• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Selasa, 30 April 2024

Warta

Membangun Solidaritas Sosial dengan Berzakat

Membangun Solidaritas Sosial dengan Berzakat
Membangun Solidaritas Sosial dengan Berzakat Oleh : Nindia Puspitasari (Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) MANUSIA  diciptakan Allah sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat (zoon politicon). Sebagai makhluk sosial, manusia tidak hanya mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi setiap manusia membutuhkan satu sama lain, dan kelebihan yang satu dapat menutupi kekurangan yang lain. Saling tolong menolong dalam kebaikan (materi) dan taqwa (ruhani) dalam hidup bermasyarakat merupakan titah Allah Swt dalam al-Qur’an. Hidup berkelompok, berserikat serta bermasyarakat merupakan fitrah dan tabiat dasar manusia. Tidak ada satu pekerjaan pun yang dapat dilakukan sendirian, semua pasti membutuhkan peran serta orang lain. Karena inilah ciri hidup sosial dan bermasyarakat. Sebagaimana Allah Swt berfirman, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu saling kenal-mengenal” (QS al-Hujarat : 13). Di dunia ini tidak ada satu pun kebutuhan yang dapat terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Untuk segelas air minuman saja misalnya, ia membutuhkan ribuan bahkan jutaan orang sebelum ia meminumnya. Mulai dari cara memperolehnya, apakah melalui air sungai, air sumur, atau air ledeng. Untuk mengail dan menyalurkan air, butuh banyak peralatan mulai dari tali yang dibikin ribuan orang, bejana tempat air dan lainnya. Belum  lagi penampungan air, peralatan untuk memasak air hingga mendidih, seperti korek api, kompor, minyak, listrik dan seterusnya, semua membutuhkan peran serta orang lain. Manusia tidak bisa hidup sendiri, karena segala sesuatunya pasti dan selalu membutuhkan uluran tangan orang lain. Hal ini membuktikan bahwa kita manusia adalah makhluk yang lemah, sehingga saling membutuhkan satu sama lain. Tidak ada alasan untuk tidak membantu orang lain, karena kita pun selalu ditopang uluran tangan yang lain. Jika seseorang telah banyak mendapatkan sesuatu dari orang lain, saatnya ia berpikir tentang apa yang bisa diberikan kepada mereka. Seseorang yang memiliki kecintaan yang tinggi pada yang lain, dibuktikan dari pengorbanan yang bisa dilakukan dirinya. Demi seorang tercinta, ia rela memberikan apapun yang dimilikinya termasuk yang dianggap oleh dirinya paling berharga di sisinya sekalipun! Pengorbanan sejati, adalah kemampuan memberikan sesuatu yang dicintai untuk yang lain. Inilah yang disebut dengan kebajikan sempurna. Allah Swt berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.  Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Swt mengetahuinya” (QS. Ali-Imran : 92). Mari kita sama-sama rasakan, sepanjang hidup kita ini. Saat seseorang  dilanda perasaan cinta, maka ia akan memberikan apapun yang dimilikinya demi berkorban pada orang yang ia cintai, atau bahkan demi cinta itu sendiri. Seseorang akan melepaskan seluruh kepemilikannya yang berharga, nyawa sekalipun dalam pandangannya sendiri, demi mendapatkan simpati dan cinta balik dari yang dicintainya. Itu baru sebatas antara sesama makhluk, apalagi cinta antar seorang makhluk dengan sang Khaliknya. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak sempurna keimanan seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti halnya ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Muttafaq Alaih). Seseorang yang telah mengorbankan hawa nafsunya, ia akan mencapai derajat kesucian dalam arti dekat kepada Allah Swt. Dan berikutnya, ia akan memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesamanya, terutama kepada mereka yang masih hidup berkekurangan. Ingatlah, Allah Swt itu dekat dengan orang-orang yang lemah. Kita pun termasuk diberi rejeki berkat kasih sayang Allah Swt kepada mereka (masakin). Seandainya tidak ada orang tua, anak-anak dan orang lemah di antara manusia, niscaya Allah Swt tidak akan menurunkan rejeki-Nya kepada manusia. Demikian pernah dijelaskan dalam sebuah hadits. Saat orang lemah membutuhkan, saat itulah Allah Swt memanggil kita untuk menolongnya. Menyayangi orang lemah, berarti bukti kecintaan kita kepada Allah Swt. Sebaliknya menelantarkan orang lemah dan tidak berdaya berarti bukti ketidakcintaan kita kepada Allah Swt. Pendidikan Ilahiyah melalui Zakat Sungguh mulia dan sempurna pendidikan ilahiyah melalui zakat dan puasa. Islam begitu perduli membina semangat sosial melalui kewajiban zakat ini. Setelah merasakan penderitaan orang lain yang kelaparan dalam puasa, selanjutnya diharapkan sensibilitas sosial seseorang tergerak untuk membantu meringankan orang lain dan menolong mereka yang masih hidup jauh dari garis kemiskinan. Sedemikian indah Allah Swt mengajarkan pada umat Islam bagaimana memperhatikan orang-orang fakir, karena kita sendiri hakikatnya adalah fakir. Al faqr, bermakna membutuhkan. Seseorang yang membutuhkan yang lain, tentu saja termasuk orang lemah. Perenungan