Opini

80 Tahun Indonesia Merdeka: Keluarga yang Masih Terjajah

Ahad, 17 Agustus 2025 | 18:59 WIB

80 Tahun Indonesia Merdeka: Keluarga yang Masih Terjajah

Pengurus PW GP Ansor Lampung, Ahmad Musthafa Azhom. (Foto: Istimewa)

Delapan dekade Indonesia merdeka. Kita berdiri di atas panggung sejarah dengan kebanggaan kolektif, merayakan kemerdekaan dari penjajahan asing. Tetapi pertanyaannya, yang lebih sunyi dan lebih personal, apakah keluarga Indonesia juga sudah merdeka?

 

Merdeka bukan hanya soal lepas dari belenggu kolonial. Merdeka sejati adalah ketika sebuah bangsa terbebas dari konflik batin, dari luka yang diwariskan di ruang-ruang paling privat, yaitu keluarga.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang tahun 2024 ada 399.921 kasus perceraian di Indonesia. Mahkamah Agung bahkan mencatat lebih tinggi, 446.359 kasus. Bayangkan, hampir setengah juta keluarga pecah dalam setahun.

 

Lebih dari enam puluh persen disebabkan oleh pertengkaran tanpa ujung, seperempatnya karena ekonomi yang terhimpit, sisanya karena KDRT, pasangan pergi tanpa kabar, hingga judi online.

 

Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah potret getir bahwa banyak keluarga Indonesia yang belum merdeka dari konflik, belum merdeka dari tekanan hidup, belum merdeka dari luka batin yang diwariskan.

 

Kita suka merayakan kemerdekaan dengan kembang api di langit. Tetapi mungkin kita lupa menyalakan pelita di rumah sendiri. Keluarga sebagai fondasi bangsa, seringkali dibangun tanpa perencanaan matang. 

 

Banyak pernikahan digelar dengan pesta meriah, tapi miskin persiapan mental. Banyak suami istri sibuk mengejar dunia luar, tapi lupa merawat dunia dalam: komunikasi, kesabaran, kasih sayang.

 

Indonesia sudah 80 tahun merdeka dari penjajahan asing, tetapi banyak keluarga yang masih “terjajah” oleh: 

 

Ego yang tak terkendali,
Ekonomi yang tak terkelola,
Emosi yang tak terarah,
Dan teknologi yang tak terbendung.

 

Seperti kata pepatah: “Rumah yang retak, tak akan mampu menyangga bangsa.” Keluarga sebagai laboratorium pertama kehidupan. Di sanalah anak belajar cinta, marah, sabar, dan percaya. 

 

Bila laboratorium itu dipenuhi pertengkaran, anak-anak kita tumbuh dengan luka. Bila ia dipenuhi kasih sayang, anak-anak kita tumbuh dengan harapan.

 

Islam pun menegaskan, keluarga adalah ladang ibadah. Suami yang bertanggung jawab, istri yang penuh kasih, anak-anak yang dididik dengan iman. Bukan sekadar idealisme, tapi peta jalan menuju keluarga yang merdeka.

 

Kemerdekaan keluarga bukan utopia. Ia bisa diperjuangkan dengan langkah nyata:

 

1. Pendidikan Pra-Nikah, agar pernikahan tak hanya jadi pesta, tapi perjalanan yang dipersiapkan.

 

2. Literasi Ekonomi Keluarga, supaya dapur tak padam hanya karena salah kelola keuangan.

 

3. Konseling dan Dukungan Psikologis, karena tak semua luka bisa disembuhkan sendiri.

 

4. Revitalisasi Nilai Spiritual, agama bukan hanya slogan, tapi napas yang menuntun keluarga.

 

5. Gerakan Nasional Keluarga Harmonis, sebagaimana kita serius dengan stunting, kita pun harus serius dengan keharmonisan keluarga.

 

80 tahun Indonesia merdeka adalah capaian monumental. Tetapi bangsa ini hanya akan benar-benar kuat jika keluarga-keluarganya merdeka:

 

Merdeka dari konflik tanpa solusi,
Merdeka dari ekonomi yang menjerat,
Merdeka dari luka yang diwariskan,
Dan merdeka untuk tumbuh dalam cinta dan keberkahan.

 

Bangsa yang merdeka lahir dari keluarga yang bahagia. Keluarga yang bahagia tumbuh dari cinta yang sederhana. Dan cinta yang sederhana adalah kemerdekaan yang sesungguhnya. Dari keluarga, untuk bangsa, demi Indonesia tercinta.

 

Ahmad Musthafa Azhom, Pengurus PW GP Ansor Lampung