Oleh : Muhammad Munir
(Pegawai di Kementrian Agama Kabupaten Kuningan, Jawa Barat)
Ā
Bukan lantaran janji politik Jokowi pada pilpres 2014 yang lalu, bila tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Ini semata-mata lantaran ada pertalian historis, terkait dengan peranan para santri dalam melawan Belanda saat agresi militer kedua. Tak heran setiap tanggal 22 Oktober adalah saat simbolik dimana para santri merayakannya sebagai Hari Santri Nasional, lewat Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.
Hari Santri Nasional lahir dalam upaya mengingat kembali sepenggal sejarah yang āterlupakanā atau sengaja ādilupakanā, yaitu fatwa yang disebut sebagai Resolusi Jihad yang diumumkan hadratus sykeh Kiai Hasyim Asy'ari. Fatwa itu berisikan seruan agar para pejuang memerangi Belanda dan setiap pejuang yang gugur berada dalam keadaan mati syahid.
Ribuan pesantren dan jutaan santri sudah melaksanakan keputusan Presiden terkait dengan Hari Santri Nasional. Kebijakan itu, menguatkan marwah negara. Langkah Presiden Jokowi sudah tepat untuk memberikan penghormatan kepada santri, karena jasa-jasa pesantren di masa lalu yang luar biasa untuk memperjuangkan kemerdekaan serta mengawal kokohnya NKRI. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan.
Penetapan hari santri itu merupakan penghargaan negara kepada kaum sarungan tersebut. Tidak ada eksklusivitas antara santri dan non-santri. Apalagi pengertian santri tidak hanya diikatkan kepada kaum pesantren tradisional saja.
Kamarudin Amin berpendapat, santri adalah, mereka yang memiliki komitmen keislaman dan keindonesiaan, mereka yang hidupnya diinspirasi dan diselimuti nilai-nilai Islam, serta Ā semangat kesadaran penuh tentang kebangsaan Indonesia yang majemuk dan pluralistik.
Kalau kita membaca lembaran sejarah perjuangan para tokoh, seperti Hasyim Asyari (NU), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), A Hassan (Persis), Ahmad Soorkati (Al-Irsyad), Mas Abd Rahman (Matlaul Anwar), mereka adalah tokoh-tokoh Islam yang berdarah Merah Putih. Mereka memiliki komitmen keislaman dan keindonesiaan yang sangat kuat.
Oleh sebab itu, santri tidaklah eksklusif ter-atribusi pada komunitas tertentu, tetapi mereka yang dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih dan tarikan napas kehidupannya terpancar kalimat laa ilaha illallah. Kalau definisi ini kita sepakati, maka penetapan Hari Santri menjadi sangat relevan dalam konteks Indonesia modern yang plural. Hari Santri menjadi milik umat Islam Indonesia secara keseluruhan.
Latar belakang pentingnya Hari Santri Nasional adalah untuk menghormati sejarah perjuangan bangsa ini. Hari Santri Nasional tidak sekadar memberi dukungan terhadap kelompok santri. Justru, inilah penghormatan negara terhadap sejarahnya sendiri. Ini sesuai dengan ajaran Bung Karno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah.
Membaca sejarah adalah bagian dari wacana yang selalu menarik, sebab sejarah pada awalnya adalah merupakan perjalanan individu danĀ akhirnya menjadi pigur yang tak dapat dipisahkan dari sejarah masyarakat dan bangsanya. Tak terkecuali juga sejarah kelahiran Hari Santri Nasional.
Adanya Hari Santri Nasional menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH. Hasyim Asyāari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak berjuang melawan pasukan kolonial. Menurut Ghaffar Rozin, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kiai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, kiai-santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama.
Dengan demikian, Hari Santri, bukan lagi sebagai usulan ataupun permintaan dari kelompok pesantren. Ini semata wujud hak negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri.
Kontribusi pesantren kepada negara sungguh sudah tidak terhitung lagi. Tinggal bagaimana negara pun berjuang untuk mensejahterakan pesantren dan orang-orang pesantren di dalamnya, dengan menganggarkan di APBN/APBD, supaya pesantren tetap eksis, dan bersama mengisi kemerdekaan, dan menjadi pelaku pembangunan di negeri ini. Viva Santri, jayalah pesantren.
Ā
Ā
Ā