• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Syiar

Hukum Mengadzani Bayi yang Baru Lahir

Hukum Mengadzani Bayi yang Baru Lahir
Hukum mengadzani bayi saat baru lahir
Hukum mengadzani bayi saat baru lahir

Ketika ada bayi yang baru lahir, maka orang tua akan segera mengumandangkan adzan di telinganya kanannya, dan iqamat pada telinga kirinya.  Tradisi tersebut sudah berlangsung lama di masyarakat, yang bertujuan agar suara pertama yang didengar oleh si bayi adalah kalimat tauhid, di samping agar sang bayi kelak selalu terhindar dari berbagai pengaruh dan godaan setan. 

 

Meskipun begitu, sebagian umat Islam lainnya tidak melakukan tradisi seperti itu. Alasannya, tidak ada hadits shahih yang dapat dijadikan sebagai dalil disyariatkannya adzan pada telinga bayi. 


Lalu, bagaimana pendapat para ulama mazhab soal hukum mengadzani telinga bayi?  Dilansir dari Hukum Mengadzani Bayi menurut Mazhab Empat,  para ulama bersepakat bahwa mengumandangkan adzan sebelum melaksanakan shalat itu disyariatkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat jika adzan tersebut ditujukan untuk selain shalat, seperti adzan untuk bayi yang baru saja dilahirkan.

 

Pertama, mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, mengadzani bayi hukumnya sunnah. Syekh Ibnu Abidin dari mazhab Hanafi menuturkan:

مَطْلَبٌ: فِي الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُنْدَبُ لَهَا الْأَذَانُ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ، فَيُنْدَبُ لِلْمَوْلُوْدِ.

 

Artinya:  Pembahasan tentang tempat-tempat yang disunnahkan mengumandangkan adzan untuk selain (tujuan) shalat, maka disunnahkan mengadzani telinga bayi (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Ala Ad-Durril Mukhtar, juz 1, halaman 415).  

 

Imam Nawawi, sebagai salah satu ikon ulama mazhab Syafi’i, menuliskan masalah ini di dalam kitab fikihnya yang fenomenal, Al-Majmu’:  

 السُّنَّةُ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُوْدِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، وَيَكُوْنَ الأَذَانُ بِلَفْظِ أَذَانِ الصَّلَاةِ. قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا: يُسْتَحَبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَيُقِيْمَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى.  

 

Artinya:  Disunnahkan mengumandangkan adzan pada telinga bayi saat ia baru lahir, baik bayi laki-laki maupun perempuan, dan adzan itu menggunakan lafadz adzan shalat. Sekelompok sahabat kita berkata: Disunnahkan mengadzani telinga bayi sebelah kanan dan mengiqamati telinganya sebelah kiri, sebagaimana iqamat untuk shalat (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 8, h. 442).

 

Syekh Mansur Al-Bahuti dari mazhab Hanbali juga menuliskan:  

 وَسُنَّ أَنْ يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ الْيُمْنَى، ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، حِينَ يُولَدُ، وَأَنْ يُقِيمَ فِي الْيُسْرَى، لِحَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَاهُ.  


Artinya:  Dan disunnahkan dikumandangkan adzan pada telinga bayi sebelah kanan, baik laki-laki atau perempuan, ketika dilahirkan, dan mengiqamatinya pada telinga sebelah kiri, karena hadits riwayat Abi Rafi’ bahwa ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw mengadzani telinga Hasan bin Ali saat dilahirkan oleh Fatimah. Hadis ini diriwayatkan dan dianggap shahih oleh Abu Dawud dan Tirmidzi” (Mansyur bin Yunus Al-Bahuti, Kassyaful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 7, halaman 469).

 

Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki menyatakan, mengadzani bayi setelah dilahirkan hukumnya mubah (boleh). Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menyebutkan:

   (قُلْتُ) وَقَدْ جَرَى عَمَلُ النَّاسِ بِذَلِكَ فَلَا بَأْسَ بِالْعَمَلِ بِهِ

 

Artinya: Saya berkata, dan orang-orang telah terbiasa melakukan hal itu (mengadzani dan mengiqamati bayi), maka tidak apa-apa dilaksanakan (Muhammad bin Muhammad Al-Hattab, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashari Khalil, juz 3, halaman 321).  

 

Ketiga, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menegaskan, hukum mengadzani bayi setelah dilahirkan adalah makruh. Syekh Al-Hattab dari mazhab Maliki menulis:

   قَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي زَيْدٍ فِي كِتَابِ الْجَامِعِ مِنْ مُخْتَصَرِ الْمُدَوَّنَةِ: وَكَرِهَ مَالِكٌ أَنْ يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الصَّبِيِّ الْمَوْلُودِ  

 

Artinya:  Syekh Abu Muhammad bin Abi Zaid berkata dalam kitab Al-Jami’ min Mukhtasharil Mudawwanah: Imam Malik menghukumi makruh dikumandangkannya adzan pada telinga bayi yang baru dilahirkan (Muhammad bin Muhammad Al-Hattab, Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashari Khalil, juz 3, halaman 321).  

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengadzani bayi. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab Syaf’i, dan ulama mazhab Hanbali menghukuminya sunnah. Sebagian ulama mazhab Maliki menghukuminya mubah. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menganggapnya makruh.

 

Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang mensunnahkan adzan pada bayi yang baru dilahirkan merupakan pendapat yang kuat, sebab didukung oleh beberapa hadits, yaitu hadits riwayat Abu Rafi’:  

 عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِى أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِىٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلاَةِ.  

 

Artinya: Dari Abi Rafi, ia berkata "Aku melihat Rasulullah saw mengadzani telinga Al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fatimah, dengan adzan shalat (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim).   Imam Al-Hakim menilai hadits tersebut sebagai hadits yang shahih. Sedangkan imam At-Tirmizy mengkategorikannya sebagai hadits yang ‘hasan shahih’.

 

Jika imam At-Tirmizy menyebut kata ‘hasan shahih’, maka ada dua kemungkinan: Pertama, jika hadits tersebut memiliki dua sanad, maka salah satu sanadnya dihukumi hasan, sedangkan sanad yang lain dihukumi shahih. 

 

Kedua, jika hadits tersebut hanya memiliki satu sanad, maka artinya hadits itu dihukumi hasan menurut sebagian ulama, dan dihukumi shahih menurut sebagian ulama yang lain (lihat: Mahmud At-Thahhan, Taysiru Musthalahil Hadits, halaman  48).

 

Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i juga menshahihkan hadits ini, sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Majmu’ (lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 8, halaman 442).   Selain hadits di atas, pendapat ini juga diperkuat oleh hadits riwayat Husein bin Ali:  

 

 عَنْ حُسَيْنٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ وُلِدَ لَهُ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ 

 

Artinya:   Dari Husein, ia berkata "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang dilahirkan untuknya seorang bayi, lalu dia mengadzani telinganya sebelah kanan, dan mengiqamati telinganya sebelah kiri, maka ia tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan (jin pengganggu anak kecil) (HR Abu Ya’la Al-Mushili).


Syiar Terbaru