Ibadah shalat tarawih adalah shalat khusus yang dilakukan selama bulan Ramadhan pada setiap setelah shalat isya, lalu dilanjutkan dengan ibadah penutupnya yaitu shalat watir.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keunikan pada saat menunaikan shalat tarawih, keunikan pertama adalah bilangan rakaat yang kerap kali tidak sama antara satu majid dengan masjid lainnya, ada yang melaksanakan dengan jumlah 8 rakaat disertasi tiga witir, ada juga yang melaksanakan dengan jumlah 20 rakaat disertasi tiga witir.
Meskipun ini wilayah ikhtilaf, namun umat Islam Indonesia cukup dewasa dalam menyikapi hal ini, sehingga tidak ada persoalan yang dianggap perlu untuk diperdebatkan, hingga bermuara pada perpecahan.
Justru yang unik seputar tarawih bukan karena jumlah rakaat yang berbeda, namun adanya Bilal yang memandu ibadah shalat tarawih, sebuah kearifan lokal yang jika dikaitkan dengan sunnah Nabi Muhammad dalam hadits tidaklah ada, namun memiliki maqasid yang cukup memotivasi bagi jamaah untuk melaksanakannya.
Jika dalam suatu kaidah dikatakan al-umuru bi maqasidiha yang bermakna setiap perkara tergantung pada maksudnya. Maka sesungguhnya pelaksanaan shalat tarawih yang dipandu oleh Bilal dan diikuti oleh para jamaah secara lantang adalah mengajak para jamaah agar semangat menjalankannya dengan satu panduan.
Selain itu juga memandu para jamaah untuk tertib, hingga dapat bersama-sama dalam menjalankan ibadah tarawih dan doa puasa. Maka jika dikaitkan dengan hadits Nabi tentunya tidak adanya hadits yang secara detail menjabarkan hal tersebut.
Melainkan upaya para ulama terdahulu yang membuka tanah Nusantara dan mengislamkannya dengan banyak metode yang dapat menarik para masyarakat untuk bersama menjaga ibadah mereka dengan cara yang membahagiakan.
Jika target pelaksanaan itu adalah mengajak tertib dalam satu komando dan membahagiakan jamaah dalam melakukan shalat, sedangkan membahagiakan orang lain adalah bernilai pahala.
Ibadah tarawih adalah syiar Islam, meskipun Nabi Muhamad dalam beberapa riwayat tidak mesti shalat di masjid, hal ini menunjukkan bahwa shalat itu sunnah dan dapat dilaksanakan di rumah, namun pada masa Umar bin Khattab justru dengan tujuan kebersamaan umat Islam, maka pelaksanaan tersebut dianjurkan untuk dilakukan di masjid.
Hal itu mengingat bahwa umat Islam mulai mengelompok menjadi banyak firqah, sehingga kebersamaan sebagai media persatuan membangun ukhuwah Islamiyah menjadi lazim demi kemaslahatan umat.
Era dulu, bahkan sampai hari ini, sebagian masyarakat di desa khususnya masih melaksanakan rentetan kegiatan tarawih dengan panduan Bilal, bahkan sebagian pada akhir membaca beberapa doa dan rentetan syair-syair lagem tiap wilayah sebagai bentuk kearifan lokal yang baik.
Sebagian lainnya masih membuktikan bedug dan kentongan sebagai seni yang dibunyikan dengan cara dipukul pada tiap akhir pasca terlaksananya shalat tarawih.
Maka jika seseorang masih berpikiran sempit bahwa setiap hal yang baru adalah bid'ah dan harus ditinggalkan dengan alasan tidak adanya hadits yang menjelaskannya dan tentu Nabi tidak melakukannya maka pandangan ini terlalu sempit, dalam kaidah fiqhiyah dikatakan al-'adatul muhakkamah yang bermakna adat kebiasaan bisa menjadi hukum.
Menilik pada bentuk adat ini tentunya tidak pada semua adat, melainkan harus dipilah dan pilih bahwa adat yang membawa kemaslahatan tetap boleh dilakukan.
Agus Hermanto, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung