Warta

Melegalkan Lokalisasi Pelacuran

Ahad, 19 Juli 2015 | 07:25 WIB

BELAKANGAN ini ada indikasi dari satu pemerintahan di Indonesia ingin melegalkan pelacuran. Bagaimana hukumnya melegalkan lokalisasi pelacuran sebagai upaya taghyirul munkarot (merubah kemunkaran) atas pelacuran, pejudi, pemabok, gay dan sebagainya? Jawaban Hukumnya haram, karena: 1. Melegalkan lokalisasi tersebut bukan taghyirul munkarot, bahkan membenarkan, menolong dan melestarikan kemaksiatan. 2. Upaya taghyirul munkarot justru seharusnya dengan cara penutupan tempat-tempat maksiat itu dan menjatuhkan hukuman kepada para pelakunya. Pengambilan dalil dari: 1. Al-Qur’anul Karim: Firman Allah SWT.: قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوْا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (الأنعام: 151) “Katakanlah (Muhammad), marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan padamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baik kepada ayah ibu, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi; janganlah membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti”. (QS. Al-An’am: 151). Firman Allah SWT.: وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً(الإسراء: 32) “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32) Firman Allah SWT.: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة: 2) “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2). 2. Hadits Nabi SAW.: عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُذْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ (متفق عليه). “Riwayat Said al-Khudri ra. yang mengatakan: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa melihat mungkar maka ia harus merubahnya dengan tangan (kekuasaan)-nya. Jika ia tidak mampu maka dengan lidahnya. Jika ia tidak mampu pula maka dengan hatinya, dan itu merupakan iman yang paling lemah (HR al-Bukhari Muslim)”. 3. Ruhul Ma’ani : (وَلاَ تَقْرَبُوْا الْفَوَاخِشَ) أَي الزِّنَا، وَالجَمْعُ إمَّا لِلْمُبَالَغَةِ أوْ بِاعْتِباَرِ تَعَدُّدِ مَنْ يَصْدُرُ عَنْهُ أَوْ لِلْقَصْدِ إِلى النَهيِ عَنِ الأنْوَاعِ وَلِذَا أُبْدِلَ مِنْهَا قَوْلُهُ سُبْحَانَهُ (مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ) أَي مَا يُفْعَلُ مِنْهَا عَلاَنِيَّةً فيِ الْحَوَانِيْتِ كَمَا هُوَ دَأْبُ أَرَاذِلِهِمْ وَمَا يُفْعَلُ سِرًّا بِاتِّخَاذِ الأخْدَانِ كَمَا هُوَ عَادَةُ اَشرَافِهِم. وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالضَّحَّاكِ وَالسُّدِيِّ. وَقِيْلَ المُرَادُ بِهَا المَعَاصِي كُلُّهَا. Firman Allah SWT.: Janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, yaitu zina. Lafal al-fawahisy dengan bentuk jamak menunjukkan pengertian sangat keji, jalan berbuat zina beragam, atau bertujuan untuk melarang semua jalan berbuat zina. Karena itu, pengertian ini dilanjutkan dengan: baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, yaitu perbuatan zina yang dilakukan jelas terlihat di warung-warung, yang menjadi kebiasaan orang yang buruk perilakunya dan yang dilakukan secara tersembunyi, sebagai pasangan selingkuhan yang menjadi kebiasaan kaum bangsawan. Pendapat ini didasarkan atas riwayat dari Ibnu Abbas, al-Dlahhak, dan as-Suddi. Menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan perbuatan keji itu adalah semua perbuatan maksiat”. 4. Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam : يُخْتَلَفُ وَزْنُ وَسَائِلِ المُخَالَفَاتِ بِاخْتِلاَفِ رَذَائِلِ المَقَاصِدِ وَمَفَاسِدِهَا، فَالوَسِيْلَةُ إِلى أرْذَلِ المَقَاصِدِ أرْذَلُ مِنْ سَائِرِ الْوَسَائِلِ. فَالتَّوَسُّلُ إِلى الجَهْلِ بِذَاتِ اللهِ وَصِفَاتِهِ أَرْذَلُ مِنَ التَّوَسُّلِ إِلى الجَهْلِ بِأحْكَامِهِ. وَالتَّوَسُّلُ إِلى الْقَتْلِ أرْذَلُ مِنَ التَّوَسُّلِ إِلى الزِّناَ. وَالتَّوَسُّلُ إِلى الزِّناَ أقْبَحُ مِنَ التَّوَسُّلِ إِلى الأكْلِ بِالْباَطِلِ، وَالإِعَانَةُ عَلىَ الْقَتْلِ بِالإمْسَاكِ أقْبَحُ مِنَ الدِّلاَلَةِ عَلَيْهِ. وَكلَّمَا قَوِيَتِ الْوَسِيْلَةُ فيِ الآدَاءِ إِلى الْمَفْسَدَةِ كَانَ إِثمْهُاَ أَعْظَمَ مِنْ إِثْمِ ماَ نَقَصَ عَنْهَا. “Ukuran perilaku (jalan) menuju perbuatan maksiat itu bertingkat seiring dengan tujuan dan mafsadatnya. Jelasnya, perilaku menuju maksud yang buruk dapat terjadi lebih buruk ketimbang perilaku lainnya. Jalan kepada kebodohan terhadap Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya lebih buruk ketimbang dengan jalan bodoh terhadap hukum-hukum Allah. Jalan kepada pembunuhan lebih buruk ketimbang dengan jalan terhadap perbuatan zina. Jalan kepada perbuatan zina lebih buruk ketimbang dengan jalan terhadap makan harta secara batil. Membantu melakukan pembunuhan dengan cara tidak menghalanginya lebih buruk ketimbang dengan menunjukkan atas perbuatan itu. Oleh karenanya, sepanjang perbuatan itu mengakibatkan mafsadat maka dosanya lebih berat ketimbang dosa perbuatan pada tingkat dibawahnya”. 5. At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami : وَالتَّغْيِيْرُ لاَ يَكُوْنُ إِلاَّ فيِ المَعَاصِي الَّتيِ تَقْبَلُ بِطَبِيْعَتِهَا التَغْيِِيْرَ المَادِّّيَّ. أَمَّا مَعاَصِي اللِّسَانِ وَالْقَلْبِ فَلَيْسَ فيِ الإسْتِطَاعَةِ تَغْيِيْرُهَا مَادِّّياً، وَكَذلِكَ كُلُّ مَعْصِيَةٍ تَقْتَصِرُ عَلى نَفْسِ الْعَاصِي وَجَوَارِحِهِ الْبَاطِنَةِ. وَمَوْضُوْعُ الدِّفَاعِ الشَّرْعِي الْعَامِّ هُوَ مَا عَدَا ذَلِكَ مِمَّا يَمُسُّ حُقُوْقَ الجَمَاعَةِ وَأَمْنِهَا وَنِظاَمِهاَ، وَيُسَمّى هذَا النَوعُ مِنَ الدِّفاَعِ الأَمْرَ بِالمْعرُوْفِ وَالنَّهْيَ عَنِ المُنْكَرِ. “Maksud perubahan itu adalah dalam segala perbuatan maksiat yang dengan sendirinya dapat terjadi perubahan secara fisik. Adapun perbuatan maksiat lidah dan hati tidak dapat dirubah secara fisik. Demikian juga perbuatan maksiat yang melekat pada diri pelaku dan anggota batinnya. Yang menjadi tujuan umum penanggulangannya menurut syara’ adalah diluar itu semua, yaitu menghadapi semua perbuatan maksiat yang menyentuh hak-hak masyarakat, kemanannya dan tata aturannya. Penanggulangan perbuatan maksiat seperti ini yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi munkar”. 6. Al-Ahkamus Sulthaniyah : (فصل) وَأَمَّا المُعَامَلاَتُ المُنْكَرَةُ كَالزِّناَ وَالْبُيُوْعِ الْفَاسِدَةِ وَماَ مَنَعَ الشَّرْعُ مِنْهُ مَعَ تَرَاضِي الْمُتَعَاقِدَيْنِ بِهِ إِذَا كَانَ مُتَّفَقاً عَلى حَظْرِهِ فَعَلى وَالِي الحَسَبَةِ إِنْكَارُهُ وَالْمَنْعُ مِنْهُ وَالزَّجْرُ عَلَيْهِ. وَأَمْرُهُ فيِ التَّأْدِيْبِ مُخْتَلَفٌ بِحَسَبِ الأَحْوَالِ وَشِدَّةِ الحَظْرِ. “Adapun pergaulan yang munkar, seperti zina, jual beli yang fasid dan segala yang dilarang oleh syara’, walaupun pihak-pihak rela melakukannya, jika itu jelas merupakan perbuatan yang dilarang, maka wajib atas walil hasabah (pejabat penegak hukum) untuk mengingkarinya, melarangnya dan mencegahnya. Dan tentang kebijakannya untuk memberi pelajaran (hukuman) adalah bertingkat sesuai dengan keadaan dan pelanggarannya”. 7. Ihya’ Ulumuddin : الركن الرابع: نَفْسُ الإحْتِساَبِ. وَلَهُ دَرَجاَتٌ وَآدَابٌ: أمَّا الدَّرَجاَتُ فَأوَّلُهَا التَّعَرُّفُ، ثُمَّ التَّعْرِيْفُ، ثُمَّ النَّهْيُ، ثُمَّ الوَعْظُ وَالنُّصْحُ، ثمَّ السَبُّ وَالتَعْنِيْفُ، ثُمَّ التَّغْيِيْرُ بِالْيَدِ، ثُمَّ التَّهْدِيْدُ بِالضَّرْبِ، ثُمَّ إِيْقَاعُ الضَّرْبِ وَتَحْقِيْقُهُ، ثُمَّ شُهْرُ السِّلاَحِ، ثُمَّ الإسْتِظْهاَرُ فِيْهِ بِالأَعْوَانِ وَجَمعِ الْجُنُوْدِ. “Rukun keempat adalah ihtisab (penindakan). Penindakan itu ada beberapa tingkatan dan adab pelajaran. Tindakan yang bertingkat itu, yaitu penyelidikan, kemudian pengidentifikasian, kemudian pelarangan, kemudian tuntunan dan nasehat, kemudian kutukan, kemudian ancaman, kemudian perubahan dengan kekuasaan, kemudian ancaman dengan pukulan (siksaan), kemudian pelaksanaan hukuman pukulan. Kemudian dengan mengangkat senjata, kemudian menaklukkannya dengan kekuatan balabantuan serta dengan tentara menurut keperluan”. (Dikutip dari Muktamar ke-31)