimin dari Pesantren Darussalamah yang tak hanya membangun pendidikan Islam, tapi juga membentuk kader-kader pemimpin umat. Pesantren di Lampung bukan hanya melahirkan para ahli fikih, tapi juga aktivis, budayawan, bahkan politisi.

 

Namun, zaman terus berubah. Jika dahulu tantangan pesantren adalah kolonialisme dan keterbatasan akses pendidikan, kini tantangannya lebih kompleks. Ada globalisasi yang membawa ide-ide baru, ada disrupsi digital yang mengubah pola pikir santri, dan ada arus pragmatisme yang membuat sebagian orang bertanya: “Apakah pesantren masih relevan?”

 

Pesantren dan Tantangan Digital

 

Hari ini, santri tidak lagi hanya membawa kitab kuning dan pena bulu ayam. Mereka juga membawa smartphone dengan aplikasi TikTok, Instagram, dan YouTube. Jika dulu santri bangun dini hari untuk mengaji, sekarang ada yang begadang untuk scrolling media sosial. Kitab-kitab klasik yang dulu begitu sakral kini bersaing dengan konten viral.

 

Tapi jangan salah, justru di sinilah keunikan pesantren Lampung. Banyak kiai dan ustadz mulai sadar bahwa digitalisasi bukan musuh, melainkan alat dakwah baru. Lihat saja bagaimana beberapa pesantren mulai aktif di media sosial. Ada pesantren yang membuat kanal YouTube khusus kajian kitab kuning, ada yang mengembangkan aplikasi untuk mengaji online, bahkan ada santri yang menjadi influencer dakwah di TikTok.

 

Namun, tantangan tetap ada. Salah satu persoalan utama adalah bagaimana menjaga esensi pendidikan pesantren agar tidak tergerus oleh budaya instan. Pesantren sejak dulu terkenal dengan sistem pendidikan yang menekankan kesabaran, kedalaman ilmu, dan penghayatan spiritual. Sementara dunia digital cenderung serba cepat, dangkal, dan instan.

 

Dilema Pesantren: Modernisasi atau Tradisi?

 

Ada perdebatan menarik di kalangan pengasuh pesantren di Lampung. Sebagian berpendapat bahwa pesantren harus tetap mempertahankan tradisi aslinya: kitab kuning, metode sorogan dan bandongan, serta pendidikan berbasis adab. Tapi sebagian lain berpendapat bahwa pesantren harus beradaptasi dengan zaman, termasuk dengan memasukkan kurikulum modern seperti teknologi, bisnis, dan bahasa asing.

 

Di tengah perdebatan ini, beberapa pesantren memilih jalan tengah. Mereka tetap mempertahankan tradisi keilmuan Islam yang kuat, tapi juga mulai membuka diri terhadap modernitas. Beberapa pesantren kini memiliki laboratorium komputer, mengajarkan entrepreneurship, bahkan membekali santri dengan keterampilan jurnalistik dan media digital.

 

Satu contoh menarik adalah Pesantren Al-Muttaqien di Lampung Selatan. Selain mengajarkan kitab kuning, mereka juga memiliki program santri penghafal Al-Qur’an yang belajar digital marketing. Hasilnya? Banyak alumni mereka yang tidak hanya menjadi ustaz, tapi juga wirausahawan sukses.

 

Namun, tantangan terbesar tetaplah menjaga ruh pesantren. Jangan sampai modernisasi justru menghilangkan esensi pendidikan pesantren: membentuk manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga berakhlak mulia.

 

Harapan untuk Pesantren Lampung

 

Pesantren di Lampung masih punya potensi besar untuk berkembang. Ada beberapa hal yang bisa menjadi kunci agar pesantren tetap relevan di era modern:

 

1. Memperkuat literasi digital santri

Jika santri di masa lalu menguasai ilmu falak dan balaghah, santri masa kini harus menguasai literasi digital. Ini bukan berarti menggantikan kitab kuning dengan gadget, tapi mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi untuk kebaikan.

 

2. Menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas

Pesantren harus tetap menjadi pusat pendidikan Islam yang kokoh, tapi juga tidak boleh alergi terhadap perubahan. Ilmu agama dan ilmu dunia harus berjalan seiring.

 

3. Memperkuat peran ekonomi pesantren

Banyak pesantren di Lampung sudah mulai mengembangkan usaha, dari pertanian, perikanan, hingga bisnis online. Ini langkah yang baik agar pesantren tidak hanya bergantung pada donasi, tapi juga bisa mandiri secara ekonomi.

 

4. Menjadi pusat moderasi Islam

Di tengah maraknya paham ekstremisme dan sekularisme, pesantren harus menjadi penjaga keseimbangan. Islam yang rahmatan lil ‘alamin harus terus dikembangkan di pesantren.

 

Lampung, dengan segala kekayaan budayanya, punya pesantren yang unik dan potensial. Mereka bukan sekadar tempat belajar agama, tapi juga laboratorium sosial yang menghasilkan pemimpin masa depan. Dengan menjaga tradisi sambil beradaptasi dengan zaman, pesantren di Lampung bisa terus menjadi cahaya bagi umat.

 

Dan seperti kata pepatah pesantren, man jadda wa jada—siapa yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil. Maka, mari kita bersungguh-sungguh menjaga pesantren, agar tetap menjadi benteng ilmu dan moral bagi bangsa.

 

Wahyu Iryana, Santri Babakan Ciwaringin Cirebon 2003