Di sebuah sore yang gerimis di Lampung Tengah, beberapa santri berkumpul di serambi pesantren. Mereka bukan sedang menghafal matan Jurumiyah atau membuka kitab Alfiyah, melainkan menata paragraf, mengasah diksi, dan berdiskusi soal gaya penulisan opini. Ada yang sedang menulis tentang sejarah lokal, ada yang membahas isu lingkungan, ada pula yang menulis esai keagamaan dengan gaya populer. Mereka adalah bagian dari Gerakan Kader NU Menulis dan Pesantren Jurnalistik, sebuah upaya kecil namun berarti untuk menghidupkan kembali api sastra dan literasi di kalangan santri Lampung.
Gerakan ini tidak hadir begitu saja. Ia lahir dari kegelisahan yang panjang: mengapa begitu banyak pesantren yang kaya dengan khazanah keilmuan, namun minim jejak dalam arus utama media? Mengapa suara pesantren nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk percakapan publik nasional? Dan yang lebih dalam: apakah santri hari ini masih punya hasrat untuk menulis, bertutur, dan mengisi ruang wacana publik?
Kegelisahan itu dijawab dengan tindakan. Sejak awal 2023, beberapa kiai muda NU di Lampung menggagas pelatihan jurnalistik berbasis pesantren. Mereka menyasar para santri akhir dan alumni muda dengan latar belakang keislaman yang kuat, serta semangat menulis yang tumbuh. Dengan pendekatan yang lentur menggabungkan diskusi kitab kuning dengan teknik menulis populer, gerakan ini berkembang dari satu pesantren ke pesantren lain: dari Sukadana ke Metro, dari Gisting ke Panaragan, dari Pringsewu ke Liwa.
Jalan Sunyi Literasi Santri
Tradisi menulis dalam dunia pesantren sesungguhnya bukan barang baru. Ulama Nusantara sejak abad ke-17 telah menulis syair, hikayat, manaqib, dan kitab-kitab ringkas dalam bahasa Melayu Jawi atau Arab pegon. Di Sumatera, ada Syekh Abdul Rauf Singkel, Syekh Burhanuddin Ulakan, hingga Syekh Muhammad Thaib Umar yang menulis tafsir dan fiqih dengan pendekatan sastra. Di Lampung, jejak itu masih terasa dari karya-karya KH Ahmad Hanafiah dan KH Muhamad Nur yang pernah menggubah syair agama untuk pengajaran masyarakat.
Namun era modern menghadirkan tantangan baru. Santri yang dulu hidup dalam dunia teks kini tergoda oleh dunia visual. Bait-bait syair tergantikan oleh potongan video. Zikir malam digantikan scroll media sosial. Di sinilah urgensi gerakan sastra pesantren menemukan tempatnya: ia bukan nostalgia masa lalu, tapi respon kritis terhadap zaman.
Melalui program Gerakan Kader NU Menulis, para santri diajak menulis esai, puisi, dan opini yang dapat dikirim ke media massa. Tak hanya media internal seperti buletin pesantren atau majalah kampus, tapi juga koran-koran arus utama seperti Kompas, Republika, Lampung Post, dan lainnya. Mereka belajar teknik menulis deskriptif, naratif, analitik, dan juga mengenal dasar-dasar jurnalistik yang etis dan bermartabat.
Menulis sebagai Dakwah
KH. Hasyim Asy'ari pernah menegaskan bahwa dakwah harus mengikuti zaman. Jika dulu para kiai berdakwah melalui mimbar dan pengajian keliling, maka kini dakwah bisa berlangsung di ruang-ruang literasi. Menulis bukan sekadar aktivitas akademik, tapi bagian dari misi keumatan. Dalam kerangka ini, gerakan sastra pesantren menjadi bagian dari dakwah bil qolam menyampaikan nilai Islam dengan pena, dengan bahasa yang lembut namun mengakar.
Banyak kisah menarik dari gerakan ini. Di Pesantren Al-Hikmah Lampung, misalnya, seorang santri berhasil menulis opini tentang etika digital dalam Islam dan dimuat di salah satu media daring nasional. Di Pringsewu, seorang santriwati menulis esai tentang peran perempuan dalam tradisi keilmuan pesantren dan masuk seleksi antologi nasional. Di Metro, beberapa alumni pesantren mendirikan komunitas penulis muda bernama NUnulis yang secara rutin menggelar kelas daring dan lomba esai bulanan.
