Syiar

Sikap Golput Menurut Pandangan Hukum Islam

Selasa, 3 September 2024 | 11:42 WIB

Sikap Golput Menurut Pandangan Hukum Islam

Ilustrasi golput (Foto: NU Online)

Sebentar lagi Indonesia akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024. Pemilihan tersebut merupakan bagian dari sistem demokrasi di negara kita. 


Nantinya setiap rakyat boleh memilih calon pemimpin idealnya masing-masing. Semua memiliki wewenang, hak dan kewajiban untuk mencoblosnya, asalkan memenuhi kriteria dan verifikasi yang ketat. 


Akan tetapi, ada beberapa rakyat Indonesia yang enggan datang untuk mencoblos dengan berbagai alasan. Umumnya mereka disebut dengan golongan putih (golput). Lalu bagaimana hukum golput dalam pandangan Islam?


Dalam pandangan ini, mencoblos calon pemimpin merupakan sebuah keharusan yang bersifat darurat, karena untuk menjaga keberlangsungan pemerintahan yang sah meski tidak ada sanksi secara konstitusional.


Negara harus memiliki pemimpin, jika tidak maka akan seperti rimba tanpa hukum dan kurangnya kemakmuran. Meski kadang sistem pemerintahan ada sedikit cacat, baik disengaja maupun tidak, tetapi memiliki pemimpin lebih baik daripada tidak.  


Hal ini sebagaimana telah dikemukakan oleh Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, dalam kitab Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid:


قوله (وواجب نصب إمام عدل) أي نصب إمام عدل واجب على الأمة عند عدم النص من الله أو رسوله على معين وعدم الاستخلاف من الإمام السابق... ولا فرق في وجوب نصب الإمام بين زمن الفتنة وغيره كما هو مذهب أهل السنة وأكثر المعتزلة 


Artinya: (Wajib menegakkan pemerintah yang adil) maksudnya, umat diwajibkan untuk menegakkan pemerintahan yang adil ketika tidak ada nash dari Allah atau rasul-Nya pada pribadi tertentu, dan tidak ada penunjukkan pengganti dari pemerintah sebelumnya… Tidak ada perbedaan soal kewajiban menegakkan pemerintahan di zaman kaos/fitnah atau situasi stabil-kondusif-normal sebagaimana pandangan Mazhab Ahlussunnah dan mayoritas ulama Muktazilah (Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 118). 


Secara jelas, Syekh M Ibrahim Al-Baijuri menyebutkan bahwa umat Islam berkewajiban untuk menjaga keberlangsungan kepemimpinan di tengah masyarakat. Kewajiban ini bersifat syari, bukan aqli.


قوله (بالشرع فاعلم لا بحكم العقل) أي إن وجوب نصب الإمام بالشرع عند أهل السنة فاعلم ذلك 


Artinya: (Berdasarkan perintah syariat, patut diketahui, bukan berdasarkan hukum logika), maksudnya, penegakan pemerintahan merupakan kewajiban sesuai perintah syariat bagi kalangan Ahlussunnah wal jamaah. Pahamilah hal demikian (Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 118).


Dari redaksi di atas menegaskan bahwa menegakkan pemerintahan merupakan kewajiban, salah satunya dengan memilih pemimpin dan melantiknya dengan sah. 


Dalam kaidah fiqih, manusia harus memikirkan kemaslahatan yang lebih luas ketika dihadapkan pada dua pilihan sulit, terutama bagi yang memegang prinsip golput. Kaidah yang bisa menjadi pijakan ialah dar’ul mafasid muqaddamun alaa jalbil mashalih (menghindari keburukan itu harus lebih didahulukan daripada meraih kebaikan).


Maka dari itu, dengan tetap memilih atau mencoblos daripada golput merupakan perbuatan yang bisa menghindari keburukan lebih luas, alias wajib. Dengan memilih pemimpin yang baik menurut kita, berarti kita telah menyumbangkan suara baik kita untuk calon pemimpin untuk lebih dekat dengan kemenangan. Sedangkan golput yang menjadikan kemudlaratan atau bahaya hukumnya haram.

(Yudi Prayoga)