Opini

Integrasi Nalar Al-Narajil dan Istihsan

Jumat, 13 Juni 2025 | 10:53 WIB

Integrasi Nalar Al-Narajil dan Istihsan

Nalar Al Narajil Metode Ijtihad Kontemporer. (Foto: Istimewa)

Istihsan berasal dari kata hasan yang berarti baik, sedangkan istihsan adalah mengambil suatu putusan hukum dengan mempertimbangkan illat, baik pada suatu produk hukum. 

 

Meskipun istihsan bukan satu-satunya dalil hukum yang mengkaji persoalan baru yang terjadi, namun istihsan menjadi salah satu metode ijtihad yang juga kerap digunakan oleh para mujtahid, khususnya dalam penyelesaian perkara baru yang tidak ditemukan dalil hukumnya dalam Nash.

 

Sedangkan nalar Al-Narajil adalah sebuah penalaran hukum Islam dengan menggunakan teori pembanding. Suatu perkara baru tentu pasti selalu direspon oleh para mujtahid sezamannya, hal itu karena ulama adalah pewaris para nabi, sehingga tidak boleh adanya kekosongan hukum. 

 

Cara kerja teori pembanding adalah membandingkan antara satu putusan hukum dengan putusan hukum lainnya, sehingga harus dicari putusan hukum yang paling baik dan bahkan terbaik, dalam bahasa Inggris kerap kali menyebut baik adalah good, lebih baik adalah better dan terbaik adalah the best

 

Begitu juga dalam nalar Al-Narajil, bahwa suatu pertimbangan hukum tidak cukup hanya menggunakan satu pendekatan, melainkan bahwa pendekatan interdisipliner adalah bentuk ijtihad jama'i untuk mengkolaborasikan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya.

 

Hal itu untuk menemukan argumen hukum yang lebih kuat, sebagaimana dalam suatu kaidah fiqih dikatakan (الحكم يتبع المصلحة الراجحة) hukum akan mengikuti kemaslahatan yang lebih kuat.

 

Sebagaimana nalar pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiry yaitu bayani, irfani, dan burhani adalah nalar pemikiran yang digunakan untuk memahami suatu kajian dengan pendekatan tekstual, irfan dan kontekstual adalah sebuah model tawaran penalaran sekaligus metode penafsiran yang dapat juga digunakan sebagai metode ijtihad hukum. 

 

Begitu juga Muhammad Syahrur dengan teori of limit (al-nadzhariyah al-hufudiyah), sebagai penalaran hukum bahwa pandangan dan penerapan hukum ada batas maksimalnya, namun juga ada batas minimalnya, efek jera sebagai hukuman pada seseorang tidaklah sama, sehingga penerapan hukum akan menjadi fleksibel sesuai kebutuhan. 

 

Juga teori double movement yang digagas oleh Fadzlur Rahman yaitu sebuah penalaran dengan menggabungkan antara kajian tekstual dan kontekstual. Dengan cara menelusuri history suatu hukum dan disesuaikan dengan kontekstual saat ini. 

 

Beberapa teori ini sejatinya menawarkan sebuah model penalaran dengan sebuah teori dan dengan prinsip-prinsip yang ditanamkan pada metode itu. 

 

Hal tersebut juga sebagaimama nalar Al-Narajil yang juga merupakan sebuah tawaran metode ijtihad yang dianalisis dengan teori pembanding dengan prinsip-prinsip yang ditanamkan juga. 

 

Melihat beberapa pembaruan hukum yang terjadi, tidaklah lepas dengan metode ijtihad yang digunakan, dan ragam metode ijtihad akan pula menghasilkan ragam produk hukum. 

 

Hadirnya teori Al-Narajil sejatinya juga seirama dengan teori istihsan, namun prinsip teori istihsan adalah melakukan proses ijtihad dengan menilik sisi hasan (baik) sebagai pertimbangan hukum. 

 

Sedangkan nalar Al-Narajil lebih menekankan bahwa suatu putusan hukum dengan metode ijtihad hingga menghasilkan produk hukum yang beragam itu, pastilah tidak lepas dari tujuan syara'. 

 

Sehingga jalan yang terbaik dalam mengambil keputusan hukum setelahnya adalah memilah dan memilih suatu putusan hukum yang dianggap baik, paling baik bahkan yang terbaik di antara yang paling baik. 

 

Tahapan demi tahapan dalam nalar Al-Narajil adalah sebuah proses kehati-hatian dalam mengambil keputusan hukum.

 

Agus Hermanto, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung