• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Syiar

Hindari Mengkonsumsi Makanan yang Tidak Halal, ini 4 Bahayanya

Hindari Mengkonsumsi Makanan yang Tidak Halal, ini 4 Bahayanya
Umat muslim sebaiknya hanya mengkonsumsi makanan yang halal
Umat muslim sebaiknya hanya mengkonsumsi makanan yang halal

Banyak pilihan di dunia ini, namun kita dilarang mengkonsumsi makanan yang tidak halal dan syubhat. Makanan yang syubhat apalagi tidak halal akan berpengaruh pada kesehatan jasmani dan rohani kita, baik di dunia maupun di akhirat.

 

Tidak ada yang sia-sia dalam perkara yang telah ditetapkan Allah. Rasulullah saw telah mengemukakan alasannya dalam hal konsumsi makanan yang tidak halal ini.

 

Sedikitnya ada empat bahaya yang ditimbulkan dari makanan yang tak halal, seperti dilansir dari 4 Bahaya Makanan yang Tak Halal.

 

Pertama, energi tubuh yang lahir dari makanan haram cenderung dipakai untuk maksiat. Sahabat Sahl ra mengatakan:  


 من أكل الحرام عصت جوارحه شاء أم أبى  

 

Artinya: Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya, mau tidak mau (al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid 2, halaman 91).  

 

Rasulullah saw menyatakan: Tidaklah yang baik itu mendatangkan sesuatu kecuali yang baik pula (HR al-Bukhari dan Muslim). Secara tidak langsung, hadits ini mengatakan, bahwa tidaklah yang buruk itu mendatangkan sesuatu kecuali yang buruk. 

 

Lebih berat lagi, bila makanan tidak halal itu diberikan kepada keluarga atau keturunan kita dan menjadi darah daging mereka, maka kemungkinan keturunan mereka akan menjadi golongan orang-orang yang saleh menjadi kecil. Tak heran jika para ulama akhlak mempersyaratkan diterimanya suatu amal ditopang dengan makanan yang halal. 

 

Hal ini dianalogikan kepada hadits tentang sedekah, di mana sedekah tidak diterima kecuali yang berasal dari usaha yang halal. 

 

  إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يَقْبَلُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ  

 

Artinya:  Sesungguhnya tabaraka wata‘ala tidak menerima suatu shalat tanpa bersuci dan tidak menerima sebuah sedekah yang berasal dari ghulul (khianat/curang)(HR Abu Dawud). 

 

Kedua, terhalangnya doa. Hal itu berdasarkan pesan Rasulullah saw kepada sahabat Sa‘d ra. 

 

  يَا سَعْدُ أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الْعَبْدَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا 

 

Artinya:   Wahai Sa‘d, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama empat puluh hari (Sulaiman ibn Ahmad, al-Mu‘jam al-Ausath, jilid 6, halaman 310).  

 

Selain makanan yang baik, amal perbuatan yang baik dan ketaatan secara umum juga dapat menjadi pintu cepat terkabulnya doa.

 

Ketiga, sulitnya menerima ilmu Allah. Ketahuilah ilmu adalah cahaya, sedangkan cahaya tidak akan diberikan kepada ahli maksiat. Itu pula yang pernah dikeluhkan oleh al-Syafi‘i kepada gurunya Imam Waki‘, sebagaimana yang populer dalam sebuah syairnya:  

 

 شكوت إلى وكيع سوء حفظي * فأرشدني إلى ترك المعاصي وقال اعلم بأن العلم نور * ونور الله لا يؤتاه عاصي   

 

Artinya: Aku mengeluhkan buruknya hapalanku kepada Imam Waki‘. Beliau menyarankan kepadaku untuk meninggalkan maksiat,  dan beliau berkata, ketahuilah ilmu ialah cahaya. Sedangkan cahaya Allah tak diberikan kepada ahli maksiat. Walau as-Syafi‘i tidak menyebutkan sulitnya menerima ilmu akibat makan makanan yang tak halal, tetapi dapat dipahami bahwa makan makanan tak halal itu termasuk perbuatan maksiat. (Lihat: Muhammad ibn Khalifah, Thalibul ‘Ilmi bainal Amanah wat-Tahammul, [Kuwait: Gharas]: 2002, Jilid 1, halaman 18). 

 

Makanan tak halal, kemaksiatan, dan perbuatan dosa secara umum juga berdampak pada malasnya beribadah, sebagaimana yang pernah dirasakan oleh Imam Sufyan al-Tsauri: Aku terhalang menunaikan qiyamullail selama lima bulan karena satu dosa yang telah aku perbuat. (Lihat: Abu Nu‘aim, Hilyatul Auliya, [Beirut: Darl KItab], 1974, Jilid 7, halaman 17I).   

 

Keempat, ancaman keras di akhirat. Bentuk ancamannya apalagi jika bukan siksa api neraka. Ancaman ini jelas disampaikan dalam Al-Quran dan hadits. Di antaranya ancaman api nereka bagi orang yang makan harta anak yatim dan harta riba.

 

   إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ ناراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً  

 

Artinya:  Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka), (QS al-Nisa’ [4]: 10).   Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya,” (QS Al-Baqarah [2]: 275).

 

Ancaman siksa neraka yang bersifat umum akibat makanan tak halal juga disampaikan Rasulullah saw: 

 

 كُلُّ لَحْمٍ وَدَمٍ نَبَتَا مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِمَا  

 

Artinya:  Setiap daging dan darah yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka lebih utama terhadap keduanya (HR Al-Thabrani). 

 

Atas penjelasan itu,  maka marilah kita berusaha semaksimal mungkin menghindari perkara yang tak halal, baik yang haram maupun yang syubhat. Mengapa yang syubhat juga harus dihindari? Karena menghindari yang syubhat merupakan benteng dalam menjauhi yang haram.

 

Rasulullah saw pernah berpesan: Siapa saja yang jatuh kepada perkara syubhat, maka ia akan terjatuh kepada perkara haram (HR Muslim). 

 

Adapun kaitan menghindari perkara syubhat, kita ingat pada kisah Abu Bakar yang memuntahkan makanan yang telah ditelannya, seperti dikutif dari hadist riwayat Bukhari.

 

Pada suatu hari, Abu Bakar dibawakan makanan oleh pelayannya. Beliau pun menyantapnya. 

 

Lantas ditanya oleh si pelayan, “Apakah engkau tahu makanan itu?

 

Beliau menjawab, “Memangnya makanan apa itu? 

 

Dijawab oleh si pelayan, “Pada zaman jahiliah aku biasa meramal untuk seseorang. Aku sendiri tak mumpuni soal ramalan, sehingga aku sering mengelabuinya. Saat itu pun orang itu datang menemuiku dan memberiku makanan itu. Dan makanan itu pula yang engkau makan."

 

Mendengar demikian, Abu Bakar langsung memasukkan jarinya (ke mulut), dan memuntahkan semua yang sudah masuk ke dalam perutnya.

 

Dari empat poin di atas, dapat dipahami bahwa betapa bahayanya makanan yang tak halal bagi kita, baik terhadap diterimanya amal, dikabulkannya doa, dibukanya cahaya Allah, maupun terhadap keselamatan kita di akhirat. Semoga kita dapat menghindarinya, baik untuk diri sendiri maupun keluarga dan keturunan kita.


Syiar Terbaru