• logo nu online
Home Warta Syiar Bahtsul Masail Keislaman Khutbah Teras Kiai Pernik Kiai Menjawab Pendidikan Opini Literasi Mitra Pemerintahan Ekonomi Tokoh Seni Budaya Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Warta

Waspadai Hoaks dan Politik Identitas dalam Pilkada 2020

Waspadai Hoaks dan Politik Identitas dalam Pilkada 2020

Oleh Rudi Irawan MH.I )*

Akhir tahun 2020 akan menjadi cerita dan sejarah bagi beberapa daerah di negeri ini. Pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021.

Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan di Indonesia. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

 Berdasarkan data resmi bahwa tahapan kampanye bagi para calonkada dimulai dari tanggal 26 September 2020 sampai dengan 5 Desember 2020  dalam bentuk pertemuan terbatas, tatap muka, dan dialog, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye (APK) dan kegiatan lainnya. Sedangkan Kampanye melalui media massa, cetak, dan elektronik dilaksanakan pada tanggal 22 November 2020 sampai dengan 5 Desember 2020 (sumber: id.wikipedia.org).

Dapat kita mafhumi bahwa dalam tahapan kampanye nanti para calon, tim pemenangan, partai pengusung maupun orang atau kelompok tentu yang memiliki kepentingan terhadap salah satu calon kepala daerah yang maju sebagai salah satu kontestan akan saling adu visi dan program guna meyakinkan para pendukung dan pemilih.

Bahkan terkadang untuk mendapatkan simpatik dari para pendukung tak jarang cara-cara yang kurang eleganpun digunakan pada saat kampanye nanti. Hal itu bisa saja berupa Black Campaign (kampanye hitam), hoax dan ujaran kebencian, politik uang (money politic), isu SARA, dan bahkan politik identitaspun tak jarang digunakan demi meraih simpatik dan dukungan.

Karenanya, bagi seluruh warga yang memiliki hak politik untuk memilih, harus benar-benar bijak dan hati-hati serta gunakan nurani dalam menentukan calon pemimpin yang akan dipilihnya, karena akan memberikan dampak terhadap kepemimpinannya setelah terpilih. Lihat rekam jejak para calon kepala daerah, lakukan klarifikasi (tabayun) terhadap setiap pemberitaan bohong (hoax) yang belum jelas kebenarannya.

Selanjutnya, kita selalu senantiasa menjaga jari jemari lentik kita terutama di era digital saat ini dimana media sosial (faceebook, whatsapp,instagram) mudah sekali mendominasi dan memprovokasi pembacanya,  budaya “saring sebelum sharing” harus dikedepankan  agar tidak membuat dan mendatangkan penyesalan serta menimbulkan fitnah dan semua itu akan tetap dimintakan pertanggungan jawabnya.

Sebagaimana firman Allah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (dalam QS. Al Hujarat:6).

Firman-Nya juga:

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ ۚ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ ۖ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ ۚ وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (QS. An Nur:11)

Dalam mengantisipasi ini perlu kerjasama dari semua pihak, terutama para tokoh agama yang mempunyai peran strategis, dimana mereka sangat dinantikan fatwa dan nasehatnya. Maka janganlah karena menjadi salah satu tim (baca; juru kampanye) karena ia pandai berbicara, banyak hafalan ayat-ayat al qur’an dan hadits lalu melepaskan peran sentralnya sebagai tokoh agama.

Jangan jadikan agama dan juga ayat-ayat Tuhan sebagai politik identitas sebagai pembenaran untuk menyerang lawan politik dan meraih dukungan yang sebanyak-banyaknya dari pemilih. Hal ini jelas agama sendiri melarangnya dan bahkan Allah sendiri menyindir orang-orang demikian dalam firman-Nya:

 اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu.” (QS. At-Taubah: 9).

Firman-Nya juga”

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

Artinya: “Janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Dan bertaqwalah hanya kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah, 2: 41).

Cukup kita belajar dari pilkada salah satu provinsi terbesar di republik ini di tahun 2017 lalu dan juga pemilu tahun 2019 dimana isu SARA dan politik identitas dimainkan untuk meraih kemenangan, akhirnya bagaimana dampak dari politik identitas dan isu SARA tersebut bagi masyarakat dan wilayahnya yang dipimpinnya semua kita bisa menilainya.

Akhirnya untuk menjaga pilkada serentak ini bisa berjalan secara demokratis dan bermartabat, perlu sinergisitas dari semua elemen masyarakat dan lembaga terkait untuk mengawalnya, sehingga bisa terpilih para pemimpin yang sesuai dengan pilihan masyarakat. Tak kalah penting netralitas dari para penyelenggara pemilukada kali ini sangat dibutuhkan.

Wallahualam bissawab

)* Wakil Ketua PCNU Bandar Lampung dan Dosen UIN Raden Intan Lampung


Editor:

Warta Terbaru