Dzikir Setelah Shalat
Oleh :
Ust. Suparman Abdul Karim
Ketua Lembaga Dakwah NU (LDNU) Lampung
RASULULLAH SAW senantiasa berdzikir setelah usai shalatnya. Ini menunjukkan bahwa berdzikir setelah shalat adalah ibadah yang mulia dan sangat baik untuk senantiasa diamalkan.
Macam-macam dzikir setelah shalat
Berikut ini kami kemukakan macam-macam dzikir yang pernah diucapkan oleh Nabi SAW usai shalatnya:
- Membaca Istighfar (3 kali)
Diriwayatkan dari Tsauban r.a., ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ( إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثًا (صحيح مسلم: 591, وسنن الترمذي: 300).
Artinya:
"Bahwasanya Rasulullah SAW apabila usai dari dari shalatnya, beliau ber-istighfar tiga kali" (Shahih Muslim, no. 591; dan Sunan At-Tirmidzi, no. 300).
Istighfar adalah ucapan "Astaghfirullâhal-'azhîm". Sedangkan bunyi istighfar yang paling baik diucapkan usai shalat adalah istighfar yang bersumber pada hadits yang diriwayatkan dari Zaid r.a., bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَالَ: "أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيمَ, الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ", غُفِرَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنْ الزَّحْفِ (سنن الترمذي: 3577, وسنن أبي داود: 1517).
Artinya:
"Barang siapa yang mengucapkan: "Astaghfirullâhal-'azhîm, alladzî lâ ilâha illa huwal-hayyul-qayyûmu wa atûbu ilaih" (Aku memohon ampunan Allah Yang Maha Agung, yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha hidup lagi berdiri sendiri dan kepada-Nya-lah aku bertobat), maka akan diampuni semua dosa-dosanya sekalipun dosa lari dari musuh (di medan perang)" (Sunan At-Tirmidzi, no. 3577; dan Sunan Abi Dawud, no. 1517).
2. Membaca Tahlil (3 kali)
Rasulullah SAW juga membaca "Tahlil" tiga kali usai shalatnya dengan menggunakan lafazh tambahan yang cukup panjang. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Al-Mughirah, bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW mengucapkan dzikir usai shalatnya dengan kalimat:
"لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ, وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ", ثَلاَثَ مَرَّاتٍ (صحيح البخاري: 6473, وصحيح مسلم: 593).
Artinya:
"Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Miliknyalah segala kerajaan dan miliknyalah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu", kalimat ini diucapkan sebanyak tiga kali" (Shahih Al-Bukhari, no. 6473; dan Shahih Muslim, no. 593).
Selain dengan lafazh diatas juga terdapat lafazh-lafazh tambahan yang cukup panjang dan agak beragam. Baik pada hadits yang tercantum dalam Shahih Al-Bukhari sendiri, maupun dalam kitab-kitab hadits yang lainnya. Namun kami hanya mengutip lafazh diatas untuk membatasi pembahasan ini agar tidak berpanjang lebar.
Lafazh dzikir ini adalah yang paling sederhana dan paling umum diamalkan dengan tambahan kalimat "Yuhyi wa yumîtu" (yang menghidupkan dan yang mematikan) sebelum kalimat "Wa huwa 'alâ kulli syai'in qadîr" (dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu). Kita pun boleh menggunakan lafazh yang lebih panjang dari ini, sesuai dengan lafazh-lafazh yang tercantum dalam hadits-hadits Rasulullah SAW.
3. Allûhumma ajirnî minan-nâr
Sebagaimana hadits dari Muslim bin Harits At-Tamimi dari Rasulullah SAW, bahwasanya beliau bersabda:
إِذَا انْصَرَفْتَ مِنْ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ فَقُلْ: "اللَّهُمَّ أَجِرْنِيْ مِنْ النَّارِ" سَبْعَ مَرَّاتٍ, فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ ثُمَّ مِتَّ فِي لَيْلَتِكَ كُتِبَ لَكَ جِوَارٌ مِنْهَا. وَإِذَا صَلَّيْتَ الصُّبْحَ فَقُلْ كَذَلِكَ فَإِنَّكَ إِنْ مِتَّ فِي يَوْمِكَ كُتِبَ لَكَ جِوَارٌ مِنْهَا (سنن أبي داود: 5079).
Artinya:
"Apabila engkau selesai dari shalat Maghrib, maka ucapkanlah: "Allûhumma ajirnî minan-nâr" (Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka) sebanyak tujuh kali. Sesungguhnya jika engkau mati pada malam itu, maka telah ditetapkan bagimu bebas dari api neraka. Dan apabila engkau usai shalat Shubuh, maka ucapkanlah juga yang demikian itu. Sesungguhnya jika engkau mati pada siang itu, maka telah ditetapkan bagimu bebas dari api neraka" (Sunan Abi Dawud, no. 5079).
Sesuai dengan hadits ini sebaiknya kita membaca: "Allûhumma ajirnî minan-nâr" sebanyak tujuh kali. Namun jika hendak membacanya sebanyak tiga kali juga boleh sesuai dengan yang umumnya diamalkan di masjid-masjid lingkungan sekitar kita.
4. Allûhumma Antas-Salâm…
Diriwayatkan dari 'A'isyah r.ah., bahwasanya setelah usai dari shalatnya Rasulullah SAW biasa mengucapkan:
"اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ, وَمِنْكَ السَّلاَمُ, تَبَارَكْتَ ياذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ" (صحيح مسلم: 592).
Artinya:
"Ya Allah, Engkaulah Yang Maha (pemberi) keselamatan, dan dari Engkau-lah segala keselamatan. Maha suci Engkau, wahai Dzat Yang Maha Agung dan Maha Mulia" (Shahih Muslim, no. 592).
Dalam hadits yang lain pula ada tambahan lafazh yang lebih panjang dari kalimat diatas. Yakni sebagaimana lafazh yang biasa kita baca:
اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ, وَمِنْكَ السَّلاَمُ, وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ, فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمِ, وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ, تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَاذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ.
Artinya:
"Ya Allah, Engkaulah Yang Maha (pemberi) keselamatan, dan dari Engkau-lah segala keselamatan; kepada-Mulah kembali keselamatan. Maka hidupkanlah kami dengan keselamatan, masukkanlah kami ke dalam surga Darus-Salam. Maha suci Engkau, Ya Rabb kami, dan Maha Tinggi Engkau, wahai Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Mulia".
5. Tasbih (33 X), Tahmid (33 X) dan Takbir (33 X)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ, وَحَمِدَ اللهَ ثَلاثًا وَثَلاَثِيْنَ, وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ, فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُوْنَ, وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ: "لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ" غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ (صحيح مسلم: 597).
Artinya:
"Barangsiapa yang ber-tasbih kepada Allah dibelakang shalatnya 33 kali; ber-tahmid kepada Allah 33 kali; dan ber-takbir 33 kali; hingga semuanya berjumlah 99 kali. Kemudian ia menyempurnakannya menjadi 100 dengan mengucapkan: "Lâ ilâha illallâh, wahdahu lâ syarîkalah, lahul-mulku wa lahul-hamdu, wa huwa 'alâ kulli syai'in qadîr" (Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nyalah segala kerajaan dan milik-Nyalah segala pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu). Niscaya semua dosanya akan diampuni, walaupun sebanyak buih di lautan" (Shahih Muslim, no. 597).
Hadits ini menganjurkan kita untuk berdzikir setelah shalat dengan mengucapkan Tasbih (Subhânallâh) 33 kali; Tahmid (Alhamdulillâh) 33 kali; dan Takbir (Allâhu Akbar) 33 kali. Lalu disempurnakan dengan serangkaian kalimat Tahlil.
6. Dzikir-dzikir yang lain
Selain dzikir-dzikir diatas, kita pun boleh mengamalkan dzikir-dzikir yang lainnya. Dzikir-dzikir diatas adalah dzikir yang masyhur diamalkan. Sedangkan dzikir usai shalat adalah ibadah yang sifatnya "muthlaq". Maksudnya tidak terikat hanya pada kalimat-kalimat tertentu saja. Itu artinya dzikir-dzikir yang lain pun boleh kita sertakan. Seperti membaca Tahlil 100 kali; membaca dzikir pagi dan petang usai shalat Shubuh dan 'Ashar, dan lain sebagainya.
