Literasi

UKBI dan Tanggung Jawab Kebangsaan dalam Berbahasa

Kamis, 12 Juni 2025 | 11:50 WIB

UKBI dan Tanggung Jawab Kebangsaan dalam Berbahasa

UKBI dan Tanggung Jawab Kebangsaan dalam Berbahasa (Foto: Istimewa)

Bahasa adalah anugerah Allah yang menjadi sarana manusia untuk saling memahami, mengajarkan kebaikan, dan menyebarkan ilmu. Kitab suci Al-Qur’an sendiri diturunkan dalam bahasa Arab, agar mudah dimengerti oleh manusia pertama kali menerima ajaran Al-Qur'an, sebagai bentuk kasih sayang dan petunjuk yang nyata.

 

Dalam konteks di Indonesia, bahasa nasional Indonesia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga amanah sejarah. Ia menjadi perekat dari beragam suku, budaya, dan bahasa daerah yang hidup dalam satu kesatuan bangsa. Maka, menjaga mutu dan martabat bahasa Indonesia adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai warga negara dan umat beriman.

 

Salah satu ikhtiar konkret yang dilakukan pemerintah untuk menjaga kualitas bahasa Indonesia adalah melalui Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). UKBI merupakan instrumen resmi yang disusun oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. UKBI menguji lima keterampilan berbahasa: mendengarkan, merespons kaidah, membaca, menulis, dan berbicara. Sayangnya, belum banyak masyarakat yang menyadari pentingnya UKBI sebagai bagian dari penguatan identitas dan kompetensi kebangsaan.

 

Penelitian yang penulis lakukan di Kota Bandar Lampung pada Juni 2025, menunjukkan bahwa 66,7 persen dari 90 responden belum mengetahui keberadaan UKBI. Namun menariknya, setelah diberikan informasi dan penjelasan, 80,7 persen dari mereka menyatakan berminat untuk mengikutinya. Ini membuktikan bahwa minat masyarakat sebenarnya cukup besar. Hanya saja, belum dijembatani dengan edukasi dan sosialisasi yang memadai. Karena sesungguhnya, UKBI dapat menjadi sarana evaluasi diri, sekaligus penguat jati diri bangsa melalui kemampuan berbahasa yang baik, benar, dan santun.

 

Untuk pelajar, mahasiswa, aparatur sipil negara (ASN), maupun profesional muda, UKBI bisa menjadi bukti profesionalitas dan indikator kualitas komunikasi. Sedangkan bagi masyarakat umum, UKBI adalah alat ukur dan pengingat bahwa bahasa Indonesia adalah milik bersama yang perlu dipelajari dan dijaga dengan serius. Namun, sebagian masyarakat merasa belum membutuhkannya, baik karena alasan waktu, kesibukan, atau belum melihat urgensinya. Inilah tantangan dakwah kebahasaan kita hari ini: membumikan pentingnya kecakapan berbahasa sebagai bagian dari adab dan intelektualitas.

 

Sebagai warga Nahdliyin, kita meyakini bahwa merawat bahasa adalah bagian dari menjaga khazanah kebudayaan. Bahasa bukan sekadar alat bicara, tetapi juga sarana penyambung ilmu, nilai, dan tradisi. Dalam Islam, berbicara baik adalah cerminan akhlak yang mulia. Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” Maka, membiasakan diri menggunakan bahasa yang tertata dan sopan adalah bentuk pengamalan dari akhlak Islami.

 

UKBI bukanlah ujian yang menakutkan. Justru sebaliknya, ia adalah ruang refleksi dan motivasi. Tes ini bukan hanya untuk mengejar sertifikat, tetapi untuk mengetahui di mana letak kekuatan dan kelemahan kita dalam berbahasa. Dengan begitu, kita bisa memperbaiki, memperkuat, dan meningkatkan kualitas komunikasi—baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun profesional. Bahkan, ini menjadi investasi kebahasaan yang relevan dalam jangka panjang.

 

Ke depan, sudah sepatutnya pesantren, madrasah, majelis taklim, dan lembaga pendidikan berbasis keagamaan juga ikut mendorong kesadaran kebahasaan. Literasi bahasa tidak hanya dibangun lewat pelajaran formal, tetapi juga lewat praktik dakwah, khutbah, ceramah, bahkan konten dakwah digital. Bahasa Indonesia yang baik dan benar akan membuat pesan-pesan Islam tersampaikan lebih efektif dan menyentuh hati masyarakat lintas daerah dan usia.

 

Tidak cukup hanya mengenal UKBI. Kita perlu mendorong generasi muda untuk mengikutinya. Peran guru, dai, ustazah, dan aktivis pesantren sangat strategis dalam menanamkan pentingnya komunikasi yang beradab dan berilmu. Kita tidak ingin bahasa Indonesia hanya menjadi bahasa pengantar, tanpa rasa bangga dan tanggung jawab terhadapnya. Sebab, mencintai bahasa adalah bagian dari mencintai peradaban. Dan peradaban yang agung selalu dimulai dari kata-kata yang benar dan bermakna.

 

Mari, jadikan UKBI sebagai salah satu jalan untuk menumbuhkan kesadaran linguistik, memperkuat identitas nasional, dan menghidupkan semangat cinta tanah air melalui bahasa persatuan kita. Karena mencintai bahasa Indonesia adalah mencintai warisan, merawat bangsa, dan membangun peradaban yang berakar pada nilai, budaya, dan akhlak bangsa sendiri. Dan semua itu dimulai dari satu hal yang sederhana, namun bermakna: kemampuan berbahasa yang terjaga dan dihargai.

 

(Nahdliya Izzatul Mutammimah)