Pesantren Jurnalistik: Ruang Baru untuk Kata-kata
Selain pelatihan menulis kreatif, gerakan ini juga mendorong berdirinya kelas Pesantren Jurnalistik, sebuah ruang pembelajaran yang menggabungkan tradisi pesantren dengan metodologi jurnalistik modern. Di kelas ini, santri belajar membedakan opini dan berita, mengenali nilai berita, wawancara narasumber, hingga teknik menyunting artikel agar layak muat. Mereka juga diajak memahami etika jurnalistik, hak cipta, dan cara berkomunikasi dengan redaktur media.
Tujuan utamanya bukan mencetak wartawan, tapi membekali santri agar mampu bersuara di ruang publik dengan cara yang cerdas, santun, dan bermutu. Santri diajak menulis tentang isu sosial, politik, pendidikan, dan keislaman dengan sudut pandang pesantren. Dengan demikian, mereka turut mengisi perdebatan publik dengan perspektif Islam moderat, toleran, dan kontekstual ala Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kompas sebagai media arus utama bisa menjadi mitra strategis dalam gerakan ini. Koran yang dikenal luas memiliki kolom opini dan budaya yang prestisius ini dapat membuka ruang bagi karya-karya santri. Rubrik Kilas Pesantren, Budaya, atau Opini bisa memuat tulisan-tulisan dari kalangan pesantren yang memiliki bobot sekaligus keberpihakan pada kearifan lokal.
Dari Santri untuk Indonesia
Gerakan literasi di pesantren bukan hanya soal teknik menulis, tapi juga soal membangun karakter dan kesadaran kebangsaan. Seorang santri yang terbiasa membaca dan menulis akan lebih kritis, lebih reflektif, dan lebih siap menghadapi dinamika zaman. Ia tidak hanya paham agama, tapi juga mengerti bagaimana agama harus hadir dalam kehidupan masyarakat yang plural dan dinamis.
Dengan menulis, santri bisa mengangkat kisah-kisah heroik lokal yang selama ini terpinggirkan. Mereka bisa menulis ulang sejarah perjuangan ulama Lampung yang melawan penjajah. Mereka bisa merekam kearifan lokal dalam bahasa yang hidup dan puitis. Mereka bisa menyuarakan keresahan umat dengan kata-kata yang mencerahkan. Dalam setiap tulisan, mereka sedang menghidupkan tradisi pesantren sekaligus berkontribusi bagi peradaban Indonesia.
Tantangan dan Harapan
Tentu tidak mudah menggerakkan literasi di tengah keterbatasan fasilitas dan minimnya apresiasi. Di banyak pesantren, akses internet masih terbatas, referensi buku sedikit, dan jadwal santri sangat padat. Namun semua itu bukan alasan untuk berhenti. Dengan semangat ngaji, para santri terbiasa hidup sederhana tapi penuh makna. Semangat yang sama bisa menjadi bahan bakar gerakan literasi.
Harapan besar terletak pada sinergi antar-stakeholder: pesantren, PWNU Lampung, kampus-kampus Islam, media massa, dan pemerintah daerah. Jika semua elemen ini bersatu, gerakan sastra pesantren akan menemukan jalannya. Kita membutuhkan lebih banyak pelatihan, beasiswa literasi, festival sastra, serta ruang publikasi yang adil dan terbuka.
Sebagaimana api yang menyala dari sebatang lilin kecil, gerakan ini mungkin tampak sederhana. Tapi jika dijaga, dirawat, dan ditiup angin harapan, ia akan menjadi pelita yang menerangi generasi. Generasi santri penulis. Generasi yang tidak hanya membaca kitab, tapi juga menulis dunia.
Syair tentang Pena Santri
Kami bukan pujangga istana,
tapi tahu bagaimana kata bisa mengubah dunia.
Kami tak punya mikrofon mewah,
tapi kami punya tinta dan cahaya.
Di balik dinding kayu pesantren,
kami menulis dengan air wudhu.
Membaca langit dengan mata khusyuk,
mencatat bumi dengan hati yang penuh rindu.
Kami adalah pena-pena kecil,
menulis kabar dari sudut kampung.
Tentang sawah, guru ngaji, dan semesta yang bersujud.
Wahai zaman, dengarlah kami,
karena kami tak akan diam lagi.
Kami santri, dan kami menulis.
Wahyu Iryana, Sejarawan dan Penyair UIN Raden Intan Lampung.