7. Dzikir dengan ayat-ayat suci Al-Qur'an
Juga disunnahkan berdzikir setelah shalat dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Seperti surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, An-Nas, Awal dan Akhir surat Al-Baqarah, Ayat Kursi dan lain-lain. Salah satu contohnya berdasarkan riwayat dari Abu Umamah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ إلاَّ الْمَوْتُ (رَوَاهُ النَّسَائِيّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ) وَزَادَ فِيْهِ الطَّبَرَانِيُّ وَ (قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ).
Artinya:
"Barangsiapa yang membaca Ayat Kursi setiap sehabis shalat, maka tidak akan menghalanginya masuk kedalam surga kecuali maut" (H.R. An-Nasai dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban); dan ditambahkan dalam riwayat Ath-Thabrani dan juga: "Qul huwallâhu ahad" (lihat kitab Bulûghul Marâm, hlm. 83).
Apakah boleh menjaharkan dzikir?
Kemudian kami menganggap penting untuk memasukan pembahasan mengenai: Boleh atau tidak menjaharkan dzikir sehabis shalat?. Mengingat ada saja pertentangan mengenai hal ini di tengah-tengah kaum muslimin. Untuk itu perhatikanlah hadits dari Ibnu Abbas r.a., ia menceritakan bahwa:
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ( (صحيح البخاري: 841, وصحيح مسلم: 583).
Artinya:
"Sesungguhnya mengeraskan suara dengan dzikir ketika orang-orang selesai mengerjakan shalat fardhu itu sudah berlaku sejak zaman Nabi SAW" (Shahih Al-Bukhari, no. 841 dan Shahih Muslim, no. 583).
Hadits ini dengan jelas menggambarkan sudah menjadi kebiasaan bahwa Nabi SAW dan para sahabatnya setiap kali usai shalat fardhu, mereka berdzikir dengan mengangkat atau mengeraskan suara. Imam Nawawi mengemukakan bahwa: "Hadits ini adalah dalil sebagian ulama salaf yang berpendapat bahwasanya sunnah mengangkat (mengeraskan) suara untuk bertakbir dan berdzikir setelah usai shalat fardhu" (Syarh Shahih Muslim: 2/391).
Demikian pula yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa, "Hadits ini mengandung dalil bolehnya menjaharkan dzikir setelah shalat" (Fathul Bârî: 3/248).
Adapun pendapat bahwa Nabi SAW mengeraskan dzikir guna mengajari para sahabatnya, ini juga benar. Hanya saja pandangan ini tidak menafikan anjuran mengeraskan dzikir setelah shalat fardhu. Justeru pandangan ini memperkuat alasan untuk mengeraskan dzikir usai shalat berjama'ah. Mengingat tidak semua makmum telah lancar mengucapkan kalimat dzikir. Ada saja diantara mereka yang belum hafal atau belum biasa dalam berdzikir. Dengan alasan pembelajaran dan pembiasaan ini pula, maka kita boleh melestarikan dzikir jahar sehabis shalat yang sebelumnya memang telah dilestarikan di masa Nabi SAW.
Namun kami lebih cenderung bersikap longgar dalam perkara ini. Maksudnya kita boleh memilih antara berdzikir jahar atau berdzikir dengan pelan. Asalkan tidak saling menyalahkan atau saling membid'ahkan satu sama lain. Karena perkara ini bukanlah masalah yang harus disikapi secara ekstrem apalagi harus menjadi jurang pemisah antar sesama kaum muslimin.
Sedangkan mengenai hujjah bagi yang melarang menjaharkan dzikir dengan berdalil pada firman Allah Ta'ala:
Artinya:
"Dan sebutlah (nama) Tuhan-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara…" (Q.S. Al-A'raf: 205).
Ayat ini adalah dalil umum yang harus dilihat konteks Asbâbun-Nuzûl-nya sehingga jelas maksud dan arah perintah serta larangannya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikemukakan bahwa orang-orang kafir apabila mereka mendengar ayat suci Al-Qur'an mereka mencacinya, mencaci Allah (yang memfirmankannya) dan mencaci orang yang membacanya. Kemudian Allah Ta'ala memerintahkan dengan ayat ini agar jangan mengeraskan ketika membaca di dekat mereka, akan tetapi bacalah diantara jahar dengan sirr (Tafsir Ibnu Katsir: 3/392).
