Warta

Santri, Santri Lagi, Santri Terus!

Ahad, 23 Oktober 2016 | 11:59 WIB

Oleh: Muslihudin (Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Raden Intan Lampung) Ā  Kakekku santri, Bapakku seorang santri, Kakakku santri, dan aku juga santri. Bangganya aku hidup dalam keluarga santri, meskipun belum semuanya mengamalkan ajaran agama secara menyeluruh (kaffah), tapi paling tidak kami terus berusaha menuntut ilmu, menjadi lebih baik dan tentunya menjauhi maksiat. Rasa bangga menjadi santri karena setidaknya dari situlah saya memulai kehidupan baru. Kehidupan yang pada akhirnya membuat saya tumbuh berbeda dengan kebanyakan orang lainnya, mulai dari pendidikan, pergaulan, sifat dan tentunya cara pandang dalam menjalani kehidupan. Sebab banyak hal yang saya pelajari saat menjadi santri. Tentang kebersamaan, kesederhanaan, ketawadhu’an, tentang agama, skil dan belakangan juga tentang tehnologi. Ā  Pengembangan Pendidikan Pesantren Sebagai santri dan mahasiswa yang setiap saat bergelut dengan buku, kitab, maupun diskusi-diskusi, saya mengamati perkembangan zaman maupun peradaban-peradaban dunia. Peradaban Islam Indonesia saat ini tepat berada di tengah medan percaturan semua peradaban besar yang sedang bersaing, di antaranya peradaran Barat, Amerika dan Tiongkok (Cina). Dapat terlihat bahwa peradaban Islam Indonesia terhitung lemah dalam hal kekuatan ekonomi dan politik dibandingkan dengan peradaban-peradaban lain. Islam sebagai sebuah peradaban dunia tidak bisa dilepaskan dari mayoritas penduduknya yang berada di Indonesia. Dari total penduduk Muslim tanah air, terdapat separuh penduduk Muslim dalam kesehariannya mengikuti dan bertumpu pada bimbingan kiai, ustaz, ulama, ataupun guru yang mayoritas adalah lulusan pondok pesantren. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa peradaban Islam Indonesia adalah peradaban pesantren. Diakui atau tidak, pesantren adalah sebuah institusi pendidikan asli Indonesia yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri. Pesantren bukanlah institusi pendidikan yang ditiru dari negara-negara lain layaknya pendidikan formal yang menjadi warisan Belanda di negeri ini. Posisi Indonesia yang lemah dalam percaturan peradaban dunia saat ini salah satunya disebabkan karena kelemahan dimensi akademik dalam tradisi pesantren sebagai kekuatan utama penyangga kesatuan bangsa. Sebagai contoh kecil adalah banyak sekali dijumpai akademisi pesantren baik santri, kiai, ustaz yang mahir dalam bidang syariah, ekonomi maupun ilmu lainnya yang didasarkan pada kitab-kitab fikih klasik. Namun mereka mengalami kesulitan ketika mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari karena tidak bisa melakukan pembaruan. Problematika semacam ini terjadi karena tradisi akademik pesantren masih belum mapan lantaran masih adanya upaya pemisahan atau dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Padahal sejatinya semua ilmu di bumi ini adalah ilmu Allah. Pesantren menjadi kawah candradimuka yang bagus dan ideal, namun tidak membumi dan mampu bergerak dalam rangka menjawab tantangan zamannya. Sehingga, sudah saatnya pesantren membumi dan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan atau kurikulum pesantren harus terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman tanpa mengurangi substansi Al-Qur'an dan Sunnah. Pesantren sudah tidak saatnya lagi menjadi qari’ al-tarikh (pembaca sejarah) kegemilangan ulama klasik tapi harus mampu menjadi shani’al-tarikh (pencetak sejarah) itu sendiri. Santri tidak boleh hanya bangga dengan simbol seperti peci, sarung, jenggot dan lainnya. Bukan saatnya santri sekedar melakukan ritual tanpa makna. Pengamalan ajaran agama harus juga tercermin dalam aktivitas sehari-hari. Ā  Santri dan Agent Of Change Perkembangan zaman dan teknologi saat ini sudah sangat luar biasa dan kompleks. Selain berdampak positif, ini juga berdampak negatif. Degradasi moral para remaja dan pemuda berkecambah di mana-mana, korupsi, hingga memudarnya solidaritas sosial terjadi di masyarakat, hingga ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akibat paham radikal dan komunisme yang mencoba mulai memperlihatkan diri. Kenyataan ini menuntut setiap elemen bangsa untuk ikut serta terlibat menyelesaikannya, termasuk santri dan institusi pondok pesantren. Sebab pembiaran hal itu akan mengantarkan Indonesia lambat atau cepat pada akhir sejarahnya. Berbicara tentang penyelesaian persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia secara umum dan Provinsi Lampung secara khusus tersebut, pesantren sejatinya sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab. Bahkan sampai derajat tertentu, pesantren seharusnya tetap menjadi garda depan yang dapat mengukir terobosan solusi kreatif untuk masa depan yang gemilang. Belakangan ini, peran-peran signifikan pesantren dan masyarakat santri tidak sebesar atau seagresif tempo dulu, bahkan nyaris menjadi sekadar kenangan. Menghadapi perubahan sosial yang demikian cepat dan rumit dengan ikon globalisasinya, santri berada dalam inertia yang cukup akut. Mereka bukan saja tidak mampu merespon perubahan secara kritis dan kreatif, namun lebih dari itu mereka tampak diam sehingga terseret sadar atau tidak dalam gelembung globalisasi atau perubahan sosial. Sudah saatnya santri bangkit dan terbangun dari tidur panjangnya. Waktunya santri meningkatkan kualitas dan kepercayaan diri, masuk dalam setiap lini kehidupan. Sebab mereka adalah agent of change (agen perubahan). Dipundak merekalah wajah Islam masa depan. Tidak hanya sebagai agent of change, tapi bagaimana santri menjadi direktur of change. Selamat Hari Santri Nasional. Semoga hari santri ini membuat kita percaya diri dan bangkit dari kebodohan. Mari bersama menjadi santri yang berakhlakul karimah yang gigih dalam menyuarakan kebenaran, memerangi radikalisme dan komunisme. Tetaplah menjadi santri. Santri, Santri Lagi, Santri Terus! Ā  Ā  Ā  Ā  Ā  Ā  Ā