tersebut semestinya memberikan kesadaran pada setiap individu, bahwa memberi pada orang lain yang membutuhkan, merupakan kesadaran dasar akan kelemahan, sekaligus menjadi tuntutan sosial bagi seseorang. Orang yang lemah dan senantiasa membutuhkan orang lain, dampaknya menjadikan seseorang tidak akan bersikap sombong pada yang lain, tidak mencaci sesama, tidak menggunjing sesama, dan senantiasa berbuat baik pada orang lain. Permisalan bagi orang yang mukmin adalah ibarat jaringan satu tubuh (kaljasadil wahid). Jika salah satunya sakit, maka yang lain pun turut merasakan. Seandainya hal ini tidak terwujud, berarti ada yang sakit dalam struktur masyarakat, di mana anggota tubuh yang satu dan lainnya tidak saling merasakan penderitaan masing-masing. Zakat merupakan wujud solidaritas sosial terhadap sesama umat Islam yang berkekurangan. Sebagaimana fungsi zakat tiada lain adalah, Pertama, menolong orang-orang yang berkekurangan. Kedua, mensucikan harta dari berbagai kotoran selama proses pencarian harta itu dilakukann. Karenanya, harta ketika dizakati akan kembali fitrah (suci). Harta inilah yang bersih untuk digunakan dan dimanfaatkan. Ketiga, menitipkan kelebihan harta pada orang-orang kaya untuk didistribusikan pada orang-orang yang miskin. Kemudian, agar apa yang seseorang berikan menjadi berkah bagi dirinya dan orang lain, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, ikhlas tidak riya (ingin dipuji-puji orang lain). Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah Swt dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah Swt tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir itu” (QS. Al-Baqarah : 264). Kedua, memberi tanpa menyakiti dan memaki penerimanya. Firman Allah Swt, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Swt Kaya lagi Maha Penyantun,” (QS. Al-Baqarah : 263). Firman-Nya yang lain, “Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta maka janganlah kamu menghardiknya,” (QS. Adh-Dhuha : 9-10). Orang-orang yang menghardik dan menistakan orang-orang miskin dan anak yatim disinyalir  al-Quran sebagai orang-orang yang telah mendustakan agama. Padahal ia tahu, bahwa mereka perlu diberi pertolongan namun tidak ada keimanan untuk segera bergerak menolongnya. Allah Swt berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama. Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin,” (QS. Al-Ma’un : 1-3). Ketiga, tidak memberi yang jelek atau yang tidak terpakai lagi oleh pemberinya. Memberikan yang jelek bukanlah pengorbanan sehingga mudah dilakukan siapapun. Tetapi, memberikan yang terbaik menjadi sulit dilakukan seseorang jika tanpa kecintaan tulus dan sungguh-sungguh. Hakikatnya memberi bukanlah membuang, memberi adalah menyerahkan yang terbaik yang berbeda dengan membuang, yaitu melempar yang tidak kita butuhkan dan pergunakan lagi. Inilah yang menuntut kita pada suatu renungan, sudahkah kita meberi pada orang lain dengan benar-benar memberi ? Keempat, secara sembunyi-sembunyi di mana tangan kiri tidak tau apa yang diberikan oleh tangan kanan. Hal ini merupakan sebuah permisalan di mana orang lain tidak banyak tahu, untuk memelihara keikhlasan si pemberi. Allah Swt berfirman, “Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah Swt meghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah Swt mengetahui apa yang kamu kerjakan”, (QS. Al-Baqarah : 271). Memberi lebih baik dari meminta-minta. Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik sedekah kelebihan dari kecukupan, tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, mulailah dari orang yang berada atas”, (HR. Bukhari). Allah Swt juga berfirman, “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terkait (oleh jihad) di jalan Allah Swt, mereka tidak dapat (berusaha) di bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kayak karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Swt Maha Mengetahui”, (QS. Al-Baqarah : 273). Tatkala sesorang terlalu cinta pada dirinya sendiri, saat itulah benih egoisme bersemi. Ia akan selalu hidup sendiri tanpa orang lain. Hanya kepentingan-kepentingan dirinya yang diutamakan. Kalaupun harus berhubungan dengan orang lain, itu semata terkait keuntungan dan kebutuhan yang ingin diperoleh dan diraih oleh dirinya. Pola hidup seperti ini tentu saja jauh dari keberkahan. Hidup seperti ini lebih mengutamakan “apa yang harus didapat” ketimbang “apa yang harus diberikan”. Islam sangat memperdulikan nasib-nasib orang-orang yang miskin, kesejahteraan mereka dititipkan kepada orang-orang kaya dan negara. Nabi Saw sangat mengecam mereka yang tidak taat membayarnya. Bagi mereka, bahkan dianjurkan agar pemerintah menarik paksa kewajiban zakat mereka. Karena pada hakekatnya, harta itu bukan milik mereka, melainkan ada hak orang-orang lemah di dalamnya. Dengan adanya kesadaran zakat yang tinggi, semoga kehidupan kita akan dapat berlangsung harmonis, tidak mengalami kesenjangan hidup yang sangat jauh antara sesamanya. Aminnnnn (*)    


Editor:

Warta Terbaru