Para ulama mengakui bahwa ayat ini menunjukkan keutamaan berdzikir secara sirr (pelan) saat dilakukan sendiri agar tidak mengganggu orang lain. Tetapi ayat ini bukanlah melarang melakukan dzikir secara jahar selama mengeraskan tersebut tidak dilakukan secara berlebih-lebihan.
Dalam menafsirkan ayat ini, para ahli tafsir cenderung mengaitkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy'ari r.a., ia becerita:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ ( فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ ( يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ (صحيح البخاري: 2992, ومسلم: 2704).
Artinya:
"Dalam suatu perjalanan bersama Rasulullah SAW, ketika kami telah dekat dengan Wadd, kami ber-tahlil dan ber-takbir dengan berteriak-berteriak, maka Nabi SAW bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Dzat yang kalian seru itu tidaklah tuli dan tidak juga jauh, sesungguhnya ia ada di antara kalian, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi sangat dekat" (Shahih Al-Bukhari, no. 2992; dan Shahih Muslim, no. 2704).
Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Katsir mengemukakan bahwa ayat diatas melarang dzikir yang dilakukan dengan berteriak-teriak dan dzikir yang dijaharkan dengan berlebih-lebihan (Jahran Balîgan) (Tafsir Ibnu Katsir: 3/391). Jadi sifat berlebih-lebihan dalam berdzikir itu yang dilarang oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Sedangkan menjaharkan dzikir ketika usai shalat fardhu yang dilakukan sekedarnya, tidaklah termasuk kedalam larangan tersebut.
Selain itu, ada juga yang mengaitkan ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia bercerita bahwasanya, "Orang-orang membaca dengan nyaring di waktu shalat, padahal mereka sedang bermakmum di belakang Nabi SAW. Maka Allah Ta'ala memerintahkan agar kaum muslimin mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
"Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai" (Q.S. Al-A'raf: 204-205). (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 3/389-391).
Jadi dalil-dalil diatas memiliki konteks masing-masing dan tidaklah bertentangan satu sama lainnya. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas menerangkan bahwa dimasa Nabi SAW sudah menjadi kebiasaan setiap kali usai shalat mereka mengeraskan dzikir secukupnya. Sedangkan surat Al-A'raf ayat 205 dan hadits dari Abu Musa Al-Asy'ari menunjukkan larangan berdzikir dengan suara yang berlebih-lebihan (Jahran Balîgan).
Imam Nawawi mengemukakan bahwa, "Dzikir itu adakalanya dilakukan di dalam hati dan adakalanya dilakukan denga lisan. Tetapi yang lebih utama dilakukan dengan hati dan lisan secara bersamaan. Jika dilakukan salah satunya saja, maka yang lebih utama dilakukan dengan hati. Dzikir dengan hati dan lisan sekaligus jangan ditinggalkan karena takut disangka riya'. Tetapi lakukanlah dzikir dengan hati dan lisan sekaligus dengan membulatkan niat hanya karena Allah SWT" (Al-Adzkâr : 8).
Imam Nawawi juga mengemukakan bahwa, "Kami meriwayatkan sari Sayyid Jalil Abu Ali Al-Fudhail, bahwa ia pernah mengatakan: "Meninggalkan amalan karena manusia disebut riya (yang sebenarnya), dan beramal karena manusia disebut syirik, sedangkan ikhlas adalah bila Allah menyelamatkan anda dari keduanya". Jadi tugas kita adalah semata-mata beramal, jangan pernah takut disangka riya' hingga kita enggan beramal. Sebaliknya pula, janganlah beramal karena ingin dilihat atau dipuji orang lain.
Walhasil, dzikir merupakan ibadah mulia yang harus kita amalkan secara istiqomah. Karena dibalik istiqomah selalu ada karomah dan istiqomah itu sendiri justeru lebih utama dari pada karomah.
Wallahua`lam. (*)