Etape Terakhir Ramadhan, Refleksi Menjelang Akhir Lintasan Ibadah
Ahad, 23 Maret 2025 | 07:53 WIB
Ramadhan adalah ibarat sebuah perlombaan panjang menuju ampunan dan keridhaan Allah. Di awal bulan, kita memulai dengan semangat dan harapan tinggi. Kita memperbaiki niat, menata langkah, dan mengatur irama ibadah agar dapat menempuh perjalanan sebulan penuh dengan konsisten.
Kini, kita telah tiba di etape terakhir, lap terakhir dari race spiritual ini. Detik-detik penentuan ada di depan mata. Bagi mereka yang sejak awal sudah memimpin dalam amal dan ketekunan, hati-hatilah. Karena di penghujung lomba, bukan hanya kecepatan yang diuji, tetapi juga kestabilan dan konsistensi hati.
Jangan sampai tergelincir oleh rasa puas diri, merasa sudah cukup, atau terlena oleh pencapaian awal. Laps terakhir adalah waktu paling rawan bagi pelari terdepan yang kurang waspada karena kelelahan bisa menjatuhkan, dan keangkuhan bisa menggagalkan.
Sementara bagi yang sempat tertinggal di tengah atau bahkan tercecer di belakang, jangan putus asa. Dalam rahmat Allah, tidak pernah ada kata terlambat. Justru etape akhir ini adalah saat terbaik untuk mengejar ketinggalan, memaksimalkan sisa waktu, dan menutup Ramadhan dengan penuh harapan.
Karena sesungguhnya, poin kemenangan tidak hanya ditentukan oleh start, tetapi oleh finish yang sungguh-sungguh. Seperti sabda Nabi saw:
Baca Juga
Esensi Puasa Menurut Al-Ghazali
وإنما الأعمال بالخواتيم
Artinya: Sesungguhnya amal itu tergantung pada akhirnya (HR Ahmad).
Di lap terakhir ini, kita semua baik yang di depan maupun yang di belakang, punya peluang yang sama untuk mencapai garis akhir dengan membawa keberkahan, ampunan, dan perubahan diri.
Maka mari perkuat langkah, bersihkan niat, dan terus pacu diri dengan segala daya. Karena yang menyelesaikan race dengan penuh iman dan amal adalah mereka yang sungguh-sungguh dicintai Allah.
Pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, Rasulullah saw justru meningkatkan intensitas ibadahnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau menghidupkan malam-malamnya, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggangnya (HR Bukhari dan Muslim).
Ini adalah isyarat kuat bahwa akhir Ramadhan bukanlah penutup biasa, melainkan titik puncak perjuangan ruhani. Di momen ini, keistimewaan Lailatul Qadar pun hadir malam yang lebih baik dari seribu bulan (QS Al-Qadr: 3), sebuah malam penuh keberkahan yang hanya bisa diraih dengan ketekunan dan keikhlasan hati.
Etape terakhir Ramadhan ibarat garis finis yang menentukan hasil seluruh perjalanan. Bagi yang telah konsisten, ini adalah saat menjaga ritme dan tidak tergelincir oleh rasa puas. Bagi yang sempat tertinggal, inilah saat mengejar ketertinggalan dengan semangat penuh harap.
Karena Allah tidak melihat siapa yang memulai lebih awal, tetapi siapa yang menyelesaikan dengan sungguh-sungguh. Ini adalah fase evaluasi: apakah kita hanya mengisi Ramadhan dengan aktivitas, atau sudah benar-benar menjadikannya wahana penyucian jiwa?
Lebih dari sekadar memperbanyak ibadah secara lahiriah, sepuluh hari terakhir ini adalah waktu terbaik untuk memperdalam kualitas hati. Kita diajak merefleksi, sejauh mana keikhlasan memandu amal, sejauh mana kesabaran menyertai kekurangan, dan sejauh mana kebaikan kita hadir dari kasih, bukan sekadar kewajiban.
Jangan hanya mengejar pahala, tapi kejar juga perubahan diri. Karena Ramadhan bukan soal seberapa banyak, tapi seberapa dalam kita belajar dan berubah. Kini adalah waktu memperbanyak tadarus Al-Qur’an, memperpanjang sujud dalam tahajjud, memanjatkan doa dengan linangan air mata, serta mempererat tali kepedulian sosial.
Banyak yang membutuhkan uluran tangan kita, dan Allah menjanjikan keberkahan yang luar biasa bagi yang berbagi. Istighfar pun harus diperdalam, karena tiada manusia yang luput dari cela.
Semoga dengan amal-amal ini, kita menjadi bagian dari mereka yang direngkuh oleh rahmat, diampuni dosanya, dan dibebaskan dari api neraka. Tidak ada jaminan kita akan bertemu Ramadhan lagi.
Maka di hari-hari terakhir ini, jangan sia-siakan waktu dengan hal yang tak berarti. Jadikan setiap malam sebagai harapan baru. Jadikan setiap ibadah sebagai pelita yang menerangi langkah kita ke depan.
Semoga, saat Ramadhan pergi, kita bukan hanya melepasnya dengan sedih, tetapi dengan harapan besar bahwa diri ini telah tumbuh menjadi lebih baik, lebih bersih, dan lebih dekat kepada Allah swt.
Etape terakhir adalah momen untuk memastikan bahwa kita tidak hanya sekadar sampai di garis akhir, tetapi juga sampai dengan kehormatan, dengan bekal spiritual yang cukup, dan dengan hati yang bersih. Jika awal Ramadhan adalah tentang membangun pondasi, maka akhir Ramadhan adalah tentang menuntaskan pembangunan jiwa. Maka jangan kendurkan niat, jangan redupkan cahaya amal.
Ingat, perlombaan ini bukan melawan orang lain, tetapi melawan diri sendiri. Dan kemenangan sejati bukan saat Idul Fitri tiba, tetapi saat kita mampu keluar dari Ramadhan sebagai pribadi baru yang lebih bertakwa. Semoga kita termasuk orang-orang yang melewati etape terakhir ini dengan keikhlasan dan keteguhan. Wallahu a’lam bish-shawab.
H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung